Intertwine Road
Do you believe in fate?
Yeah, I do believe in fate.
Percakapan itu mengganggu benakku setiap malam, setiap menjelang tidur, maupun dalam tidur. Padahal, sudah satu botol obat tidur ukuran sedang yang kukonsumsi dalam dua minggu ini. Sepulang berkutat dengan naik turunnya neraca saham di Gedung Tuan Pembangunan, aku selalu menyempatkan diri untuk membuat badanku lelah. Semua ini kulakukan agar kepalaku yang tak berhenti bicara, segera diam karena mengikuti ritme tubuhku yang kelelahan setelah berjalan dari Gedung Tuan Pembangunan menuju kamar kosku yang kian hari kian seperti ruang jenazah.
Namun, hari ini berbeda. Tubuhku tak menemukan titik lelahnya. Ia justru semakin prima. Dampak buruknya, aku tak akan pernah bisa mendapatkan tidur nyenyak yang kuinginkan belakangan ini. Aku bertanya-tanya, hal apa yang membuatku begini?
Sambil berpikir tentang bagaimana caraku tidur, aku merasakan sesuatu yang ganjil. Kepalaku—ah tidak—ruangan kamarku seperti berputar. Setelah itu, dalam waktu sepersekian detik, dinding kamar kosku menyempit. Ia memampatkan aku ke dalam sebuah pusaran. Aku pikir, ini tentu bukanlah obat tidur.
***
“Kereta yang menuju Intertwine Road akan segera diberangkatkan dari peron delapan. Para penumpang diharapkan berdiri di belakang garis merah. Berhati-hatilah saat memasuki kereta dan perhatikan barang bawaan Anda.”
Perhentian yang asing. Baru kali ini aku melarikan diri dari tidur dan sampai pada tempat publik yang begitu padat. Biasanya, aku hanya tersesat sebentar di dalam kegelapan alam bawah sadarku sendiri dan kembali bangun dengan tubuh berkeringat juga nafas terengah-engah. Mungkin, kali ini Semesta sedang memberikan aku warna lain yang lebih menyenangkan, demi menggantikan tidurku yang tak pernah bisa kudapatkan.
Dalam hiruk-pikuk manusia, percakapan terdengar di sisi kananku. Seorang perempuan dengan lelaki yang tingginya jelas berbeda jauh denganku, sedang berbincang penuh emosi.
“I don’t believe kau. If kau walk dengan her dan kau don’t speak pada saya, saya tidak terima!” kata perempuan itu pada sang lelaki.
Aku tertegun. Bahasa yang sungguh tak pernah kudengar. Sejenak kuperhatikan, rupanya semua orang berbicara dengan bahasa yang sama. Kuperhatikan sekitar dan juga diriku sendiri. Rupanya aku hendak bekerja. Apakah benar? Bukankah ini sudah malam?
Ah aku tak mengerti. Mungkinkah aku terlempar ke suatu masa yang begitu asing?
Tak sampai sekian lama aku berpikir, deru mesin halus mendekat. Dari sisi kiri di tempatku berdiri, sebuah kotak kaca berisi manusia-manusia yang lebih mirip robot bermata merah, berhenti. Pintunya terbuka dengan segera. Hanya sekian mikrodetik, manusia-manusia yang bicara memasuki kotak kaca itu.
Aku? Bagaimana denganku? Aku terdesak di antara mereka. Hinaan dan cacian menghanguskan nalarku di pagi yang asing ini. Tas kerja dan dasiku pun terlontar entah ke mana. Tubuh mereka yang beringas mendesakku ke sana dan ke mari.
“Hey! Back off! Mundurlah kau jika don’t wanna in! Kami harus go to office in 20 minutes!”
Lalu, hinaan lain pun menusukku. “Pergilah! Back to kau punya bed, asshole! Pemalas busuk! Kau tak cocok di Intertwine Road!”
Aku tertawa. Intertwine road? Jalan yang berkelindan? Semua huru-hara dan kekacauan yang disebabkan oleh Gedung Tuan Pembangunan pada duniaku sendiri, menjadi begini di dunia asing ini. Dan mereka menyebutnya Intertwine Road? Segala hal yang berkelindan ada di sana. Begitukah?
Lamunanku berakhir, saat teriakan perempuan yang kupikir mengarah padaku menggema di ruang kaca dan interkom stasiun masa yang asing ini.
“Sir! Jepit rambut saya, please selamatkan!”
Absurd. Tapi, kuambil juga jepit rambut pita hitam putih dengan besi yang nyaris berkarat. Aku bahkan malas memegangnya, sebab rasanya jepit rambut ini sudah lama tak digunakan. Sekitar berapa tahunkah kiranya?
Jawabanku ditemukan. Tepat di atas kepala, kalender seven segment, lengkap dengan jam, menit, detik, bahkan ramalan cuaca dan daftar kereta, tertera.
Intertwine Center Train Station.
18 Januari 2050, 07:05:45, Partly Cloudy.
***
Jalan Kelindan. 27 Mei 2030
“Jadi, anda berminat untuk menjadi seorang pialang saham?”
“Betul sekali Pak. Saya ingin mengarahkan saham-saham orang besar pada proyek pembangunan.”
“Anda memilih pekerjaan yang tepat. Big Brother Building adalah yang paling besar di sepanjang jalan ini dan memiliki kontribusi besar dalam perputaran saham untuk proyek-proyek pembangunan juga proyek korporasi raksasa lainnya yang bermarkas di jalan yang sama. Seperti yang Anda lihat, di seberang gedung ini sedang dibangun menara kembar yang terintegrasi dengan transportasi publik demi kemudahan para pekerja B3.”
“Sesungguhnya, aku hanya mencari seseorang di sini,” gumam seorang perempuan dalam hatinya, sembari membetulkan letak jepit rambutnya dan tersenyum mengangguk pada sang pewawancara.
Setelah perempuan itu bersalaman dengan tiga orang pewawancara, perempuan itu pun melangkah keluar dari ruangan kaca. Ia berjalan menyusuri lorong yang kanan-kirinya penuh dengan manusia dalam kubikel dengan berbagai kegiatan. Standar pekerja. Mengangkat telepon, memeriksa berkas, tertawa sambil minum kopi, berkutat di depan komputer, bahkan ada yang hanya mengikir kuku. Dari sekian banyak manusia, seseorang yang dicarinya, tak ada.
“Joyce!” panggil seseorang. Secercah harapan melintas di depan perempuan itu.
Si perempuan menoleh. Sejurus kemudian, senyumnya sedikit mengecil. Seorang lelaki berdasi, dengan kacamata bingkai abu-abu dan rambut yang nyaris botak, terlihat senang. Ia menyalami Joyce—si perempuan.
“Kamu jadi masuk sini?” tanyanya.
“Iya. Rabu nanti aku di sini,” jawab Joyce.
Lelaki itu mengangguk gembira. “Kamu sungguh percaya pada takdir bukan?”
“Tidak tahu,” jawab Joyce singkat.
Meski begitu, lelaki itu tetap bersikeras pada perkataannya. “Aku percaya. Ini pasti takdir. Kita memang pasti bertemu lagi.”
Joyce hanya tersenyum dan beranjak dari sana. “Aku duluan ya, mau ambil surat referensi.”
Sebelum benar-benar melangkah keluar dari gedung terbesar di sepanjang jalan paling sibuk ini, Joyce kembali menoleh. Mencari-cari seseorang yang pasti tak akan pernah ia temukan.
***
Aku terbangun. Mencoba mengingat percakapan antara aku dan sebuah nama. Rokok, kopi, dan obat tidur berserakan di kamar kos busuk ini. Kepalaku pening. Mimpi itu lagi.
Kamu percaya takdir?
Tentu, aku percaya.
Takdir apa yang dimaksud? Aku juga tidak tahu. Persetan dengan hal itu. Perjalanan malam tadi membuatku bangun……
Brengsek! Aku terlambat menuju Gedung Tuan Pembangunan.
Kupakai pakaian kerjaku seadanya, tanpa mandi atau sikat gigi. Kupakai kaus kaki juga sepatu pentofel mengkilap yang harus selalu kukenakan demi sebuah kata, “moralitas dalam kerja”. Setelah kupastikan semua berada di tempat yang semestinya—tak lupa kupakai celana panjangku di atas celana tidurku—aku pun segera berlalu.
Aku mengingat-ingat apakah ada yang lupa. Setelah kupastikan tak ada yang terlupakan, aku pun beranjak menuju stasiun dekat kosku menuju stasiun Sudirman di jantung hiruk-pikuk Jakarta.
Sesampaiku di kantor, semua orang telah bergegas menuju bagian lantai masing-masing dengan tergesa-gesa. Ada yang terlambat juga rupanya. Hari ini pembukaan saham untuk perusahaan mini yang mengerjakan aplikasi penting di dunia perindustrian. Aku tak tahu pasti apa namanya, sebab itu tak penting. Bagiku, uang yang masuk ke dalam kantong perusahaanku, berarti akan masuk pula ke kantong para brokernya.
“Kau terlambat!” teriak pimpinanku di pintu masuk. Ia berkacak pinggang, dengan wajah yang kupikir lebih menyerupai hantu—sebab bedak terlalu putih, bahkan aku tak mengerti mengapa ia memakai bedak.
“Maaf, sehabis mengurus dokumen, Pak,” jawabku.
Masih dengan posisinya semula, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya sudah, segera menuju mejamu! Hari ini akan mulai pekerjaan akbar yang membuat kita semua menjadi kaya! Camkan itu baik-baik, kecuali jika kau tak lagi ingin ada di sini.”
Aku hanya tersenyum dan berlalu menuju mejaku. Kubikel-kubikel di lantai tempatku bekerja ini sudah penuh sesak oleh orang-orang tak kenal tidur. Telepon dipersiapkan. Grafik saham juga kurs, sepertinya sudah diganti ke layar baru. Belum lagi sekretaris bos yang hilir mudik mengurus entah apa. Semua orang seperti kuda. Dipecut dengan keras dan berlari kencang. Hanya aku yang merasa bahwa energi hidupku ada yang berkurang. Aku hanya berharap agar hari ini tak tiba-tiba jatuh tersungkur, lalu tidur. Sebab, kurasa ada yang salah di dalam kepalaku ini. Mungkin, ini yang namanya narkolepsi.
“Bekerja! Jangan melamun!” teriak bosku, hingga membuat aku tergesa berjalan ke kubikelku dan menyiapkan segalanya di meja.
Dari pembukaan pagi, hingga jam makan siang, telepon berdering tiada henti. Semua orang menginvestasikan uangnya ke perusahaan penemu aplikasi penting ini—sebut saja begitu—seperti sedang berhadapan dengan Microsoft atau apalah. Mereka tak takut uang mereka habis. Sementara aku, yang hanya jadi broker mereka, tak bisa berpikir untuk lebih kaya lagi.
Saat tiba jam makan siang, aku bergegas untuk turun dari lantai tempatku bernaung, menuju satu-satunya tempat menghilangkan penat. Taman hijau—untungnya tidak gersang.
***
Aku rebah di taman sembari menghisap rokok dalam-dalam. Sambil memperhatikan langit yang mendung—partly cloudy—aku melamun.
Lamunanku tak bisa lama, sebab seorang perempuan menyapaku. “Hari yang melelahkan ya?”
Suaranya lembut, seperti semilir angin yang menerpaku di taman ini. Ah, dan juga, wangi sampo menguar dari rambutnya yang tertiup angin.
Perempuan itu terlihat berusaha mengikat rambutnya berkali-kali, namun gagal. Sepertinya, ia hendak menggelung rambutnya hingga rapi.
“Nggak ada hari yang nggak lelah. Bahkan, hari libur pun tetap berpikir akan hari Senin,” jawabku asal.
Perempuan itu hanya tersenyum dan kembali berkutat dengan rambutnya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Nggak apa-apa,” jawabnya.
Tiba-tiba saja, dia menoleh. “Hmm, langitnya mendung. Sepertinya kemarin di berita bilang kalau tanggal 27 Mei 2015 itu nggak mendung.”
“Hari ini tanggal dua puluh enam.”
Perempuan itu lalu berhenti mengikat rambutnya dan segera berdiri sambil menepuk-nepuk bagian belakang roknya. “Wah, aku salah tanggal berarti! Hari ini, harusnya aku interview di sana. Gedung besar itu,” katanya sembari menunjuk gedung tempatku bekerja.
Aku tertawa dan berkata padanya, “Heran. Aku mau keluar dari sana, belum berani. Dan sekarang, ada orang mau masuk sana. Aku kasih saran sedikit, jangan masuk B3 kalau nggak mau mati sakit jantung seperti orang-orang Wall Street yang kebanyakan mengkonsumsi heroin supaya bisa waras kerja.”
Perempuan itu tersenyum lagi. “Dan aku percaya kalau kamu juga banyak mengkonsumsi obat tidur.”
***
Jalan Kelindan, 1 Juni 2030
“Welcome aboard, Joyce!” sapa orang-orang pada Joyce.
Joyce terlihat senang. Senyumnya mengembang, meski dalam hatinya, ia tak begitu senang. Seseorang yang ia cari, tak ia temukan.
Sepanjang hari pertama ia bekerja, ia ditemani oleh lelaki-nyaris-botak-pemakai-kacamata yang ia bahkan tak ingin ingat-ingat namanya. Lelaki inilah yang memaksanya masuk ke gedung terkutuk ini. Padahal, Joyce setengah mati tidak mau bekerja di sini. Ia hanya mencari seseorang yang ia maksud dan memberitahunya pada kawan lamanya yang nyaris botak itu. Tapi, alih-alih memberitahunya tentang hal itu, lelaki nyaris botak hanya terus membicarakan tentang dirinya sendiri—tentunya ia tak bercerita tentang kepalanya yang botak.
“Joyce, kenapa? Kamu kayaknya diem aja,” tegur lelaki nyaris botak pada Joyce.
“Nggak apa-apa,” jawab Joyce.
“Wah, nggak kerasa ya udah lima belas tahun, akhirnya kita satu kantor. Sekarang kamu usia empat puluh ya? Then, how’s life?”
“Not too good. Sekarang kamu ceritakan tentang Kris. Di mana dia? Aku cuma mau kembalikan ini dan tanyakan toko bunga,” jelas Joyce sembari menyodorkan jepit rambut pada lelaki nyaris botak.
Lelaki nyaris botak itu terlihat tidak senang. Namun, ia berusaha menjawab, “So sorry. Aku lupa kasih tahu. Kris sudah resign, dari satu bulan lalu. Maaf kalau aku nggak bilang, karena aku berharap kamu masuk ke perusahaan ini dan kita bertemu lagi.”
***
Sudirman, 27 Mei 2015
“Kenapa aku harus lupa bawa ikat rambut sih?!” teriak seorang perempuan di dekat jembatan penyeberangan saat aku akan berjalan menuju tempat kerjaku.
Aku mencari-cari sesuatu di saku celanaku. Kalau aku tak salah ingat, tadi pagi ketika membeli masker, si penjual masker menyodorkan aku jepit rambut pita sebagai pengganti kembalian.
Tunggu dulu.
Jepit rambut pita?
“Kamu lagi?” tanya perempuan itu padaku, saat aku tergugu mengingat akan jepit rambut. Dan sungguh sial, ingatanku memang pendek, hingga aku tak ingat kapan aku pernah melihat jepit rambut yang kupegang ini.
“Halo. Ada orang?” tegur perempuan itu lagi.
“Oh, hai. Ketemu lagi.”
Perempuan itu melihat tanganku yang menggenggam jepit rambut pita.
“Apakah itu buatku? Atau kebetulan kau membawanya untuk seseorang, dan secara kebetulan aku sedang membutuhkan itu?”
“Aku tidak tahu.”
“Apa ini kepak sayap kupu-kupu?” tanya perempuan itu lagi tanpa membiarkan aku menjawab. Perempuan itu lantas mengambil jepit rambut di tanganku dan segera berlari menuju arah tempatku bekerja.
“Aku pinjam dulu, nanti kukembalikan!” teriaknya dari ujung sana.
Sebab sesuatu yang tidak kumengerti, kepalaku kembali penat.
***
“Saya mau resign, Pak,” gumam seorang perempuan.
“Kamu mau resign?” tanya pimpinan yang menerima perempuan itu. Ia lalu melanjutkan, “Apa kamu yakin. Kamu akan terkena penalti tersebab kontrakmu belum mencapai satu tahun.”
“Saya akan membayarnya. Tiba-tiba saja saya tidak ingin berkutat di meja kerja lagi,” jelas perempuan itu seperti main-main.
“Kamu jangan main-main Joyce! Ini bukan perusahaan main-main!”
“Cukup tuliskan nomor rekening yang perlu saya isikan penalti tersebut.”
Percakapan itu pun selesai, dan aku menyaksikannya dengan wajah tak mengerti. Aku, seperti mengenal perempuan dalam bingkai alam bawah sadarku itu. Tapi, di mana dan kapan, aku sungguh tak bisa mengingatnya. Hanya satu yang kutahu dalam bingkai itu, nama perempuan itu, Joyce.
***
Awal Februari 2050, Intertwine Road.
Nenek tua terbatuk-batuk di tepi kursi stasiun. Kuperkirakan usianya enam puluh tahun. Ia terlihat sedih.
“My collar, my collar. Don’t need dollar, just collar. Saya have satu janji to be finished.” gumamnya samar-samar.
Tunggu.
Aku tersesat. Lagi?
“I wish… Lebih baik saya long time ago membuka toko bunga. Kini, semuanya sudah lebih parah than before. Saya ingin kembali, but I can’t. Waiting for someone, di sini, di negeri ini, membuat saya sakit.”
Bahasa yang asing lagi. Perempuan tua itu bergumam sendiri sambil menangis perlahan. Sebelum aku sempat mendekati perempuan tua itu, aku tersedot kembali ke entah.
***
“Mas! Nggak apa-apa, Mas?” tanya orang-orang. Mereka berkerumun di sekitarku. Tanganku berpegangan pada tepi jembatan penyeberangan. Untunglah, jembatan ini cukup kuat dan terlindungi, hingga aku tak terjatuh dan mati.
“Ah, maaf. Ya, saya nggak apa-apa. Maaf saya menghalangi jalan,” gumamku pada orang-orang itu.
Sambil berusaha berdiri, aku memijat kepalaku. Seberkas sinar seperti melewati isi kepalaku. Aku mulai dapat merangkai kejadian intradimensional ini. Aku pun bangkit berdiri dan berusaha menyeimbangkan tubuhku yang limbung.
Dari atas jembatan penyeberangan, kulihat perempuan itu berjalan menjauh. Rambutnya yang terikat rapi dengan jepit rambut milikku pun bergerak ke kanan dan kiri. Setelah merasa seimbang, aku berlari menyongsongnya.
Aku menuruni tangga dengan tergesa, hingga sepatu pentofel yang menyakitkan ini sudah tak lagi kupedulikan kondisinya.
Aku memanggil nama perempuan itu. “Joyce!”
Perempuan itu menoleh. Ia melihat mataku, dan kebingungan. Aku menyongsongnya dengan tergesa.
“Jangan pergi bekerja.”
“Kamu, tahu aku?” tanya Joyce bingung.
“Stasiun. Tunggu aku di sana. Jangan pergi bekerja.”
“Kamu bicara apa sih? Aku nggak ngerti. Kamu siapa?” tanya Joyce bingung dan takut.
“Aku Kris. Tunggu aku di stasiun.”
Joyce tergugu di tempatnya, sementara aku berlari-lari menuju kantor.
***
Jalan Kelindan, Agustus 2030
“Sudah datangkah truknya?” tanya Joyce padaku.
“Sudah. Nanti tinggal ditata saja. Bunganya masih segar,” gumamku.
“Thanks. You saved me. Again and again, Kris.”
Joyce lantas mendekatiku dan memelukku erat. Wajahnya berbahagia. Begitupun aku.
***
Intertwine Road, Februari 2060
Sepasang kakek dan nenek sedang duduk di tepian stasiun kereta. Sang nenek duduk bersandar di bahu sang kakek, membawa satu buket bunga dengan wangi yang semerbak. Bunga-bunga itu dan mereka yang tersenyum ceria di pagi yang kosong dan huru-hara, seolah memberi warna baru bagi pagi itu.
Jika saja mereka tak bertemu, mungkin saja stasiun itu akan tetap huru-hara dan terburu-buru seperti biasa, tanpa warna. Mereka berdua tetap hidup di jantung kota dengan cara yang berbeda.
***
Stasiun Sudirman, 27 Mei 2015
“Lama nunggu?” tanyaku pada Joyce.
“Nggak. Kenapa sih?” tanya Joyce padaku, dengan wajah takut dan bingung.
Aku tersenyum dan terduduk di sebelahnya. “Bukankah menyenangkan, duduk-duduk di jam kerja seperti ini? Sudah kubilang kan, tak perlu pergi bekerja.”
“Kris, aku baru mengetahui namamu hari ini. Bahkan, aku nggak kenal kamu sebelum ini, tentu saja karena kesalahan di taman kemarin dan karena aku meminjam jepit rambut punya pacarmu—”
“Bukan punya pacarku,” gumamku memotong perkataan Kris. Aku lalu melanjutkan, “Kalau aku nggak beli masker, yang sebenarnya aku juga nggak ngerti buat apa, aku nggak dapat jepit itu. Itu cuma kembalian. Dan kenapa kamu harus lewat jembatan itu? Kenapa harus bekerja jadi broker? Pekerjaan orang sakit jiwa, pekerjaan melelahkan.”
“Aku juga nggak tahu. Aku cuma pikir, aku ingin bekerja,” jawab Joyce polos.
“Karena?”
“Menabung.”
“Untuk apa? Ah ya, biar kutebak. Toko bunga kan?”
Joyce termenung dan menoleh padaku. Ia lalu berkata, “Kamu kok bisa tahu?”
“Tabunganku banyak. Ayo buka toko bunga.”
“Kamu sebenarnya… Siapa?” pekik Joyce makin takut, padaku.
“Aku cuma mau bilang, apa kamu percaya takdir?”
Joyce terdiam.
Aku bertanya lagi padanya. “I’m asking you. Do you believe in fate?”
“I don’t know. I do believe in fate, but I just did what I want.”
“Semacam toko bunga?”
Joyce diam. Aku hanya tersenyum padanya.
***
Matraman, 28 Mei 2015
12:43 AM
P.S.
Just another piece of shit I write in the middle of the night, after a long time hiatus in writing.
Madly in love with parallel universe. What about you?
Just read it. Maybe you will find something, or you won’t find anything after all. :))