02. Hagian Tukang Ojek
Hari Sabtu dan Minggu itu hari bahagianya para karyawan. Apalagi karyawan rantau seperti gue. Ya, semua hal yang menyenangkan cuma bisa gue dapatkan di dua yang terakhir dari tujuh (semacam lagunya FSTVLST itu).
Entah kenapa, sehabis Subuh tadi gue nggak bisa tidur lagi. Mungkin efek nonton drama menye-menye semalam jadinya bangun tidur malah lebih segar. FYI, gue tidur cuma dua jam doang. Gue maraton nonton drama Korea hasil copy dari Mirza Jum’at kemarin. Ya begitulah kehidupan gue. Nikmat weekend mana lagikah yang kita dustakan?
Karena sudah terlanjur melek, gue buka lebar-lebar pintu kost. Pintu kost gue ya kayak begini aja, harus diganjal pakai botol deterjen cair isi sembilan ratus mililiter supaya nggak terus-terusan nutup sendiri. Kan malas kalau pintunya tertutup sendiri. Gue mau menyapu, mengepel, dan mengusir hawa jahat dari kamar gue yang cuma ditumpangi untuk molor dari Senin sampai Jum’at.
Playlist dance di telepon genggam gue nyalakan dan mulailah gue menyapu kamar.
Lagu Dramarama pertama kali ada di daftar shuffle.
Gue berteriak senang sembari menyapu kolong kasur dan meja roda. Sedang senang-senangnya bernyanyi, tiba-tiba telepon genggam ada pesan masuk.
From: Mbak Kost (+6281890227890)
Messages: Neng, maaf. Suaranya dikecilin sedikit, kucing anggora Ibu katanya lagi stress. Kemarin cucu Ibu kost yang umur tiga tahun sampai dikunci di kamar mandi gara-gara berisik.
Okay. Fine. Gue anak kost. Gue harus menghormati yang lain. Ya sebenarnya di kost ini kayaknya hanya gue aja yang hidup di lantai tiga. Dari enam kamar, sepertinya cuma gue yang selalu bikin ribut. Kamar depan gue, kerjanya dua minggu sekali baru pulang Jakarta. Kamar sebelah kanan gue, kerja shift di rumah sakit. Begitu juga kamar depannya, dan kamar paling pojok. Sedangkan kamar di pojok yang bagian depannya, kosong. Baru Minggu lalu penghuninya kawin. Benar-benar kawin. Dia diusir dari kost karena bawa cowok ke kamar. Gue nggak paham sih pada ngapain aja. Yang jelas Ibu Kost baru pasang CCTV—termasuk CCTV yang bisa menangkap bayangan hantu katanya. Ya begitulah, biar kayak Dunia Lain kali! Nah, CCTV inilah perkara terusirnya si penghuni pojok.
Gue sekarang cukup mendengarkan apa yang dinyanyikan telepon genggam. Daripada kejadian kayak tempo lalu, waktu kamar pojok ribut-ribut gara-gara temannya ulang tahun. Pada video call sampai jam dua pagi. Gue yang nggak bisa tidur padahal ada meeting pagi, sampai bela-belainlempar panci alumunium ke tembok. Biar heboh dan pastinya mereka langsung diam. Dan gue nggak mau hal itu menimpa gue, makanya gue nggak protes waktu disuruh mengecilkan suara melengking gue saat nyanyi.
Lalu, seperti biasa. Lagu semangat weekend ala Mas Duta—ugh, Mas Duta lagi—mengalun dari playlist. Perhatikan Rani ini selalu bikin libur jadi lebih berwarna.
Gue coba berdendang kecil mengikuti irama lagu, sambil menaruh sapu dan mulai mengangkat ember isi air untuk pel lantai.
“Dan jangan takut, jangan layu. Pada semua cobaan yang menerpamu, jangan layu. Kami selalu bersamamu dalam derap. Dalam lelap mimpi indah bersamamu. Padamkan sekejap warna-warni duniamu. Saat kau mulai kehilangan arah. Huohuooo,” gumam gue.
Tiba-tiba playlist pause. Nada dering desperate ceria terdengar. Solitude is Bliss. Di dalamnya, malah nama Hagian yang muncul. Padahal gue udah berharap yang lain. Kali aja siapa gitu, mau ajak malam Mingguan.
“Halo, apaan sih? Ganggu banget,” jawab gue nggak pakai Assalamu’alaikum.
Hagian menghela napas sebelum bicara. “Sabar dulu napa. Gue kan mau kasih kabar baik.”
“Ya udah. Buruan. Ada kabar baik apaan?”
“Lo lupa kemarin nge-share Homogenic ke gue?” tanya Hagian tiba-tiba.
YA AMPUN! Iya! Lupa kalau hari ini ada mini party Homogenic di Cilandak. Gue cek jam weker di meja belajar, sudah mau jam dua belas siang! Wah, kalau jam segini jalan ke Cilandak, naik Gojek pun baru bakal sampai sore mungkin. Sedangkan, Homogenic main jam dua sampai jam setengah empat. Ya ampun, kelupaan. Jadi, ini sebenarnya kabar baik atau bukan?
“Wah iya! Ya udah entar ketemu di sana. Gue buru-buru deh, belum mandi. Argh, bete kan!” teriak gue kesal dan heboh.
Kapan lagi sih, weekend bisa nonton musik asyik yang gratis? Gue memang begitu orangnya. Hemat bin irit. Bahkan kalau bisa dibilang pelit ya silakan.
***
Setelah mandi kilat, jam dua belas lewat lima belas gue langsung bergegas turun dari lantai tiga. Gerbang kost gue ada tiga. Gerbang lantai dua, gerbang depan, sama gerbang paling depan—yang dikunci setiap jam dua belas malam dan yang punya kunci cuma Mbak penjaga kost. Nah, ribetnya itu ya kayak begini. Kalau udah telat banget kemana-mana, harus pusing buka tutup gembok. Kadang sampai salah colok kunci ke gemboknya. Ya ampun, lapar, belum makan. Heboh, stress, dan yang pasti ketakutan nggakbisa nonton Homogenic itu sangat terasa. Padahal, Homogenic-nya sih kenal kita juga nggak. Kadang gue mikir juga, ngapain bela-belain nonton ya? Bodo amat, yang penting senang!
Sampai di gerbang depan, baru mau lari kencang sambil multitasking pesan Gojek, tiba-tiba ada yang memanggil gue.
“Hani! Woi, bego!” teriak orang yang familiar itu.
Yah dia lagi. Muka keling si Hagian. Hitam keling jelek, gigi besar-besar lagi nyengir ke arah gue.
“Lo ngapain?” tanya gue bodoh.
“Lah? Mau nonton Homogenic kan? Kok nanya?” jawab dia sok polos. Di samping kanannya, dia sudah memegangi helm retro kesayangan. Katanya sih dulu bekas mantan.
Mau nggak mau, gue menghampiri dia. Lumayan, tumpangan gratis biarpun pakai helm bekas mantan.
“Dari kapan di sini?” tanya gue sok bodoh lagi.
Hagian mulai menginjak pedal kick starter CB100 mengkilatnya. Dia lalu menyalakan rokok sebelum bicara, “Lo nanya mulu. Ya dari tadi pas nelpon lo lah. Jadi berangkat nggak nih?”
Gue nyengir senang tapi malu sih udah ngomel duluan. “Hehe, iya. Ayo berangkat!”
***
Jadi, sepanjang perjalanan menuju Cilandak. Hagian banyak ngobrol soal setahun lalu waktu gue sama dia sama-sama baru jadi karyawan baru di PT. IT Sentinel Indonesia—ya tempat kami bekerja sekarang. Kami sama-sama dilempar ke proyek PT. Mega Mitra Komunikasi—proyek di perusahaan retail komunikasi dan elektronik yang cukup besar di Jakarta. Beberapa produknya meliputi produk elektronik sehari-hari sampai gadget dan produk-produk korporasi seperti genset, antena VSAT, dan lain-lain. Raksasa banget kan? Iya. Tapi gaji gue sih segini-gini aja. Hehe.
Alkisah…
Kalau begitu, mari kita throwback ke masa di mana gue bisa dekat banget sama si hitam ini. Kejadiannya sekitar bulan April tahun lalu.
***
April 2015.
“Welcome aboard! Nah, kita kedatangan tiga teman baru lagi nih, satu project juga. Silakan, bergabung dengan barisan pemain Counter Strike di sana. Kenalan aja sendiri ya!” jelas supervisor gue waktu itu.
Lalu, berkelilinglah ketiga orang baru itu, menyalami satu per satu teman di dalam tim proyek Mega—sebut saja codename itu.
Lalu, datanglah si lelaki agak hitam ini, rambut agak gondrong ala-ala apa ya? Bingung juga ceritanya. Sisirannya kayak om-om tujuh puluhan gitu. Gigi kelinci sedikit renggang di tengahnya dan gayanya sok iye. Apa sih kalau kata anak sekarang?
“Hagian Putra,” katanya.
Oh oke. Namanya bagus. Tapi… Hmm. Gue nggak berusaha bahas fisik sih. Gue menerima semua manusia apa adanya. Hagian juga nggak jelek-jelek amat sih, cuma karena kadang dia tiba-tiba suka menyebalkan, gue jadi suka kesal sendiri. Jadi stereotip deh. Oke, jujur aja waktu itu gue menilai dia bermuka dua.
Sejak welcome aboard di bulan Maret, sebulan kemudian ada satu kondisi di mana sebagai karyawan baru gue akan diberdayakan untuk mengerjakan apapun. Waktu itu mental gue lagi benar-benar rusak. Jam sepuluh malam gue masih diperbantukan untuk mengumpulkan report project lain dan gue lagi kurang sehat. Biasa lah, PMS. Gue nggak tahu gimana ceritanya, Hagian nengok dari kaca di pintu ruangan. Gue nggak berharap dia bantu sih, karena nggak kepikiran juga. Toh, dia juga mungkin cuma lewat. Tapi, sekian menit berlalu, tiba-tiba pintu terbuka. Gue yang lagi fokus melihat tulisan cakar ayam di kertas, jadi kaget.
Dua mug kopi tersedia di hadapan gue.
“Apaan nih?” tanya gue basa-basi.
“Kopi lah, emang nggak lihat?” jawab dia ketus.
Dia lalu menggulung kemejanya yang agak turun—sebelumnya itu kemeja memang sudah tergulung gitu.
Beberapa menit gue lewati dalam hening. Admin proyek yang lagi print laporan di ruangan back office nggak juga balik. Gue jadi canggung. Mengenal Hagian dari rasa kesal membuat semuanya canggung.
Entah kenapa gue ingin ngobrol. Baiklah, gue paksakan ngobrol sama dia.
“Nggak balik lo?”
“Beres ini aja lah. Masih sore juga. Lagian habis pingpong tadi,” jelas dia. Padahal gue nggak nanya juga sih dia habis ngapain.
Dia cekatan juga. Kerjanya cepat meski kadang suka bengong. Setidaknya, dia bantuin gue di saat yang lain habis pada main CS seharian langsung pulang. Emang begitu sih enak banget jadi karyawan baru ya. Kerja cuma main CS, terus pulang. Tapi, waktu ada pekerjaan buru-buru beres-beres. Gue deh yang kena dampaknya, karena gue emang suka berlama-lama di kantor, supaya busway dari Dukuh Atas nggak begitu antri.
Sekitar jam sebelas lewat lima belas, pekerjaan pun selesai. Gue rasanya ingin nangis. Jam segini pasti busway ke Pulogadung sudah habis.
Di tengah kebingungan waktu nunggu lift turun, ada si keling lagi. Duh, kenapa harus ketemu Hagian melulu sih?
“Balik naik apa?” tanya dia, yang gue yakin cuma basa-basi.
Gue sebenarnya malas jawab dia, tapi gimana. Kayaknya gue butuh menjawab dia. “Belum tahu nih. Busway kayaknya udah habis. Mungkin naik ojek atau taksi aja nanti, sedapetnya deh pokoknya.”
“Ya udah. Bareng aja lah. Gue bawa motor,” jelas dia to the point.
Ada keheningan yang menyergap. Antara mau dan nggak. Inginnya sih ikut dia, tapi gengsi. Lagi mikir kelamaan, dia nawarin gue lagi, “Ikut aja sih, gue nggak akan nyulik lo.”
Ya udah, gue iyain aja. Ngangguk-ngangguk kayak kucing dashboard mobil. Lalu, ikutlah gue ke parkiran motor.
***
Hagian nyodorin gue helm. Ada tulisannya gitu, inisial huruf H sama S.
“Bawa helm dua, pasti buat cewek lo ya?”
“Haha, nggak juga. Itu helm mantan. Gue bawa dua kali aja ada mbak-mbak yang mau ditebengin pulang kalo ketemu di pinggir jalan.”
Gue ingin ketawa. Selera humor dia boleh juga sih kalau buat ukuran orang yang sedang kesal kayak gue.
Gue nyengir sedikit, “Emang ada yang mau dibonceng sama orang kayak lo?”
“Yeee. Gini-gini gue dulu kan idola kampus. Ini buktinya lo mau gue ajak balik.”
“Kepepet gue mah!” teriak gue kesal.
Lalu gue pun memakai helm bekas mantan dia. Hiks, males juga sih. Tapi, apaan sih kayak bocah banget.
Di perjalanan, kami pun mengobrol hal-hal sederhana. Ya hitung-hitung menghapuskan rasa canggung. Garing juga kalau nggak ngobrol. Masa iya sih, gue nebeng balik tapi nggak ada basa-basinya banget?
“Ngomong-ngomong, norak juga ya lo, helm pakai inisial segala kayak remaja labil,” cetus gue tiba-tiba.
“Namanya juga dulu cinta banget. Tapi apa daya kalo yang dicintai nggak cinta. Kenapa? Nggak suka ya gara-gara norak? Besok gue copot deh stikernya,” jawab Hagian.
“Besok-besok? Emang yakin banget apa gue bakalan nebeng lo lagi?”
Hagian tertawa. “Yah, kali aja lo kepepet lagi.”
Dan perjalanan pun berlanjut sampai daerah kost gue di Kayumanis Matraman. Dari sinilah, gue dan Hagian mulai berteman. Dia pun udah jadi semacam tukang ojek langganan gue. Banyak kelucuan yang dia ceritakan, apalagi kalau gue lagi sedih. Sayangnya, kenapa ya gue nggak pernah bisa bersikap baik sama Hagian? Kenapa gue selalu galak?
Gue juga nggak tahu, mungkin gue anaknya emang begitu.