Quantcast
Channel: An Official Site of Ayu Welirang
Viewing all 246 articles
Browse latest View live

Menulis Berbagai Omong Kosong dan Bergembira

$
0
0
“Ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi.” ― Helvy Tiana Rosa

***

Ternyata, banyak hal yang terjadi sejak saya iseng mencoba dunia kepenulisan. Berawal dari menulis omong kosong di blog pribadi, lalu masuk ke komunitas menulis dan terus menulis omong kosong yang lain. Tak cuma itu, tertawa sendiri dan berandai-andai tentang bayangan yang perlahan menjadi nyata. Kadang saya berpikir, benar ataukah tipu daya? 

Semua itu adalah suka-duka yang saya rasakan ketika mulai menulis. Menulis apapun. Sajak, curahan hati, ulasan yang 'sok nyeni dan tendensius', catatan harian, jurnal perjalanan, dan omong kosong. Dari semua itu, tentu saja omong kosong lah yang menempati urutan pertama. Sebut saja bahasa tenar omong kosong saya ini dengan 'fiksi'.

Tentu sudah banyak fiksi yang saya tulis. Semuanya berawal dari khayalan yang tinggi. Khayalan itu notabene adalah buah pikir saya yang kelewat liar. Saya ingin menjadi seorang astronot, maka saya tuliskan. Ingin menjadi seorang musisi yang ahli, saya tuliskan ke dalam fiksi-fiksi itu. Bahkan, saya ingin menjadi seorang yang menyukai sesama jenis, saya juga menuliskannya. Banyak karakter yang muncul seiring khayalan itu berkelana. Bahkan, kadang saya mendapati diri saya sedang tersenyum, ketika bercengkerama dengan tokoh-tokoh hasil buah pikir saya sendiri. Itulah sebabnya, El Doctorow berkata, "Writing is a socially acceptable form of schizophrenia." Dan 'mereka' yang hadir dalam setiap tulisan saya, membuat saya tidak pernah kesepian. Mereka selalu hidup. Seiring halaman dokumen yang terus terisi, mereka pun semakin kenyang. Mereka tak akan mati, kecuali saya menginginkannya. Mereka tetap ada di sana, meski saya bertambah usia. Hal itulah yang membuat saya semangat untuk terus menulis.

Lalu, hal apa lagi yang membuat saya bersemangat menulis?

Tentu saja banyak hal yang membuat saya bersemangat, dan menulis dengan gembira. Omong kosong yang banyak itu, kadang mengantarkan saya untuk bertemu dengan orang-orang tak terduga. Kadang, omong kosong itu juga dilirik oleh beberapa orang yang tertarik untuk menyebarkan sabda-sabda bohong yang saya tuangkan dalam halaman kosong. Dari sana, saya semakin bersemangat. Rupanya, ada juga orang yang menelan omong kosong itu. Justru, inilah titik di mana saya makin antusias, karena saya bisa mengetahui pikiran orang itu mengenai isi pikiran saya.

Selain itu, omong kosong mengantar saya pada pertemuan dengan dua penulis lainnya. Sejak pertemuann itu, kami sepakat untuk menulis omong kosong bertiga. Ditetapkan oleh Mbak Annes--salah satu rekan penulis--bahwa kami akan menulis romance-thriller. Wow! Ini sepertinya menyenangkan. Eksplorasi karakter tidak dibatasi, asal sesuai dengan tema dan garis besar cerita yang sudah disepakati bersama. Kami mengerjakan perjalanan hidup yang liar dan penuh darah, di sebuah rumah susun tua yang sudah tinggal tunggu roboh. Kira-kira, selama satu bulan, kami menggarap novel trio yang akan terbit pada bulan Februari ini. Setelah selesai, kami baca lagi karya kami. Ada rasa puas dan keanehan yang timbul. Bagi saya pribadi, ini adalah naskah yang paling cepat saya bereskan. Mungkin, karena dikerjakan oleh tiga orang, naskah ini jadi cepat selesai. Naskahnya pun dilempar ke editor yang bersangkutan, lalu kami melakukan koreksi di beberapa titik, sambil menunggu sampul yang didesain oleh pihak penerbit. Setelah semua prosesnya selesai, kami tinggal menunggu kemunculan 'dia', si calon bayi. Saya sendiri senang bukan main, dan saya menunggu hal yang paling ditunggu oleh mereka yang suka menulis.

Setiap orang yang suka menulis, pasti menunggu hasil tulisannya berada di tangan pembaca. Banyak faktor yang membuat senang, tapi yang ada di atas segalanya adalah ketika tulisan atau karya menemukan pembacanya sendiri. Sebagai seseorang yang menulis karya itu, tentu saya menilai secara subjektif. Tapi, ketika saya memposisikan diri sebagai pembaca, penilaian saya sendiri menjadi objektif. Ada beberapa adegan yang menurut saya tidak efektif, tapi saya bahkan tidak menyadarinya ketika menulis hal itu. Dan setelah begini, saya tentu jadi terpacu untuk menulis omong kosong lebih banyak dan lebih baik lagi. Jika saya saja bisa menemukan hal-hal yang kurang, apalagi pembaca lainnya?

*numpang promo*
Ecstasy di...
Ki-Ka: Gramedia Grand Indonesia, Gramedia Merdeka Bandung, Gramedia Mega Mall Bekasi

Bagi saya, kelahiran karya yang saya tulis adalah kesenangan yang luar biasa. Seluruh jerih payah yang saya berikan untuk karya tersebut, terbayar lunas setelah karya itu sudah 'live'. Saya bahkan sering menjelma seorang yang sebut saja 'norak', menjelang hari lahirnya tulisan saya. Saya sering menanyakan pada teman-teman di berbagai kota, apakah novel atau buku saya sudah ada di sana? Kalau ternyata sudah muncul, bahkan sebelum tanggal kemunculannya, saya jadi makin senang. Saya juga sering melakukan promosi, dengan mengirim foto-foto novel tersebut dari toko buku yang berbeda, ke beberapa jejaring sosial. Anggaplah saya norak, saya tidak peduli. Rasa puas dan kegembiraan ini, mungkin hanya bisa dirasakan oleh orang yang menulisnya. Euforia tentu berbeda saat karya tersebut diterima penikmat karya. 

Dari semua kesenangan dan pengalaman itu, saya jadi kecanduan untuk terus menulis omong kosong. Kelak, saya akan menulis omong kosong yang lebih besar, yang lebih memikat, menulis sendirian, atau bahkan menulis beramai-ramai. Saya ingin tahu rasanya menulis omong kosong dalam medium dan pencapaian yang berbeda.



Februari: Ecstasy

$
0
0
beli di sini: PengenBuku.net | SCOOP | BukaBuku

[judul] Februari: Ecstasy
[penerbit] Grasindo Publisher
[jenis] Novel
[genre] Romance Thriller
[terbit] 09 Februari 2015
[tebal] 200 halaman

Mayang
Napasku memburu. Bayangan Nugie mati di tanganku mulai berputar. Bagaimana aku bisa membunuh dia? Aku tumbuh besar bersamanya. Aku mencintainya.

Nugie
Joya terus menatapku. Kutatap dia jauh lebih dalam, bila perlu sampai menembus harinya. Biar aku bisa menatap di sana. Ya, aku harus bisa menguasai Joya.

Joya
Kubakar ujung lintingan yang lebih besar, kuisap dalam-dalam asap organik itu. Sejenak aku lupa akan Nugie dan Mayang. Kalau aku boleh meminta, aku ingin melupa semuanya.

***

Mayang, Nugie dan Joya dicurigai sebagai pembunuh Sukoco, Sang Pemimpin Geng dan juga merupakan ayah Nugie. Si kembar Mayang dan Joya dibesarkan Sukoco setelah pria itu membunuh kedua orang tua mereka 12 tahun lalu. Tapi semua orang juga tahu, Nugie sangat membenci ayahnya sendiri. Hanya ada satu pemimpin yang boleh menguasai seluruh rusun. Mereka bertiga hanya punya dua pilihan, membunuh atau terbunuh.

***

Kumpulan review Februari: Ecstasy dari para pembaca.

Ketika Ide Tidak Ditunggu, Melainkan Diraih

$
0
0
***Disclaimer:
Dikarenakan template blog ini baru, dan ternyata tidak bisa menggunakan formatting fonts, jadi mohon maaf kalau ada kata yang harusnya tercetak miring, tidak tercetak miring.***

***

Ketika menulis "a so called writing tips" ini, saya baru saja mengirim naskah terbaru yang selesai ditulis dalam waktu kurang lebih dua bulan. Dimulai sejak akhir November, tapi baru benar-benar ditulis secara intens sejak Desember hingga pertengahan Februari ini. Ya, hitung sendiri lah ya, berapa bulannya, saya juga nggak yakin soalnya. :))

Nah, naskah ini adalah naskah yang saya tulis pasca resign dari pekerjaan saya sebagai System Analyst di salah satu perusahaan konsultasi IT. Untuk mengisi waktu luang yang luang sekali--tentunya sebelum saya mendapatkan proyek menulis trio untuk Monthly Series #2 Grasindo--saya mengerjakan novel ini.

Naskah ini sebetulnya adalah salah satu contoh bahwa ide menulis itu bukanlah ditunggu, melainkan diraih alias dipaksakan. Saya sedang menonton film tentang kenakalan remaja, dua seri dan berulang-ulang, ketika pada akhirnya ide naskah ini saya temukan. Sejenak, saya pause film yang sedang saya tonton dan saya menuliskan ide naskah di buku catatan yang biasa saya gunakan. Saya senang mencatat, karena saat menulis novel, saya tidak harus membuka jendela aplikasi lainnya hanya untuk melihat outline atau melihat garis besar cerita yang saya buat. Kalau ada di buku catatan, sambil menulis, saya masih bisa membaca garis besar cerita melalui buku catatan.

Naskah yang idenya saya cari-cari ini, akhirnya menemukan awal dan akhir. Bagaimana konflik dalam cerita diawali, dan bagaimana cara menyelesaikannya. Hingga bagian awal ditulis, saya belum menentukan seperti apa bagian tengah cerita. Nah, oleh karena itu, kehadiran outline sangat diperlukan. Berbekal pengetahuan minim dan mencari di dunia maya, akhirnya saya mengkombinasikan beberapa tips mengenai pembuatan outline dari penulis yang sudah lebih lama melanglangbuana di dunia kepenulisan. Setelah ilmu itu saya cerna, saya mencoba untuk mencatat outline singkat di buku catatan.

Mulanya, outline ini hanya terdiri dari sekian bab, juga bagaimana epilog akan mengakhiri cerita. Namun, seiring perkembangan cerita yang saya tulis, ternyata ada beberapa kebutuhan adegan maupun plot lain untuk menambah kekayaan cerita. Maka dari itu, saya harus merombak beberapa adegan dalam bab tertentu dan menukarnya ke bab lain. Dengan buku catatan, saya tinggal membuat panah-panah untuk mengarahkan bab yang ditukar itu dan menghubungkannya dengan bab yang bersangkutan. Selain itu, penambahan bab juga saya tuliskan garis besarnya, hingga ketika saya lupa, penambahan itu sudah tercatat di buku catatan.

Nah, ide yang saya cari-cari ini, akhirnya bisa membuat saya merasa puas, apalagi saat saya berhasil menyelesaikannya. Dengan bantuan outline, saya jadi lebih mudah mengembangkan ide yang datang karena saya paksa untuk datang, bukan karena saya tunggu. Kalau saya tunggu, bisa jadi malah tidak datang ide sama sekali. Hehe.

klik untuk memperbesar gambar

Ketika pengalaman ini saya tulis di blog, saya sudah mengirimkan naskah utuhnya ke salah satu penerbit dan sekarang mungkin sedang dalam proses evaluasi oleh penerbit. Naskah ini kira-kira terdiri dari 25 bab utuh, dengan prolog dan epilog. Ada sekitar 228 halaman yang berkembang dari 170 halaman karena faktor-faktor yang saya sebutkan pada paragraf di atas. Sekarang saya tinggal berdoa, semoga memang yang terbaik yang akan terjadi. Saya juga tidak sabar ingin menunjukkan tentang dunia yang saya tuliskan dalam naskah ini, kepada para pembaca yang mungkin akan menemukannya.

Saya percaya, setiap kisah dalam fiksi, akan menemukan pembacanya masing-masing. Banyak ataupun tidak, itu tak jadi soal. Yang jelas, saya tetap senang saat menyelesaikan naskah ini dan menikmati proses menulisnya.

Doakan saja ya! :)

Seumpama Sedih, Hidup Memang Tugas Manusia

$
0
0
Kalau sedang susah tidur, biasanya saya menghabiskan waktu hingga mengantuk dengan memainkan game browser bernama Travian. Kalau tidak main game, saya menulis omong kosong yang panjang. Berlembar-lembar kertas bekas cetakan laporan pekerjaan, atau bekas tugas kuliah ekstensi biasanya jadi korban omong kosong itu.

Tapi, ternyata waktu tidur yang diinginkan nggak datang juga. Terpaksa saya rebah di ranjang, lalu menyumpal lubang telinga dengan earphone dan memutar playlist "Bobo" di telepon pintar.

Playlist "Bobo" ini cenderung sendu. Kebanyakan sih lagu-lagu Padi. Lagu semacam "Cahaya Mata" atau "Seperti Kekasihku". Ada juga lagu-lagu lainnya yang tidak Indonesia, semisal Coldplay atau yang agak bernuansa santai--biasanya ini untuk nangkring di hammock--semacam Matchbox 20. Ya, maaf kalau pilihan lagunya agak tua. Alasannya cuma satu sih. Itu karena lagu-lagu yang sudah tua, nggak pernah lekang dimakan rayap.

Lagu sampai pada Sisir Tanah. Yang ini tentu nggak masuk jajaran "lagu tua" di playlist. Mas Danto meninabobokan saya dengan suara beratnya dan permainan gitar apik. Tapi, yang jadi masalah adalah, mendengar Mas Danto bernyanyi, saya malah jadi tak bisa tidur. Mata saya tetap terbuka, menerawang ke sudut kamar kost yang penuh poster. Di sela-sela Mas Danto bernyanyi, saya malah memikirkan soal hidup.

Mas Danto membereskan intro dan bernyanyi, "Seumpama sedih, hidup memang tugas manusia." 

Tiba-tiba saja saya ingat kehidupan. Padahal, biasanya saya cuma menjalani hari-hari seperti biasa, tanpa memikirkan remeh-temeh hidup. Kalau diingat-ingat, sudah empat bulan sejak saya memutuskan berhenti bekerja, dan kini saya tetap di kota orang. Bertahan hidup dengan apa yang saya punya dan belum mau pulang. Saya punya arti tersendiri bagi kata "merantau". Bagi saya, "merantau" adalah istilah yang saya gunakan untuk menunjukkan bahwa saya bisa pulang ke rumah dengan kemenangan atau minimal membawa kebahagiaan. Kalau saya pulang dengan keadaan serba 'pas' seperti ini, apa yang disebut menang? Entahlah. Sebut saya keras kepala. Sebut saya terlalu sinis pada sebuah kata bernama 'pulang', hingga saya memutuskan seperti ini.

Tapi, saya mulai menikmati ritme hidup saya ini. Hidup dengan bertahan di belantara kota yang ganas, serupa hutan sebenarnya. Saya kira, ritme hidup ini sedang mulai saya tata baik-baik, agar tetap berjalan baik. *ini gimana sih bahasanya?*

Namun, seperti permainan Travian, atau Clash of Clans, bertahan tentunya akan seimbang jika kita juga menyerang. Menyerang apa? Ya entahlah. Menyerang kawan mungkin, menyerang beberapa perusahaan raksasa yang menolakmu karena kamu perempuan atau hanya lulusan STM, atau mungkin menertawai mantan kolega dan pimpinanmu di kantor sebelumnya karena masih menunggak gajimu tapi kamu asyik-asyik saja hidup tanpa kekurangan. Nah, serangan seperti itulah yang bisa membuatmu tetap waras, walau di kota besar. Saya kadang menyebut ini secara sederhana sebagai 'rasa syukur'. Ya, tetap bersyukur dan menjalani hidup. Karena, seperti yang Mas Danto bilang, "Seumpama sedih, hidup memang tugas manusia." Tak berhenti di situ, Mas Danto bahkan menambahkan, "Jarang ada benar, takkan pernah ada tempat yang sungguh merdeka."

Itu juga bukan akhirnya, karena Mas Danto tetap bernyanyi. Ia mengingatkan kita bahwa hidup hanya harus terus dijalani, tanpa keluhan sana-sini. Menurutnya, "Seumpama lelah, masih tersisa banyak waktu. Menjelmakan mimpi, menggerakkan kawan, hadirkan perubahan."

Kawan-kawan yang bisa melewati masa sulit bersama, menjelmakan mimpi-mimpi dan mendatangkan damai. Hal ini yang paling penting, karena hanya dengan memiliki kawan setia, hidup yang sulit ini dapat ditertawakan dengan bahagia. Ingat sendiri bagaimana Danny dan para paisano melewati masa krisis kehidupan dengan meminum Anggur Torelli. Bagi mereka, lebih baik tidak makan daripada tidak minum anggur. Haha. Ini adalah sebuah perumpamaan, menurut saya. "Lebih baik mabuk, daripada menjadi waras di tengah kegilaan." Hal ini juga diamini oleh Khalil Gibran, yang bahkan puisinya disadur dalam drama Korea seputar pekerja kontrak, berjudul Misaeng.

"Mesti selalu mabuk. Terang sudah, itulah masalah satu-satunya. Agar tidak merasakan beban ngeri Sang Waktu yang meremukkan bahu serta merundukkan tubuhmu ke bumi, mestilah kau bermabuk-mabuk terus-terusan. Tetapi dengan apa? Dengan anggur, dengan puisi, dengan kebajikan, sesuka hatimu. Tetapi mabuklah!"

Mabuklah sesuka hatimu, begitu kata Khalil Gibran. Lebih baik tak merasakan beban ngeri Sang Waktu dengan mabuk bersama teman-teman, daripada sendirian mencari legenda hidup yang menurut orang-penting-yang-pernah-memimpinmu agar kau cari dan kau temukan. Padahal sejujurnya, hal itu bukanlah legenda hidup yang kau inginkan, melainkan tujuan si-pemimpin-yang-pernah-menahan-bayaran-kerjamu.  Padahal, kau jelas mengetahui apa yang menjadi legenda hidupmu, sebab memang benar, seperti kata mantan pemimpinmu itu, legenda hidup ternyata ada di halaman depan rumahmu sendiri, tanpa pernah kau cari ke mana-mana. Rupanya, legenda hidup itu seperti legenda hidup milik Santiago dalam The Alchemist, si gembala kambing yang memutuskan untuk berkelana hingga akhirnya kembali ke rumah dengan menemukan legenda hidup yang sejak dulu tertanam di pekarangan rumah.

Jadi, setelah kini saya berkelana mencari legenda hidup yang tidak pernah saya amini itu, saya akhirnya menemukan legenda hidup yang sejak dahulu tidak pernah beranjak ke mana-mana. Legenda hidup saya itu selalu ada di samping saya, bahkan di dalam kepala dan hati. Legenda hidup itu adalah dunia tulis-menulis yang saya pelajari sejak saya mulai menyadari bahwa saya terikat dengan dunia itu.

Ya sudah. Begitu saja akhirnya. Walau kini saya harus bersusah-susah dengan pilihan kecil yang akan menjadi sebuah pilihan besar--seperti kata Han Suk Yool si ahli mesin yang memutuskan jadi pekerja di perusahaan trading--saya akhirnya berbahagia karena menemukan legenda hidup di pekarangan rumah sendiri.

Tips Sesat: Menulis Thriller dan Menyelesaikannya

$
0
0
Saya sedang menulis thriller. Ya, THRILLER. Seperti novel 7 Divisi yang sedikit thrilling dan berbau petualangan, novel satu ini pun bernuansa thriller-suspense. Meski begitu, novel yang sedang saya garap ini tidak begitu kental akan petualangan. Dunia yang kini saya bangun, mengacu pada salah satu pekerjaan saya terdahulu, yaitu sebagai satpam cyber. Hahaha. Mengapa disebut 'satpam cyber'? Karena, dahulu sebelum saya memutuskan untuk menulis secara lepas, saya pernah bekerja di perusahaan IT dan kadang tidak tidur berhari-hari hanya untuk mengerjakan deployment aplikasi di server, juga melakukan monitoring. Karena keterbatasan SDM di kantor, apapun harus saya kerjakan. Dan yang membuat saya bangga adalah, saya menjadi perempuan satu-satunya yang berkutat di server, sementara lelakinya malah banyak yang menjadi programmer. Nah, di situ saya bangga, meski dampaknya adalah saya sering sakit maag karena telat makan, atau asam lambung terlalu banyak berinteraksi dengan kopi. Dan yang menyenangkan adalah, saya selalu ditraktir makan junk food. Well, biarpun junk food, lumayanlah daripada jajan sendiri. Jadi, uang gajian bisa ditabung (meskipun sebenarnya tabungan saya nggak pernah benar-benar banyak, saya juga bingung uang gajian lari ke mana). *dan ini adalah curhat*

Nah, kembali ke thriller. Kali ini, saya berusaha merampungkan naskah saya yang lolos dalam GWP batch 2. Judul naskah saya ini adalah CIPHER. Nah, untuk sneak-peek naskah ini, bisa dibaca di sini. Dan untuk beberapa bab naskah juga ada di halaman web GWP itu sendiri, karena waktu itu sistem seleksinya melalui web tersebut. Selengkapnya ada di sini.

Sedikit perkenalan singkat mengenai Cipher. Naskah ini ditulis saat pekerjaan sedang santai. Saya mencoba untuk mengeksplorasi dunia IT--khususnya network engineering--dan mengaplikasikannya ke dalam karya tulis (fiksi). Saya ada satu blog khusus IT dan Linux. Namun, tetap saja saya ingin menumpahkan keluh kesah saya tentang dunia IT ke dalam fiksi. Nah, maka dari itu saya membuat novel thriller berbau konspirasi dunia maya dan hacktivism, hingga lahirlah coretan kasar Cipher. Awalnya, saya lancar sekali mengetik. Hingga sampai bab 5, tiba-tiba saja semuanya menghilang. Hahahaha. Mungkin karena naskahnya terbengkalai cukup lama. Saya iseng posting di website GWP, dan ternyata malah jadi naskah 'Pilihan Editor'. Alhasil, karena kemenangan itulah saya harus membuka kembali draft yang sudah lumutan, lalu mengorek lumutnya hingga bersih dan mengilap lagi. :|

Lalu, di tengah-tengah writer's block yang melanda, apakah yang menemani saya dalam melakukan riset dan penulisan lanjutan Cipher?

Nah, berikut ini beberapa langkah yang saya tempuh saat naskah ini mendekati 'pemberhentian ide'. Sebenarnya, ini mungkin berguna bagi penulisan thriller lainnya, tak hanya techno-thriller ala Cipher.

Mari disimak! :D

~ Tetapkan Deadline

Dalam menulis naskah thriller, kalian harus menetapkan tanggal-tanggal penyelesaian agar tepat dan tidak terlalu mengulur waktu. Misalkan, tetapkan target bab. Tanggal sekian, 5 bab. Tanggal sekian, menuju 10 bab. Dan seterusnya, sesuai selera. Mengapa harus begitu? Karena, kalau naskah ini dibiarkan terbengkalai lamaaaaaaa sekali, sampai lebaran monyet mungkin kalian akan lupa naskah kalian sendiri. Apalagi kalau sub genre thriller-nya terkait teknis, misal techno-thriller yang banyak istilah teknik, atau psychothriller yang banyak tokoh sakit jiwa dan kalian malah lupa nama-namanya. Atau thriller lainnya yang 'menurut-saya-sih-ribet-karena-namanya-juga-thriller'.

Deadline ini akan jadi acuan dan pemacu dalam menulis, agar setiap deadline tertentu, kalian bisa mengevaluasi hasil tulisan kalian sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. 

~ Menyiapkan Cemilan

Martabak Telor Bebek Enaks~
Ini sebenarnya tips sesat. Tapi, menulis thriller yang serius perlu berbagai pertimbangan juga sebab-akibat dalam tiap babnya, agar jalinan cerita menjadi lebih terstruktur. Nah, cemilan ini berfungsi untuk menstimulasi otak agar tidak kelaparan saat berpikir. Daripada saat proses penulisan kelaparan dan harus berhenti untuk cari makanan dulu, lebih baik beli makanan atau cemilannya duluan. Jadi, kalau lapar dan otak sudah susah mikir, bisa langsung makan, nggak usah cari-cari lagi. Lagipula, kalau idenya lagi berapi-api, kan sayang kalau terpotong hanya karena mau jajan dulu? Iya nggak? Ya udah, iya aja deh. :|



~ Membuat Daftar Tokoh

Ini tips perlu banget lho! Saya suka membuat jalinan tokoh sebelum melanjutkan naskah. Naskah thriller biasanya terdiri dari beberapa ornamen di dalamnya, baik yang utama maupun yang hanya figuran. Nah, daftar dan tabel tokoh ini nantinya akan menjelaskan siapa saja yang jadi pemeran utama, lalu apa kepentingannya dalam cerita. Selain itu, naskah figuran juga perlu lho! Dia juga mendapat porsi dan pastinya akan menemui tokoh utama. Harus ada tabel untuk persinggungan antara tokoh ini. Selain itu, trik ini cukup efisien untuk mendeskripsikan tokoh-tokohnya, ciri-ciri fisik, nama lengkap, kebiasaan, pakaian, usia, dan juga tokoh-tokoh yang terdekat dengannya. 

~ Membuat Diagram Alir

Nah, ini sebenarnya cara yang sering digunakan dalam dunia IT. Biasanya sih, para programmer sering membuat diagram alir atau yang dikenal sebagai 'flowchart' sebelum membuat sebuah program. Selain itu, diagram juga kadang dibutuhkan oleh para 'network engineer' untuk mendefinisikan topologi maupun rangkaian kemungkinan dan sistem yang akan dibangun. Dengan diagram yang sama seperti saat saya membuat sistem monitoring dan pembagian perangkat keras, saya pun membuat diagram alir untuk tokoh-tokoh dan sebab-akibat dalam cerita. Nantinya, dari sebab-akibat ini, saya bisa membuat pembagian konflik dan ketegangan ke dalam bab-bab yang saya kerjakan. 

Misalnya, dari tokoh A -> tarik garis ke tokoh B dan kejadiannya -> tarik ke kejadian berikut -> kembali ke tokoh A -> lempar tokoh C -> dan suka-suka Anda saja deh! :)))

Nah, setelah pembagian konflik dalam outline kasar, saya bisa menuliskannya ke dalam bab yang sebenarnya, yang utuh dan tak keropos seperti hatiku.

Tabel Tokoh dan Diagram Alir

~ Membuat Outline

Outline itu ternyata penting lho teman! Dan saya baru menyadarinya setelah sekian lama. Untuk pembahasan outline ini, nanti saya akan jelaskan di posting lainnya ya, soalnya kalau dimasukkan ke posting ini, pasti kepanjangan. Haha. Intinya, saya akan membuat outline dalam menulis naskah novel apapun (tidak hanya untuk thriller), tentunya berdasarkan kepadatan konflik yang sudah saya jabarkan dalam diagram sebelumnya. :)

~ Main Game Untuk Menghilangkan Kejenuhan

Ini tips sesat! Sudah saya ingatkan dari tadi. Kadang-kadang, kalau main game online saat sedang menulis, akhirnya malah jadi nggak melanjutkan penulisan. Tapi, ini efektif sih kalau otak sudah panas karena terlalu banyak menulis tentang pembunuhan, penghancuran, penculikan, atau hal-hal yang terkait teknis yang berhubungan dengan tema cerita (misal tentang hacker, maka si tokoh A lagi bercerita tentang virus komputer yang bisa menghentikan operasional infrastruktur). Nah, main game-lah, tapi hati-hati, game bisa lebih candu dari penulisan thriller itu sendiri. *zzzzzZZZZzzz *sesat

Outline...
(outline games tapinya)

~ Membaca Referensi

Nah, ini sih sudah pasti semuanya juga setuju. Hal terpenting dalam menulis adalah membaca. Karena, kata beberapa tokoh, untuk bisa menulis, kalian harus bisa membaca dulu! Minimal, kalian mempelajari beberapa novel atau cerita yang genrenya sama atau temanya sesuai. Nah, setelah melakukan ini, minimalnya kalian bisa menulis dengan kaidah-kaidah yang ada pada referensi bacaan. Syukur-syukur, kalian malah bisa menemukan kaidah menulis sendiri dengan menggabungkan beberapa gaya penulisan dari beberapa novel, atau melakukan improvisasi gaya penulisan. 

Referensi Thriller dan Cerita Detektif @_@

~ Bersabar dan Tawakal

Hal dan hil yang terakhir tentunya adalah sabar dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika semua langkah telah ditempuh, tapi ternyata naskah thriller masih di situ-situ saja, teman-teman hanya tinggal terus berusaha, sabar, dan berdoa. Saya saja, kadang kalau stuck dan sudah malas sekali, langsung rebahan di kasur dan tidur siang. Lalu, sore-sore bangun, ke warteg, duduk lagi depan laptop tapi tidak mengetik naskah. Karena, mau bagaimanapun juga, otak ini tidak bisa dipaksa. Jadi, kalau sudah stuck ya sudahlah. Mungkin idenya akan datang esok hari. :|

*lalu-digergaji-pembaca* *report-as-spam*

Nah, sekian dulu ya, tips sesat hari ini. Semoga teman-teman semua mendapat pencerahan yang gelap. :p

Selamat menulis dan menjadi gila! :))

Intertwine Road

$
0
0
Intertwine Road

Do you believe in fate?
Yeah, I do believe in fate.

Percakapan itu mengganggu benakku setiap malam, setiap menjelang tidur, maupun dalam tidur. Padahal, sudah satu botol obat tidur ukuran sedang yang kukonsumsi dalam dua minggu ini. Sepulang berkutat dengan naik turunnya neraca saham di Gedung Tuan Pembangunan, aku selalu menyempatkan diri untuk membuat badanku lelah. Semua ini kulakukan agar kepalaku yang tak berhenti bicara, segera diam karena mengikuti ritme tubuhku yang kelelahan setelah berjalan dari Gedung Tuan Pembangunan menuju kamar kosku yang kian hari kian seperti ruang jenazah.
Namun, hari ini berbeda. Tubuhku tak menemukan titik lelahnya. Ia justru semakin prima. Dampak buruknya, aku tak akan pernah bisa mendapatkan tidur nyenyak yang kuinginkan belakangan ini. Aku bertanya-tanya, hal apa yang membuatku begini?
Sambil berpikir tentang bagaimana caraku tidur, aku merasakan sesuatu yang ganjil. Kepalakuah tidakruangan kamarku seperti berputar. Setelah itu, dalam waktu sepersekian detik, dinding kamar kosku menyempit. Ia memampatkan aku ke dalam sebuah pusaran. Aku pikir, ini tentu bukanlah obat tidur.
***
“Kereta yang menuju Intertwine Road akan segera diberangkatkan dari peron delapan. Para penumpang diharapkan berdiri di belakang garis merah. Berhati-hatilah saat memasuki kereta dan perhatikan barang bawaan Anda.”
Perhentian yang asing. Baru kali ini aku melarikan diri dari tidur dan sampai pada tempat publik yang begitu padat. Biasanya, aku hanya tersesat sebentar di dalam kegelapan alam bawah sadarku sendiri dan kembali bangun dengan tubuh berkeringat juga nafas terengah-engah. Mungkin, kali ini Semesta sedang memberikan aku warna lain yang lebih menyenangkan, demi menggantikan tidurku yang tak pernah bisa kudapatkan.
Dalam hiruk-pikuk manusia, percakapan terdengar di sisi kananku. Seorang perempuan dengan lelaki yang tingginya jelas berbeda jauh denganku, sedang berbincang penuh emosi.
“I don’t believe kau. If kau walk dengan her dan kau don’t speak pada saya, saya tidak terima!” kata perempuan itu pada sang lelaki.
Aku tertegun. Bahasa yang sungguh tak pernah kudengar. Sejenak kuperhatikan, rupanya semua orang berbicara dengan bahasa yang sama. Kuperhatikan sekitar dan juga diriku sendiri. Rupanya aku hendak bekerja. Apakah benar? Bukankah ini sudah malam?
Ah aku tak mengerti. Mungkinkah aku terlempar ke suatu masa yang begitu asing?
Tak sampai sekian lama aku berpikir, deru mesin halus mendekat. Dari sisi kiri di tempatku berdiri, sebuah kotak kaca berisi manusia-manusia yang lebih mirip robot bermata merah, berhenti. Pintunya terbuka dengan segera. Hanya sekian mikrodetik, manusia-manusia yang bicara memasuki kotak kaca itu.
Aku? Bagaimana denganku? Aku terdesak di antara mereka. Hinaan dan cacian menghanguskan nalarku di pagi yang asing ini. Tas kerja dan dasiku pun terlontar entah ke mana. Tubuh mereka yang beringas mendesakku ke sana dan ke mari.
“Hey! Back off! Mundurlah kau jika don’t wanna in! Kami harus go to office in 20 minutes!”
Lalu, hinaan lain pun menusukku. “Pergilah! Back to kau punya bed, asshole! Pemalas busuk! Kau tak cocok di Intertwine Road!”
Aku tertawa. Intertwine road? Jalan yang berkelindan? Semua huru-hara dan kekacauan yang disebabkan oleh Gedung Tuan Pembangunan pada duniaku sendiri, menjadi begini di dunia asing ini. Dan mereka menyebutnya Intertwine Road? Segala hal yang berkelindan ada di sana. Begitukah?
Lamunanku berakhir, saat teriakan perempuan yang kupikir mengarah padaku menggema di ruang kaca dan interkom stasiun masa yang asing ini.
Sir! Jepit rambut saya, please selamatkan!”
Absurd. Tapi, kuambil juga jepit rambut pita hitam putih dengan besi yang nyaris berkarat. Aku bahkan malas memegangnya, sebab rasanya jepit rambut ini sudah lama tak digunakan. Sekitar berapa tahunkah kiranya?
Jawabanku ditemukan. Tepat di atas kepala, kalender seven segment, lengkap dengan jam, menit, detik, bahkan ramalan cuaca dan daftar kereta, tertera.
Intertwine Center Train Station.
18 Januari 2050, 07:05:45, Partly Cloudy.
***
Jalan Kelindan. 27 Mei 2030
“Jadi, anda berminat untuk menjadi seorang pialang saham?”
“Betul sekali Pak. Saya ingin mengarahkan saham-saham orang besar pada proyek pembangunan.”
“Anda memilih pekerjaan yang tepat. Big Brother Building adalah yang paling besar di sepanjang jalan ini dan memiliki kontribusi besar dalam perputaran saham untuk proyek-proyek pembangunan juga proyek korporasi raksasa lainnya yang bermarkas di jalan yang sama. Seperti yang Anda lihat, di seberang gedung ini sedang dibangun menara kembar yang terintegrasi dengan transportasi publik demi kemudahan para pekerja B3.”
“Sesungguhnya, aku hanya mencari seseorang di sini,” gumam seorang perempuan dalam hatinya, sembari membetulkan letak jepit rambutnya dan tersenyum mengangguk pada sang pewawancara.
Setelah perempuan itu bersalaman dengan tiga orang pewawancara, perempuan itu pun melangkah keluar dari ruangan kaca. Ia berjalan menyusuri lorong yang kanan-kirinya penuh dengan manusia dalam kubikel dengan berbagai kegiatan. Standar pekerja. Mengangkat telepon, memeriksa berkas, tertawa sambil minum kopi, berkutat di depan komputer, bahkan ada yang hanya mengikir kuku. Dari sekian banyak manusia, seseorang yang dicarinya, tak ada.
“Joyce!” panggil seseorang. Secercah harapan melintas di depan perempuan itu.
Si perempuan menoleh. Sejurus kemudian, senyumnya sedikit mengecil. Seorang lelaki berdasi, dengan kacamata bingkai abu-abu dan rambut yang nyaris botak, terlihat senang. Ia menyalami Joycesi perempuan.
“Kamu jadi masuk sini?” tanyanya.
“Iya. Rabu nanti aku di sini,” jawab Joyce.
Lelaki itu mengangguk gembira. “Kamu sungguh percaya pada takdir bukan?”
“Tidak tahu,” jawab Joyce singkat.
Meski begitu, lelaki itu tetap bersikeras pada perkataannya. “Aku percaya. Ini pasti takdir. Kita memang pasti bertemu lagi.”
Joyce hanya tersenyum dan beranjak dari sana. “Aku duluan ya, mau ambil surat referensi.”
Sebelum benar-benar melangkah keluar dari gedung terbesar di sepanjang jalan paling sibuk ini, Joyce kembali menoleh. Mencari-cari seseorang yang pasti tak akan pernah ia temukan.
***
Aku terbangun. Mencoba mengingat percakapan antara aku dan sebuah nama. Rokok, kopi, dan obat tidur berserakan di kamar kos busuk ini. Kepalaku pening. Mimpi itu lagi.
Kamu percaya takdir?
Tentu, aku percaya.
Takdir apa yang dimaksud? Aku juga tidak tahu. Persetan dengan hal itu. Perjalanan malam tadi membuatku bangun……
Brengsek! Aku terlambat menuju Gedung Tuan Pembangunan.
Kupakai pakaian kerjaku seadanya, tanpa mandi atau sikat gigi. Kupakai kaus kaki juga sepatu pentofel mengkilap yang harus selalu kukenakan demi sebuah kata, “moralitas dalam kerja”. Setelah kupastikan semua berada di tempat yang semestinyatak lupa kupakai celana panjangku di atas celana tidurkuaku pun segera berlalu.
Aku mengingat-ingat apakah ada yang lupa. Setelah kupastikan tak ada yang terlupakan, aku pun beranjak menuju stasiun dekat kosku menuju stasiun Sudirman di jantung hiruk-pikuk Jakarta.
Sesampaiku di kantor, semua orang telah bergegas menuju bagian lantai masing-masing dengan tergesa-gesa. Ada yang terlambat juga rupanya. Hari ini pembukaan saham untuk perusahaan mini yang mengerjakan aplikasi penting di dunia perindustrian. Aku tak tahu pasti apa namanya, sebab itu tak penting. Bagiku, uang yang masuk ke dalam kantong perusahaanku, berarti akan masuk pula ke kantong para brokernya.
“Kau terlambat!” teriak pimpinanku di pintu masuk. Ia berkacak pinggang, dengan wajah yang kupikir lebih menyerupai hantusebab bedak terlalu putih, bahkan aku tak mengerti mengapa ia memakai bedak.
“Maaf, sehabis mengurus dokumen, Pak,” jawabku.
Masih dengan posisinya semula, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya sudah, segera menuju mejamu! Hari ini akan mulai pekerjaan akbar yang membuat kita semua menjadi kaya! Camkan itu baik-baik, kecuali jika kau tak lagi ingin ada di sini.”
Aku hanya tersenyum dan berlalu menuju mejaku. Kubikel-kubikel di lantai tempatku bekerja ini sudah penuh sesak oleh orang-orang tak kenal tidur. Telepon dipersiapkan. Grafik saham juga kurs, sepertinya sudah diganti ke layar baru. Belum lagi sekretaris bos yang hilir mudik mengurus entah apa. Semua orang seperti kuda. Dipecut dengan keras dan berlari kencang. Hanya aku yang merasa bahwa energi hidupku ada yang berkurang. Aku hanya berharap agar hari ini tak tiba-tiba jatuh tersungkur, lalu tidur. Sebab, kurasa ada yang salah di dalam kepalaku ini. Mungkin, ini yang namanya narkolepsi.
“Bekerja! Jangan melamun!” teriak bosku, hingga membuat aku tergesa berjalan ke kubikelku dan menyiapkan segalanya di meja.
Dari pembukaan pagi, hingga jam makan siang, telepon berdering tiada henti. Semua orang menginvestasikan uangnya ke perusahaan penemu aplikasi penting inisebut saja begituseperti sedang berhadapan dengan Microsoft atau apalah. Mereka tak takut uang mereka habis. Sementara aku, yang hanya jadi broker mereka, tak bisa berpikir untuk lebih kaya lagi.
Saat tiba jam makan siang, aku bergegas untuk turun dari lantai tempatku bernaung, menuju satu-satunya tempat menghilangkan penat. Taman hijauuntungnya tidak gersang.
***
Aku rebah di taman sembari menghisap rokok dalam-dalam. Sambil memperhatikan langit yang mendungpartly cloudyaku melamun.
Lamunanku tak bisa lama, sebab seorang perempuan menyapaku. “Hari yang melelahkan ya?”
Suaranya lembut, seperti semilir angin yang menerpaku di taman ini. Ah, dan juga, wangi sampo menguar dari rambutnya yang tertiup angin.
Perempuan itu terlihat berusaha mengikat rambutnya berkali-kali, namun gagal. Sepertinya, ia hendak menggelung rambutnya hingga rapi.
“Nggak ada hari yang nggak lelah. Bahkan, hari libur pun tetap berpikir akan hari Senin,” jawabku asal.
Perempuan itu hanya tersenyum dan kembali berkutat dengan rambutnya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Nggak apa-apa,” jawabnya.
Tiba-tiba saja, dia menoleh. “Hmm, langitnya mendung. Sepertinya kemarin di berita bilang kalau tanggal 27 Mei 2015 itu nggak mendung.”
“Hari ini tanggal dua puluh enam.”
Perempuan itu lalu berhenti mengikat rambutnya dan segera berdiri sambil menepuk-nepuk bagian belakang roknya. “Wah, aku salah tanggal berarti! Hari ini, harusnya aku interview  di sana. Gedung besar itu,” katanya sembari menunjuk gedung tempatku bekerja.
Aku tertawa dan berkata padanya, “Heran. Aku mau keluar dari sana, belum berani. Dan sekarang, ada orang mau masuk sana. Aku kasih saran sedikit, jangan masuk B3 kalau nggak mau mati sakit jantung seperti orang-orang Wall Street yang kebanyakan mengkonsumsi heroin supaya bisa waras kerja.”
Perempuan itu tersenyum lagi. “Dan aku percaya kalau kamu juga banyak mengkonsumsi obat tidur.”
***
Jalan Kelindan, 1 Juni 2030
“Welcome aboard, Joyce!” sapa orang-orang pada Joyce.
Joyce terlihat senang. Senyumnya mengembang, meski dalam hatinya, ia tak begitu senang. Seseorang yang ia cari, tak ia temukan.
Sepanjang hari pertama ia bekerja, ia ditemani oleh lelaki-nyaris-botak-pemakai-kacamata yang ia bahkan tak ingin ingat-ingat namanya. Lelaki inilah yang memaksanya masuk ke gedung terkutuk ini. Padahal, Joyce setengah mati tidak mau bekerja di sini. Ia hanya mencari seseorang yang ia maksud dan memberitahunya pada kawan lamanya yang nyaris botak itu. Tapi, alih-alih memberitahunya tentang hal itu, lelaki nyaris botak hanya terus membicarakan tentang dirinya sendiritentunya ia tak bercerita tentang kepalanya yang botak.
“Joyce, kenapa? Kamu kayaknya diem aja,” tegur lelaki nyaris botak pada Joyce.
“Nggak apa-apa,” jawab Joyce.
“Wah, nggak kerasa ya udah lima belas tahun, akhirnya kita satu kantor. Sekarang kamu usia empat puluh ya? Then, how’s life?”
“Not too good. Sekarang kamu ceritakan tentang Kris. Di mana dia? Aku cuma mau kembalikan ini dan tanyakan toko bunga,” jelas Joyce sembari menyodorkan jepit rambut pada lelaki nyaris botak.
Lelaki nyaris botak itu terlihat tidak senang. Namun, ia berusaha menjawab, “So sorry. Aku lupa kasih tahu. Kris sudah resign, dari satu bulan lalu. Maaf kalau aku nggak bilang, karena aku berharap kamu masuk ke perusahaan ini dan kita bertemu lagi.”
***
Sudirman, 27 Mei 2015
“Kenapa aku harus lupa bawa ikat rambut sih?!” teriak seorang perempuan di dekat jembatan penyeberangan saat aku akan berjalan menuju tempat kerjaku.
Aku mencari-cari sesuatu di saku celanaku. Kalau aku tak salah ingat, tadi pagi ketika membeli masker, si penjual masker menyodorkan aku jepit rambut pita sebagai pengganti kembalian.
Tunggu dulu.
Jepit rambut pita?
“Kamu lagi?” tanya perempuan itu padaku, saat aku tergugu mengingat akan jepit rambut. Dan sungguh sial, ingatanku memang pendek, hingga aku tak ingat kapan aku pernah melihat jepit rambut yang kupegang ini.
“Halo. Ada orang?” tegur perempuan itu lagi.
“Oh, hai. Ketemu lagi.”
Perempuan itu melihat tanganku yang menggenggam jepit rambut pita.
“Apakah itu buatku? Atau kebetulan kau membawanya untuk seseorang, dan secara kebetulan aku sedang membutuhkan itu?”
“Aku tidak tahu.”
“Apa ini kepak sayap kupu-kupu?” tanya perempuan itu lagi tanpa membiarkan aku menjawab. Perempuan itu lantas mengambil jepit rambut di tanganku dan segera berlari menuju arah tempatku bekerja.
“Aku pinjam dulu, nanti kukembalikan!” teriaknya dari ujung sana.
Sebab sesuatu yang tidak kumengerti, kepalaku kembali penat.
***
“Saya mau resign, Pak,” gumam seorang perempuan.
“Kamu mau resign?” tanya pimpinan yang menerima perempuan itu. Ia lalu melanjutkan, “Apa kamu yakin. Kamu akan terkena penalti tersebab kontrakmu belum mencapai satu tahun.”
“Saya akan membayarnya. Tiba-tiba saja saya tidak ingin berkutat di meja kerja lagi,” jelas perempuan itu seperti main-main.
“Kamu jangan main-main Joyce! Ini bukan perusahaan main-main!”
“Cukup tuliskan nomor rekening yang perlu saya isikan penalti tersebut.”
Percakapan itu pun selesai, dan aku menyaksikannya dengan wajah tak mengerti. Aku, seperti mengenal perempuan dalam bingkai alam bawah sadarku itu. Tapi, di mana dan kapan, aku sungguh tak bisa mengingatnya. Hanya satu yang kutahu dalam bingkai itu, nama perempuan itu, Joyce.
***
Awal Februari 2050, Intertwine Road.
Nenek tua terbatuk-batuk di tepi kursi stasiun. Kuperkirakan usianya enam puluh tahun. Ia terlihat sedih.
“My collar, my collar. Don’t need dollar, just collar. Saya have satu janji to be finished.” gumamnya samar-samar.
Tunggu.
Aku tersesat. Lagi?
“I wish… Lebih baik saya long time ago membuka toko bunga. Kini, semuanya sudah lebih parah than before. Saya ingin kembali, but I can’t. Waiting for someone, di sini, di negeri ini, membuat saya sakit.”
Bahasa yang asing lagi. Perempuan tua itu bergumam sendiri sambil menangis perlahan. Sebelum aku sempat mendekati perempuan tua itu, aku tersedot kembali ke entah.
***
“Mas! Nggak apa-apa, Mas?” tanya orang-orang. Mereka berkerumun di sekitarku. Tanganku berpegangan pada tepi jembatan penyeberangan. Untunglah, jembatan ini cukup kuat dan terlindungi, hingga aku tak terjatuh dan mati.
“Ah, maaf. Ya, saya nggak apa-apa. Maaf saya menghalangi jalan,” gumamku pada orang-orang itu.
Sambil berusaha berdiri, aku memijat kepalaku. Seberkas sinar seperti melewati isi kepalaku. Aku mulai dapat merangkai kejadian intradimensional ini. Aku pun bangkit berdiri dan berusaha menyeimbangkan tubuhku yang limbung.
Dari atas jembatan penyeberangan, kulihat perempuan itu berjalan menjauh. Rambutnya yang terikat rapi dengan jepit rambut milikku pun bergerak ke kanan dan kiri. Setelah merasa seimbang, aku berlari menyongsongnya.
Aku menuruni tangga dengan tergesa, hingga sepatu pentofel yang menyakitkan ini sudah tak lagi kupedulikan kondisinya.
Aku memanggil nama perempuan itu. “Joyce!”
Perempuan itu menoleh. Ia melihat mataku, dan kebingungan. Aku menyongsongnya dengan tergesa.
“Jangan pergi bekerja.”
“Kamu, tahu aku?” tanya Joyce bingung.
“Stasiun. Tunggu aku di sana. Jangan pergi bekerja.”
“Kamu bicara apa sih? Aku nggak ngerti. Kamu siapa?” tanya Joyce bingung dan takut.
“Aku Kris. Tunggu aku di stasiun.”
Joyce tergugu di tempatnya, sementara aku berlari-lari menuju kantor.
***
Jalan Kelindan, Agustus 2030
“Sudah datangkah truknya?” tanya Joyce padaku.
“Sudah. Nanti tinggal ditata saja. Bunganya masih segar,” gumamku.
Thanks. You saved me. Again and again, Kris.”
Joyce lantas mendekatiku dan memelukku erat. Wajahnya berbahagia. Begitupun aku.
***
Intertwine Road, Februari 2060
Sepasang kakek dan nenek sedang duduk di tepian stasiun kereta. Sang nenek duduk bersandar di bahu sang kakek, membawa satu buket bunga dengan wangi yang semerbak. Bunga-bunga itu dan mereka yang tersenyum ceria di pagi yang kosong dan huru-hara, seolah memberi warna baru bagi pagi itu.
Jika saja mereka tak bertemu, mungkin saja stasiun itu akan tetap huru-hara dan terburu-buru seperti biasa, tanpa warna. Mereka berdua tetap hidup di jantung kota dengan cara yang berbeda.
***
Stasiun Sudirman, 27 Mei 2015
“Lama nunggu?” tanyaku pada Joyce.
“Nggak. Kenapa sih?” tanya Joyce padaku, dengan wajah takut dan bingung.
Aku tersenyum dan terduduk di sebelahnya. “Bukankah menyenangkan, duduk-duduk di jam kerja seperti ini? Sudah kubilang kan, tak perlu pergi bekerja.”
“Kris, aku baru mengetahui namamu hari ini. Bahkan, aku nggak kenal kamu sebelum ini, tentu saja karena kesalahan di taman kemarin dan karena aku meminjam jepit rambut punya pacarmu
“Bukan punya pacarku,” gumamku memotong perkataan Kris. Aku lalu melanjutkan, “Kalau aku nggak beli masker, yang sebenarnya aku juga nggak ngerti buat apa, aku nggak dapat jepit itu. Itu cuma kembalian. Dan kenapa kamu harus lewat jembatan itu? Kenapa harus bekerja jadi broker? Pekerjaan orang sakit jiwa, pekerjaan melelahkan.”
“Aku juga nggak tahu. Aku cuma pikir, aku ingin bekerja,” jawab Joyce polos.
“Karena?”
“Menabung.”
“Untuk apa? Ah ya, biar kutebak. Toko bunga kan?”
Joyce termenung dan menoleh padaku. Ia lalu berkata, “Kamu kok bisa tahu?”
“Tabunganku banyak. Ayo buka toko bunga.”
“Kamu sebenarnya… Siapa?” pekik Joyce makin takut, padaku.
“Aku cuma mau bilang, apa kamu percaya takdir?”
Joyce terdiam.
Aku bertanya lagi padanya. “I’m asking you. Do you believe in fate?”
“I don’t know. I do believe in fate, but I just did what I want.”
“Semacam toko bunga?”
Joyce diam. Aku hanya tersenyum padanya.

***
Matraman, 28 Mei 2015
12:43 AM

P.S.
Just another piece of shit I write in the middle of the night, after a long time hiatus in writing.
Madly in love with parallel universe. What about you?
Just read it. Maybe you will find something, or you won’t find anything after all. :))



[Coretan Novel] - Halo, Tifa

$
0
0
Prolog

LORONG Lembaga Permasyarakatan khusus remaja di kawasan Bogor tampak lengang. Seluruh narapidana yang terdiri dari remaja dengan usia rata-rata 15-22 tahun sedang mengikuti seminar kecerdasan dan kegiatan aktualisasi diri di salah satu aula. Saat yang lain mengikuti seminar, satu remaja berjalan menyusuri lorong menuju bagian utama lapas. Seorang polisi menggiringnya dengan santun. Remaja itu beberapa kali menghela napas sambil menatap ubin lorong yang kusam dan dingin.
“Silakan, Dik Novian. Yang menjemput kamu sudah menunggu,” gumam polisi itu.
“Ada yang jemput saya? Siapa, Pak?” tanya Novian.
“Saudara kamu.”
Novian berjalan menuju bagian depan penjara. Polisi yang tadi mengantarnya, menunggu di pintu keluar lorong dekat ruang tunggu. Sementara itu, seorang perempuan muda, dengan sepatu gunung dan jaket army, tersenyum menatap Novian.
“Kakak yang waktu itu…” desisnya.
“Hai, Novian! Hari ini lo pulang sama gue. Tifa nyuruh gue jemput lo,” jelas perempuan itu berseri-seri.
Novian bergeming di dekat ruang tunggu. Ia terlalu bingung. Perempuan itu menyebut nama Tifa—cewek yang membuatnya merasa bersalah selama berada di penjara. Jika kali ini ia harus pulang dan menemui Tifa, Novian tentu takkan kuasa menahan rasa bersalah yang terus melingkupinya.
“Ayo, pulang. Ngapain berdiri di situ? Emangnya masih betah di sini?” tanya perempuan itu sedikit bercanda.
Novian mengumpulkan nyali, kemudian berjalan. Ia menjawab sekenanya yang hanya terdengar sebagai gumaman. Sebelum perempuan itu menggiring Novian keluar ruang tunggu dan menuju parkiran, perempuan itu berterima kasih kepada beberapa polisi yang menemaninya selama menanti Novian bersiap-siap tadi pagi.
Perempuan itu merangkul Novian, seolah cowok itu adik lelakinya.
“Nah, sekarang kita pulang. Nanti kita makan sama temen-temen gue ya. Mungkin Tifa bakal nyusul. Dia harus mengurus beberapa masalah di sekolahnya.”
Novian hanya mengangguk, kemudian menghela napas. Ia harus siap diberondong makian dan hinaan dari beberapa orang. Novian juga harus mulai siap menerima pukulan, siksaan, atau… mungkin tusukan? Mungkin yang paling harus ia terima adalah segala macam bentuk balas dendam dari Tifa.
Novian terdiam sampai jipyang ia tumpangi terus melesak di jalanan kota.

Malam Terakhir Dunia

$
0
0
Malam Terakhir Dunia
Oleh: Ray Bradburry

“Apa yang akan kau lakukan jika kau mengetahui kalau ini adalah malam terakhir di dunia?”
“Apa yang akan kulakukan; kau serius?”
“Ya, serius.”
“Aku tidak tahu – aku belum memikirkannya,” istrinya berkata sembari memindahkan gagang teko kopi perak ke arahnya dan meletakkan dua cangkir di atas lepek.
Suaminya menuangkan kopi. Di baliknya, dua gadis kecil bermain balok di karpet, dalam naungan cahaya hijau dari lampu badai. Semua terasa santai, dengan aroma kopi seduhan di udara malam.
“Kalau begitu, lebih baik kau mulai memikirkan itu,” lanjutnya.
“Kau tak jelaskan hal itu?” kata istrinya.
Ia mengangguk.
“Perang?”
Ia menggelengkan kepalanya.
“Bukan bom hidrogen atau atom?”
“Bukan.”
“Atau wabah kuman?”
“Tidak satupun dari hal itu,” ia berkata, mengaduk kopinya perlahan dan menatap pada kedalaman kopi hitamnya. “Katakanlah, hanya penutupan sebuah buku.”
“Sepertinya aku tidak mengerti.”
“Tidak, begitu juga denganku. Ini hanya suatu perasaan, kadang hal itu menakutiku, kadang-kadang aku bahkan tidak takut sama sekali – hanya merasa tenang.” Ia melirik pada gadis-gadis kecilnya dan rambut pirang mereka bersinar di bawah cahaya lampu yang terang, ia lalu merendahkan suaranya. “Aku tidak berkata apa-apa padamu. Hal itu pertama kali terjadi sekitar empat malam yang lalu.”
“Apa?”
“Aku bermimpi. Aku bermimpi bahwa semua akan selesai dan sebuah suara berkata tentang hal itu; bukan suara manapun yang bisa kuingat, tapi hanya sebuah suara, dan suara itu berkata bahwa segalanya akan berakhir di sini, di bumi ini. Aku tidak berpikir terlalu banyak tentang itu ketika aku terbangun keesokan paginya, tapi ketika aku pergi ke kantor dan perasaan itu selalu bersamaku sepanjang hari. Aku memergoki Stan Willis menatap ke luar jendela di suatu sore dan aku bilang, ‘Penny untuk lamunanmu, Stan,’ dan dia membalas, ‘Aku bermimpi semalam,’ dan sebelum dia sempat bercerita padaku tentang mimpinya, aku sudah tahu apa itu. Aku mungkin bisa saja memberitahunya, tapi ia bercerita padaku dan aku mendengarkannya.”
“Dan itu adalah mimpi yang sama?”
“Ya. Aku bilang pada Stan bahwa aku juga memimpikannya. Ia tidak terkejut. Faktanya, ia begitu tenang. Lalu, kami mulai berjalan-jalang mengitari kantor, untuk apapun itu. Tidak direncanakan. Kami tidak bilang, mari kita jalan-jalan. Kami hanya berjalan atas kemauan kami, dan di manapun, kami melihat orang-orang menatap mejanya atau tangannya atau ke luar jendela dan tidak melihat apa yang ada di depan matanya. Aku lantas bicara pada beberapa dari mereka; begitu juga Stan.”
“Dan semuanya bermimpi juga?”
“Semuanya. Mimpi yang sama, tanpa perbedaan apapun.”
“Apa kau percaya pada mimpi?”
“Tentu. Aku tidak pernah seyakin ini.”
“Dan kapankah itu akan berhenti? Maksudku, dunia ini.”
“Kadang di malam-malam kita, lalu, di malam-malam seluruh dunia, lalu bagian-bagian yang bergerak juga. Itu hanya akan berlangsung selama dua puluh empat jam sampai semuanya pergi.”
Mereka duduk beberapa saat tanpa menyentuh kopi mereka. Lalu mereka mengangkat cangkir mereka perlahan dan meminumnya, saling pandang satu sama lain.
“Apa kita layak mendapatkan ini?” tanya istrinya.
“Ini bukan masalah layak atau tidak, ini hanya karena ada hal-hal yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aku bahkan menyadari kau tidak berdebat sama sekali untuk hal ini. Jadi, kenapa tidak?”
“Kurasa aku punya alasan,” kata istrinya lagi.
“Alasan yang sama dengan semua orang di kantor?”
Istrinya mengangguk. “Aku tidak mau mengatakan apa-apa. Itu terjadi semalam. Dan perempuan di blok membicarakan hal itu, di antara mereka saja.” Ia lalu mengambil koran malam dan memberikan koran pada suaminya. “Tak ada apapun di berita yang membahas itu.”
“Tidak, semua orang sudah tahu, jadi apa gunanya?” Ia mengambil koran dari istrinya dan kembali duduk di kursinya, memperhatikan pada gadis-gadis kecil lalu pada istrinya. “Apa kau takut?”
“Tidak. Bahkan tidak untuk anak-anak. Aku selalu berpikir kalau aku akan takut mati, tapi aku tidak.”
“Di mana semangat mempertahankan diri yang para ilmuwan selalu bicarakan itu?”
“Aku tidak tahu. Kau tak akan terlalu bersemangat ketika kau berpikir bahwa hal itu logis. Ini logis. Tak ada penjelasan lain tapi ini memang bisa terjadi dari cara kita hidup.”
“Kita belum terlalu buruk bukan?”
“Tidak, tapi juga tidak begitu baik. Aku kira itulah masalahnya. Kita belum menjadi lebih besar dari suatu hal, kecuali kita sendiri, sementara seluruh bagian dunia sibuk untuk menjadi lebih besar dari hal-hal yang mengerikan.”
Gadis-gadis cilik mereka tertawa di  ruang duduk lalu melambaikan tangan mereka dan menghancurkan rumah-rumahan balok mereka.
“Aku selalu membayangkan orang-orang akan berteriak di jalanan pada saat seperti ini.”
“Aku rasa tidak. Kau tidak berteriak tentang hal-hal yang nyata.”
“Apakah kau tahu, aku tidak akan melupakan apapun tentangmu dan gadis-gadis kecil kita. Aku tidak pernah menyukai kota atau otomasi atau pabrik atau pekerjaanku kecuali kalian bertiga. Aku tidak akan melupakan sesuatu tentang keluarga dan mungkin perubahan cuaca dan segelas air dingin ketika udara sedang panas, atau kenikmatan tidur. Hanya hal-hal kecil saja. Dan kenapa kita bisa duduk di sini sambil bicara dengan cara ini?”
“Karena tidak ada hal lain untuk dilakukan.”
“Itulah alasannya, tentu saja, kita akan melakukannya. Aku rasa ini pertama kalinya dalam sejarah dunia di mana orang-orang bisa tahu apa yang akan mereka lakukan pada malam terakhir.”
“Aku membayangkan apa yang akan orang-orang lain lakukan saat ini, malam ini, sampai beberapa jam ke depan.”
“Pergi ke pertunjukkan, mendengarkan radio, menonton televisi, bermain kartu, mengantar anak mereka ke kasurnya, pergi tidur, seperti biasanya.”
“Dalam cara yang bisa dibanggakan, seperti biasa.”
“Kita tidak terlampau buruk.”
Mereka duduk beberapa saat dan ia menuangkan kopi lagi. “Mengapa kau mengira itu akan terjadi malam ini?”
“Karena...”
“Mengapa tidak di beberapa malam pada sepuluh tahun yang lalu di abad terakhir, atau lima abad lalu atau sepuluh?”
“Mungkin karena itu tidak pernah jadi 30 Februari 1951, sebelumnya dalam sejarah, dan sekarang dan hanya itu, karena hari ini lebih berarti dari pada hari lainnya yang pernah berarti dan karena ini adalah tahun di mana semuanya seperti apa yang ada di seluruh dunia dan karena itulah akhirnya.”
“Ada pengebom di jalur mereka maupun seberang lautan malam ini yang tidak akan pernah melihat daratan lagi.”
“Itu kan bagian dari alasannya mengapa.”
“Baiklah,” ia berkata. “Lantas apakah itu? Mencuci piring?”
Mereka lalu mencuci piring dengan hati-hati dan menumpuknya dengan rapi. Pada pukul delapan tiga puluh, gadis-gadis cilik mereka dipapah ke kamar mereka dan diberi ciuman selamat malam dan lampu kecil di sisi ranjang mereka dinyalakan dan pintu pun ditinggalkan agak terbuka.
“Aku bertanya-tanya,” kata suaminya, keluar dari kamar lalu melihat ke belakang, berdiri di sana dengan pipanya beberapa saat.
“Apa?”
“Apakah pintunya harus ditutup semua atau pintunya dibiarkan terbuka sedikit, jadi kita dapat mendengar mereka jika mereka memanggil.”
“Aku bertanya-tanya apakah anak-anak tahu—atau seseorang menyebutkan sesuatu pada mereka?”
“Tidak, tentu saja tidak. Mereka pasti akan bertanya pada kita tentang hal itu.”
Mereka lalu duduk dan membaca koran lalu mengobrol dan mendengarkan radio musik dan mereka duduk bersama di hadapan perapian, melihat arang yang menyala sampai jam mencapai pukul sepuluh tiga puluh dan sebelas dan sebelas tiga puluh. Mereka memikirkan semua orang yang lain di dunia yang menghabiskan malamnya, masing-masing di cara spesial mereka sendiri.
“Baiklah,” ia pun akhirnya berkata. Ia mencium istrinya untuk waktu yang lama.
“Bagaimanapun, kita sudah baik-baik saja satu sama lain.”
“Apa kau ingin menangis?” ia bertanya.
“Kurasa tidak.”
Mereka berjalan mengelilingi  rumah dan mematikan lampu dan mengunci pintu, dan berjalan ke kamar tidur dan berdiri di malam gelap yang dingin dan menanggalkan pakaian mereka. Istrinya mengambil sprei dari ranjang dan melipatnya hati-hati di kursi, seperti biasa, dan mendorong kembali selimutnya. “Lembaran kainnya sangat dingin dan bersih dan rapi,” gumamnya.
“Aku lelah.”
“Kita berdua lelah.”
Mereka kembali ke ranjang dan berbaring.
“Tunggu sebentar,” kata istrinya.
Ia mendengar istrinya bangun dan pergi ke bagian belakang rumah, dan dia mendengar suara pintu ditutup lembut. Beberapa saat kemudian, ia kembali. “Aku meninggalkan air menyala di dapur,” jelasnya. “Aku mematikan keran air.”
Sesuatu tentang hal ini terasa lucu sehingga membuatnya tertawa.
Istrinya tertawa bersamanya, mengetahui kalau apa yang ia lakukan barusan sangatlah lucu. Mereka berhenti tertawa pada akhirnya dan berbaring di ranjang dingin mereka, tangan mereka saling menggenggam, dan kepala mereka saling berdekatan.
“Selamat malam,” bisiknya, setelah beberapa saat.
“Selamat malam,” jawab istrinya, lalu lembut menambahkan, “sayang...”

***
Diterjemahkan dari "The Last Night of  the World", yang diambil dari Esquire - issue Februari 1951.

Di Pemakaman

$
0
0
DI PEMAKAMAN
oleh Anton Chekhov

 “Angin beranjak naik, teman, dan langit mulai menjadi gelap. Bukankah sebaiknya kita pergi sebelum semuanya menjadi lebih buruk?”
Angin bermain-main di antara daun pohon betula tua yang kekuningan, dan tetesan-tetesan air hujan yang tebal jatuh pada kami dari daun-daun. Salah satu dari kami terpeleset di tanah liat, dan ia berpegangan pada salib abu-abu berukuran besar untuk menyelamatkan dirinya dari jatuh.
"Yegor Gryaznorukov, seorang konselor yang angkuh," bacanya. "Aku kenal pria terhormat itu. Dia sangat menyukai istrinya, dia memakai pita Stanislav, dan tak membaca apa-apa. Pencernaannya lancar, hidup pun baik-baik saja, bukan begitu? Seseorang pasti berpikir bahwa dia tak ada alasan untuk mati, tapi sayang sekali! Takdir rupanya melihat padanya. Seorang yang malang menjadi korban pada kebiasaan observasinya sendiri. Pada suatu kesempatan, ketika dia sedang mendengarkan dari lubang kunci, dia mendapat benturan di kepala dari pintu, di mana dia menderita gegar otak (dia punya otak), dan meninggal. Dan di sini, di bawah batu nisan, berbaring seorang lelaki yang dari lahirnya membenci ayat-ayat dan epigram. Dan seakan ingin mengejeknya, seluruh batu nisannya pun dihiasai ayat-ayat. Ah, ada seseorang datang!"
Seorang pria dengan mantel lusuh, wajah merah-kebiruan sehabis bercukur, menyalip kami. Dia memiliki sebuah botol di bawah lengannya dan sepaket sosis mencuat dari sakunya.
"Di mana makam Mushkin, si aktor?” dia bertanya pada kami dengan suara parau.
Kami lalu mengantarnya ke makam Mushkin, si aktor, yang meninggal dua tahun sebelumnya.
"Kau adalah pegawai pemerintahan, aku tebak?” tanya kami padanya.
"Bukan, seorang aktor. Akhir-akhir ini sulit untuk membedakan aktor dari pegawai di Konsistori. Tak diragukan lagi kalau kau mengira bahwa... Bahwa itu mirip, tapi tidak begitu menyanjung untuk seorang pegawai pemerintahan."
Saat menemukan makam si aktor, sebelumnya kami dilanda kesulitan. Makam itu telah tenggelam, ditumbuhi rumput liar, dan telah kehilangan semua tampilan sebagai sebuah makam. Salib kecil murahan sepertinya mulai rapuh, dan tertutupi lumut hijau yang menghitam karena embun, dan memiliki nuansa patah hati yang lama dan terlihat—seperti yang terlihat—sakit.
"...Mushkin, teman yang terlupakan," baca kami.
Waktu telah menghapus yang tak pernah ada, dan membetulkan kepalsuan manusia.
"Ide sumbangan benda peninggalan miliknya muncul di antara para aktor dan jurnalis, tapi mereka meminum uangnya, dan orang terkasihnya...” keluh si aktor, berlutut di tanah dan menyentuh tanah yang basah dengan lutut juga topinya.
"Apa yang kau maksud dengan, meminumnya?”
“Itu sangat sederhana. Mereka mengumpulkan uang hasil sumbangan, menerbitkan artikel tentang itu di koran, dan menghabiskan uangnya untuk minum-minum. Aku tidak berkata seperti ini untuk menyalahkan mereka. Aku harap hal itu memberi mereka kebaikan dan hal-hal yang berharga! Kesehatan mereka baik, dan ingatan yang kekal untuknya."
"Minum-minum berarti kesehatan yang buruk, dan ingatan kekal takkan ada kecuali hanya kesedihan. Tuhan memberi kita peringatan akan waktu, tapi ingatan yang kekal – apa selanjutnya!"
"Kau benar. Mushkin adalah orang yang terkenal, kau lihat; ada lusinan karangan bunga di peti mati, dan dia kini sudah terlupakan. Mereka yang diberi kebaikannya telah melupakannya, tapi mereka yang disakitinya, mengingatnya. Aku, contohnya, tidak akan pernah melupakannya, karena aku tak mendapat apa-apa kecuali kejahatan darinya. Aku tidak punya cinta untuk yang sudah mati."
"Kejahatan apa yang ia lakukan padamu?"
"Kejahatan yang besar," desah si aktor, dan ekspresi kebencian yang pahit menyebar di wajahnya. "Bagiku, dia adalah penjahat dan bajingan – Kerajaan Surga bersamanya! Aku menjadi aktor karena melihatnya dan mendengarkannya. Dengan seninya, dia membujukku dari tempat tinggal keluargaku, dia memikatku dengan kegembiraan dalam hidup aktor, menjanjikan aku semua hal—dan membawa air mata juga kesedihan. Dunia aktor salah satunya adalah kepahitan! Aku telah kehilangan masa muda, ketenangan, dan pemandangan yang indah. Aku tidak punya setengah sen pun untuk memberkati diriku, sepatuku rusak di bagian tumit, celanaku usang dan penuh tambalan, dan wajahku terlihat seperti sudah digerogoti anjing. Kepalaku penuh dengan pemikiran bebas dan tak masuk akal. Dia merampokku dari keyakinanku—sisi jahatku! Semuanya akan jadi sesuatu jika aku memiliki bakat, tapi karenanya, aku rusak bukan untuk apa-apa. Dingin sekali, temanku yang terhormat. Tak inginkah kalian memilikinya beberapa? Ini cukup untuk semuanya. Brrrr. Mari kita minum untuk sisa-sisa jiwanya! Meskipun aku tidak menyukainya dan meskipun dia telah mati, dialah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini, satu-satunya. Inilah waktu terakhirku untuk mengunjunginya. Dokter bilang, aku akan mati karena terlalu banyak minum, jadi aku datang ke sini untuk bilang selamat tinggal. Satu orang harus memaafkan salah satu musuhnya."
Kami meninggalkan si aktor untuk berkomunikasi dengan Mushkin yang sudah mati dan lanjut berjalan. Lalu langit mulai menurunkan gerimis yang begitu dingin.
Sekembalinya kami ke jalan utama yang berkerikil, kami bertemu prosesi pemakaman. Empat pembawa peti, memakai ikat pinggang belacu putih dan sepatu bot tinggi berlumpur dengan daun menempel di sana, mengangkut peti mati berwarna cokelat. Langit mulai semakin gelap dan mereka bergegas, mereka tersandung juga bergetar karena beban mereka.
"Kita baru saja berjalan-jalan di sini untuk beberapa jam saja dan itu sudah yang ketiga yang dibawa masuk. Bisakah kita pulang, teman-teman?"

***
Cerita pendek ini saya terjemahkan dari "In the Graveyard"oleh Anton Chekhov yang diambil dari sini.

Halo, Tifa

$
0
0
beli di sini: BukaBuku | Gramedia | Bukukita | Angelzon

[judul] Halo, Tifa
[penerbit] Gramedia Pustaka Utama
[jenis] Novel
[genre] Young Adult
[terbit] 15 Februari 2016
[tebal] 256 halaman

SMK Pratama Putra selalu didominasi murid laki-laki. Tak heran bila di tingkat akhir, Terra dan teman-temannya masih sibuk tawuran. Hingga suatu hari cewek mungil bernama Tifa datang sebagai siswi pindahan.

Dengan sikapnya yang supel Tifa menghidupkan kembali OSIS dan ekstrakurikuler yang selama ini tidak berjalan. Keadaan baru itu membuat Terra gerah dan mulai mencari tahu siapa Tifa sebenarnya. Terutama sejak dua teman Terra melihat cewek itu di sebuah bar bersama seorang pria dewasa.

Di saat bersamaan, alumnus STM Tunas Bangsa mulai merencanakan adu domba antara STM tersebut dengan SMK Pratama Putra. Apa yang harus dilakukan Terra dan teman-temannya?

***

Kumpulan review Halo, Tifa dari para pembaca.

Dongeng Mbah

$
0
0


Dongeng Mbah

Di kampungku, sebuah desa kecil yang tak jauh dari panorama Gunung Sumbing, setiap hari raya selalu ramai dengan keluarga yang pulang dari kota besar. Semua orang berkumpul dengan keluarganya, tak terkecuali aku. Pada suatu malam, setelah sembahyang Isya, Mbah Putri sudah duduk di ruang tamu yang lantainya masih berupa lempung cokelat tua dan sumber cahaya satu-satunya di ruang tamu, datang dari lentera dengan bahan bakar minyak. Sampai saat ini, rumah Mbah Putri baru mulai dipugar dan terbilang telat untuk dipasangi keramik, namun Mbah Putri bilang bahwa Mbah lebih suka kalau rumahnya masih bernuansa tua. Rumah lempung dengan lampu minyak yang menggantung di langit-langit rumah. Sejak cucu-cucunya makin banyak dan makin dewasa, Mbah Putri akhirnya mengiyakan tawaran anak-anaknya untuk dibiayai pemugaran rumah. Lebaran kali ini, baru dapur dan kamar-kamar saja yang berubah, sementara ruang tamu masih dibiarkan berlantai lempung. Takbir bergema dari langgar yang tak jauh dari rumah Mbah, dan kami pun siap mendengar dongengnya.
Aku dan sepupuku—jumlahnya mencapai lima belas orang—duduk mengitari Mbah Putri yang sudah renta, dengan matanya yang menyipit. Menjelang hari raya seperti ini, Mbah Putri selalu mengantarkan cerita-cerita yang menyenangkan pada kami, dan kami senang menemani Mbah Putri bercerita. Dongeng-dongeng yang dilontarkan Mbah Putri seperti dekat dengan kehidupan kami, karena itulah kami suka.
Malam ini, Mbah Putri kembali bercerita tentang kisah lama yang terjadi di Ngadirojo, desa tempat kami mudik. Aku duduk di sebelah kanan, dekat dengan meja yang di atasnya sudah terhidang berbagai kudapan dan minuman. Sementara para orang tua sedang berkumpul di balai depan, kami di rumah duduk santai menikmati kudapan dan bersiap untuk mendengarkan dongeng Mbah.
“Kali ini, Mbah mau bercerita tentang legenda perempuan yang meminta tulang babi ngepet yang sudah mati,” gumam Mbah mengawali dongengnya.
Kami semua terdiam barang beberapa detik. Salah satu sepupuku yang paling kecil lalu bergumam, “Babi ngepet itu apa Mbah?”
Yang lainnya tertawa.
“Itu lho, celeng jadi-jadian yang suka curi  uang orang,” jelas Bagus, sepupuku yang usianya hampir sama denganku. Setelah dijelaskan oleh Bagus, sepupuku yang tadi bertanya mengangguk-angguk. Padahal, aku yakin dia juga tak begitu paham maksudnya. Memang dasar anak kecil, yang penting ada penjelasan, selesai perkara.
Mbah Putri geleng-geleng kepala melihat kelakuan cucu-cucunya. Mbah lalu melanjutkan ceritanya yang kini mengalir bagai guru TK bercerita pada anak muridnya yang masih TK.
***
Alkisah, bertahun-tahun lamanya, ketika Mbah Putri masih belia, desa Ngadirojo sedang gencar dibangun. Banyak penghuni desa membangun rumahnya besar-besar, sebagai bentuk keberhasilan mereka. Dari pekerjaan di ladang, pekerjaan ngangon sapi dan kambing milik Pak Lurah, juga pekerjaan lainnya yang menyangkut kota. Rumah Mbah sendiri tak dibangun, sebab saat itu, orang tua dari Mbah Putri sedang bersiap-siap untuk menerima pinangan dari Mbah Kakung. Setelah ditetapkan tanggal akad mereka, singkat kata kakek dan nenekku itu pun menikah.
Kami semua sedikit menggoda Mbah Putri yang ingatannya masih segar kala mengingat cintanya pada Mbah Kakung. Sudah bertahun-tahun lamanya Mbah Kakung meninggal. Kami cucu-cucunya bahkan belum pernah bertemu dengan Mbah Kakung. Maka, Mbah Putri hanya bercerita sedikit tentang romansa masa mudanya itu.
Lantas, beberapa minggu setelah pernikahan mereka lewat, Mbah Putri dan Mbah Kakung memilih tinggal di rumah lempung yang diwariskan oleh Mbah Buyut. Meski rumah itu sederhana, namun rumah itu begitu menyimpan kenangan bagia kedua Mbahku. Aku mendengarkan dengan serius, mencoba menyelami perjuangan masa lalu kakek dan nenekku.
Mbah Putri menenggak teh hangatnya sesekali, sebelum melanjutkan cerita. Lalu, sambil membetulkan syal yang melingkar di lehernya, ia pun melanjutkan.
“Nah, setelah Mbah menikah dan rumah-rumah yang dibangun itu hampir selesai, teror di desa ini dimulai,” jelas Mbah Putri dengan nada yang membuat suasana di ruang tamu sedikit mencekam. Aku pun merapatkan posisi dudukku pada Bagus, sepupuku yang sepantar denganku. Sementara itu, sepupuku yang masih kecil-kecil, duduk di hadapan aku dan Bagus. Sisanya duduk di belakang kami.
Mbah mulai bercerita.
“Rumah-rumah besar itu, rumah orang-orang kaya. Tiap malam ada saja teriakan kehilangan atau kejutan seram. Katanya, mereka melihat seekor babi masuk rumah,” jelas Mbah.
“Bentuknya seperti apa Mbah?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Mbah menenggak lagi teh manisnya dan berkata, “Bentuk e yo celeng. Warna bulunya hitam pekat. Tapi, di antara matanya, ada bulatan emasnya. Nah, yang seperti itulah babi jadi-jadian.”
Menurut dongeng Mbah Putri, babi jadi-jadian itu belakangan mulai meneror warga desa Ngadirojo tiap malam Jum’at. Banyak orang yang pulang mengaji dari langgar lewat tengah malam dan mendengar suara babi lewat sekelebat. Kadang, ada pula yang melihat secara langsung dan ketika dikejar sampai ke kebun, babi itu sudah hilang. Seiring babi itu berkeliaran, selalu saja ada barang yang hilang. Makin lama, rumah orang-orang kaya itu selalu berteriak kehilangan. Entah uang, entah perhiasan, entah barang-barang berharga lainnya. Dan berbulan-bulan lamanya, warga desa belum berhasil menangkap babi itu.
“Terus, terus? Gimana lagi Mbah?” tanya sepupuku yang paling kecil.
 Mbah Putri menenggak tehnya lagi dengan khidmat. “Nah, sebentar. Mbah istirahat dulu ceritanya.”
Semua lalu mengangguk. Aku yakin, semua sepupuku pasti penasaran.
Mbah lalu menarik napas dan mulai melanjutkan ceritanya.
“Berbulan-bulan, babi itu tak tertangkap. Warga desa dan beberapa orang tua di desa, mulai menggelar pertemuan kecil di langgar. Mereka berdiskusi tentang cara menangkap babi itu.”
“Langsung karungkan saja kalau ketemu, terus dipukuli!” kata Mbah mencontohkan teriakan warga desa yang memberi saran ketika itu.
Mbah Putri kemudian bercerita bahwa babi jadi-jadian itu tertangkap. Babi itu ditutupi karung dan dibawa ke rumah Pak Lurah. Ketika dibuka, bentuknya benar-benar babi, berbulu hitam dengan moncong yang berlendir. Babi itu berwajah sedih, mungkin khawatir akan dibunuh. Seperti ada tangis di matanya.
Ramai-ramai warga membawa babi itu ke kebun belakang rumah Pak Lurah. Di sana, rupanya warga sudah menyiapkan upacara pembakaran untuk si babi ngepet yang sudah lama meneror warga desa dan menghilangkan barang-barang milik orang-orang paling kaya di desa. Kadang, aku berpikir, mengapa orang kaya begitu marahnya jika kehilangan barang? Padahal, mereka bisa membeli lagi barang-barang yang sama dengan sangat mudah. Harusnya, yang dipertanyakan itu, mengapa mereka bisa menjadi kaya? Ah, rasanya pikiranku lari kemana-mana. Aku jadi kasihan dengan babi ngepet itu, sebab mungkin babi itu hanya mencoba cari uang sedikit untuk keluarga kecilnya. Entahlah, salah saja rasanya membakar babi itu hidup-hidup.
“Lalu, babinya dibakar Mbah?” tanya sepupuku.
Mbah mengangguk dan menghela napas. “Iya, dibakar hidup-hidup sampai suara babi yang sedih itu menggema di desa. Mereka tidak tahu, kalau babinya dibakar, besok pasti malah tambah merajalela. Babi itu kan bukan babi betulan. Tapi, babinya dibakar pakai doa-doa juga, jadi besoknya babi itu sudah tidak kembali lagi.”
Sepupuku mengangguk dan bergidik ngeri.
Lalu, menurut dongeng Mbah, babi itu mati. Tulang-tulangnya yang tersisa, dibersihkan dari daging dan bulu-bulunya yang hangus terbakar. Tulang babi itu lantas disimpan oleh Pak Lurah di suatu tempat dan warga desa pun merayakan matinya babi itu dengan mengadakan pesta besar. Pesta pembersihan dari jiwa-jiwa jahat, katanya.
Pesta besar diadakan dengan mengundang Pak Lurah dan warga-warga kaya yang ikut menyumbang. Dari sekian banyak warga, sepertinya warga desa yang miskin, tidak mendapat bagian. Pesta itu diadakan semalam suntuk. Makanan enak dihidangkan. Orkes keroncong didatangkan dan wayang kulit pun dimulai tengah malam. Anak-anak kecil main dengan senangnya, dan semuanya berbahagia dengan matinya babi jadi-jadian itu.
Padahal, menurut Mbah, tak ada yang tahu kalau di suatu tempat, seorang perempuan muda sedang menangis. Lilin di hadapannya mati, tanda bahwa yang ia jaga telah hilang dan pergi jauh. Perempuan itu, menurut Mbah adalah pasangan babi jadi-jadian itu—yang sebelumnya adalah manusia. Perempuan itu menghuni sebuah gubuk tua. Benar dugaanku, babi itu hanya orang tak punya yang mencoba cari sedikit rezeki meski caranya agak salah. Tapi, bukankah selalu ada ruang di mana manusia harus dimaafkan?
Lalu, beberapa hari setelah pesta itu berakhir, seorang perempuan terlihat mendatangi rumah Pak Lurah pada malam purnama. Orang-orang yang sedang duduk di depan langgar, melihat perempuan itu melintas dan mengikutinya. Sampai di rumah Pak Lurah, perempuan itu mengetuk rumah tanpa berbasa-basi.
“Ada perlu apa ya, Mbak?” tanya Pak Lurah.
Perempuan itu menjawab, “Saya mau ambil tulang babi yang dibakar tempo hari.”
Pak Lurah bingung dan bertanya, “Untuk apa?”
“Untuk saya rebus jadi kaldu dan jadi kuah nasi kerak. Mohon dipahami, saya ini bukan orang kaya seperti warga desa lain,” jelas perempuan itu.
Pak Lurah yang masih mengernyitkan dahinya lalu menuju kamarnya. Ia mengambil segulung kain berisi tulang babi dan menyodorkannya pada perempuan itu. Setelah perempuan itu mengambil tulang babi yang diinginkan, ia pun pergi.
Sejak hari itu, desa Ngadirojo pun aman tenteram. Tak ada lagi desas-desus babi ngepet yang berkeliaran. Kepergian perempuan yang membawa tulang babi pun, tak lagi diungkit-ungkit. Dan sampai situ, dongeng Mbah Putri pun diakhiri.
“Yah, hanya itu, Mbah?” tanya sepupu-sepupuku yang sedikit kecewa.
Mbah Putri hanya mengangguk dan beranjak dari kursi. Bagus membantunya berdiri dan mengantarnya ke ruangan.
***
Sekitar tengah malam, aku terbangun. Semuanya sudah tidur. Suasana rumah Mbah juga sepi. Hanya terdengar suara jangkrik dari kebun di belakang yang bersahutan dengan takbir dari langgar. Aku berjalan menuju dapur, melewati kamar Mbah Putri di bagian belakang rumah. Pintu kamar Mbah rupanya terbuka. Aku mengintip sedikit, terlihat Mbah Putri yang sedang duduk di pinggir ranjangnya. Saat aku akan masuk, aku mendengar Mbah Putri berbicara, hingga aku mengurungkan niatku.
“Mas, cucu-cucu kita berkumpul semua. Selamat hari raya katanya,” gumam Mbah.
Aku bergidik ngeri. Mbah Putri belum tidur tengah malam begini dan di tangannya, sebuah kain terbuka. Di atas kain itu, setumpuk tulang belulang yang sudah kering terlihat menempati kain. Mbah Putri lalu menutup kain itu setelah komat-kamit berdoa dan beranjak tidur.
Aku terpaku di depan pintu, bertanya-tanya. Mungkinkah itu tulang babi ngepet yang Mbah Putri ceritakan?

***

Jakarta, 24 November 2014

Tips Sesat: Penokohan Karakter Fiksi

$
0
0


image copyright: http://danielkirk.com

Suatu hari, seorang kawan bertanya pada saya mengenai salah satu novel saya. Ia bertanya tentang salah satu tokoh di dalam novel saya, yang menurutnya terlalu banyak merokok sampai-sampai ia takut tokoh saya itu mengalami gangguan pernapasan akut, atau bahkan tidak bisa hamil di masa depan. Berhubung tokohnya memang seorang wanita yang agak urakan dan hidup sembarangan—sebutlah dia seorang cewek tomboy—gaya hidupnya juga tak lepas dari hidup nokturnal. Yang menemani dirinya berkontemplasi hanyalah kopi, rokok, dan tempat tinggi. Sounds like me? No?
Well, menurut saya itulah apa yang dipersepsikan para pembaca. Stigma sebagai perempuan, belum lagi perempuan merokok, atau boleh ditambahkan dengan ‘perempuan-berjilbab-merokok’ sudah terbawa kemana-mana. Tapi, ya itulah adanya. Meski tokoh fiksi, tapi dia tetap berlaku seperti tokoh-tokoh yang hidup dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itulah si perempuan ini dapat diingat.
Nah... Jadi, di tips sesat kali ini, saya ingin sedikit membahas tentang penokohan karakter fiksi. Jika dalam tips sesat sebelumnya, saya pernah membahas bagaimana flowchart para karakter secara singkat, maka sekarang saya akan mencoba untuk membahas tentang bagaimana membuat tokoh yang dapat terus diingat. Memang, banyak penulis dan juga para editor yang menganggap kalau plot adalah yang utama dalam penulisan tokoh fiksi. Tapi, dalam beberapa kesempatan, tokoh-tokoh dalam kisah fiksilah yang membuat plot itu bergerak. Karena tokoh itu hidup dalam fiksi, maka ketergantungan plot menjadi ketergantungan atas hidupnya. (berat amat sih, Yu!)
***

Hampir sebagian besar kisah fiksi yang mendunia, menjadi kanon, berangkat dari karakter-karakternya yang hidup. Sebutlah Danny dan kawan-kawannya yang mengocok perut kita, menggerakkan plot kehidupan dalam Tortilla Flat. Ada pula persona Holden Caulfield yang mendunia, dan menjadi basis ideal persona remaja pada masa ia lahir melalui The Catcher in the Rye. Ada pula Sukab, yang digilai perempuan pecinta senja karena surat-suratnya. Ada para tokoh detektif yang bahkan ketika mereka tidak normal pun, mereka tetaplah seorang manusia. Dan tokoh-tokoh lain yang membekas di ingatan para pembaca ketika pembaca menutup buku.
Meski ada beberapa pengecualian, bagi pembaca thriller yang larut dalam plot cerita, tetapi tidak pernah sepuas ketika membaca kisah fiksi yang tokohnya begitu memberi ilham. Mengapa orang-orang begitu mencintai tokoh fiksi seperti Katniss Everdeen atau tokoh-tokoh fantasi dalam dunia yang tak pernah ada? Itu semua karena tokoh fiksi begitu dekat dengan kehidupan kita semua. Begitu seperti kita. They feel like real people.
Jadi, karena pembaca tidak akan peduli dengan karakter kecuali mereka benar-benar seperti manusia yang pernah ada di dunia ini, bagaimana cara kita membuat karakter dalam fiksi seolah-olah nyata?
Jawabannya sangat sederhana: karakter yang terbaik adalah karakter yang memiliki kelemahan, kebiasaan, bahkan barang-barang bawaan mereka yang orang-orang juga miliki. Tokoh fiksi bukan hanya sebuah nama yang tertulis dalam setiap halaman karya fiksi kita, tetapi mereka juga memiliki kepribadian dan mereka haruslah unik.
Aduh, pusing! Jadi, intinya harus bagaimana?
Intinya... Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika mengembangkan tokoh fiksi kalian agar seperti tokoh yang seolah-olah nyata:
1.       Latar Belakang: Sebagai seorang manusia, kita lahir dengan cara yang sama. Namun, kehidupan yang dinamis membentuk kita menjadi diri kita saat ini. Tokoh fiksi pun begitu. Mereka haruslah memiliki latar belakang sebelum ‘kisahnya’ dimulai. Misalkan, sebelum meteor jatuh, si tokoh adalah seseorang yang introvert, dan suatu kejadian membuatnya menjadi superhero seperti saat ini.
2.      Dialog: Cara bicara seseorang bergantung pada daerah tempat ia tinggal, kultur di mana ia tinggal, dan juga kebiasaan saat ia bicara. Misalkan, tokoh Agus selalu menambahkan ‘Haha’ setelah ia bicara, meskipun yang ia bicarakan tidak lucu. Atau, si Saski selalu bicara dengan logat Jawa medok, meski ia sudah berkuliah di Depok. Dan sebagainya, dan lain-lain.
3.    Deskripsi Fisik: Cara manusia mengidentifikasi seseorang dengan mudah adalah melalui tampilan fisik. Kita cenderung menghafal bentuk wajah, sorot mata, tinggi dan ukuran tubuh orang lain, ukuran kakinya, bahkan cara berpakaian. Sehingga, akan terlihat perbedaannya, ketika orang itu mengenakan pakaian dengan gaya berbeda. Orang pasti akan menilai bahwa sedang terjadi perubahan kepribadian atau minimal perubahan mood pada orang itu. Seperti contoh: Tokoh Tifa selalu memakai kemeja kotak-kotak, celana jins belel, dan sepatu converse. Ketika ia tiba-tiba datang ke suatu pesta mengenakan gaun yang anggun, semua orang pun mengira bahwa Tifa menjadi berbeda, atau sedang berbunga-bunga, atau memang sedang menyesuaikan diri saja di tempat pesta.
4.  Pemilihan Nama: Nama adalah komponen penting dalam penokohan. Jangan sampai salah memilihkan nama untuk tokoh kalian. Sama seperti memilih nama untuk bayi yang baru lahir, kita harus benar-benar memperhatikan pemilihan nama tokoh. Karena mereka akan hidup dalam karya fiksi sedemikian lama dan diingat oleh pembaca, buatlah nama yang memorable dan unik. Tips dari saya sih, tidak perlu membuat nama yang terlalu bule, terlalu mewah, terlalu aneh kalau didengar di dunia nyata. Nama adalah doa, maka dari itu doakanlah tokoh fiksi kalian supaya mendunia lewat namanya. :p
5.    Tujuan Tokoh: Sama seperti latar belakang, seseorang yang lahir ke dunia pasti memiliki tujuan hidup seiring dengan berkembangnya kehidupan. Persinggungan yang terjadi juga akan sedikit menghambat tujuan para tokoh itu (ini akan menjadi konflik dalam plot). Tujuan hidup bisa terdiri dari tujuan-tujuan kecil maupun tujuan utama pada akhir kisah fiksi. Misalkan, tujuan besar Katniss Everdeen ingin menggulingkan tirani Presiden Snow, dan tujuan kecilnya adalah mengumpulkan sisa distrik 12 dan pemberontak dari tiap distrik. Kira-kira seperti itu lah ya.
6.    Kelebihan dan Kekurangan: Agar tokoh yang dibuat tidak terlalu imba (bahasa apa nih IMBA! haha), maka tokoh yang kita buat pastilah memiliki kelebihan dan kekurangan. Misal, di satu sisi, tokoh kita itu jenius dalam setiap pelajaran, namun kekurangannya adalah, ia sering bolos sekolah. Si tokoh kita ini juga moody. He’s always throwing tantrum to his friends and his arch-enemies. Yah, meskipun secara fisik dia lumayan, tapi sifatnya jelek, kan bikin sebal pembaca juga? Tapi, yang menyebalkan biasanya selalu dirindukan. Hehe. Iya nggak?
7.    Teman dan Keluarga: Selain latar belakang dan tujuan hidup, inner circle tokoh kita ini juga akan membentuk kepribadiannya saat ini. Kita  bisa memilah-milah kehidupan sebelum cerita dimulai, dan setelah cerita dimulai. Kita bisa mencampurkan teman-temannya dari masa lalu, dan di masa sekarang. Dari sana, akan timbul konflik di antara dirinya sendiri, dan juga di antara orang lain. Buatlah inner circle yang benar-benar seperti dunia nyata. Untuk referensi, kalian bisa memulainya dengan melihat jaringan pertemanan kalian sendiri. Misal, tokoh Terra (tokoh di novelHalo, Tifa), memiliki teman-teman yang baik, humoris, senang tawuran, tapi mereka merupakan sahabat terbaik Terra. Lalu, ada juga teman lama yang menjadi rival, dan lain sebagainya. Buatlah seperti dunia nyata. Tidak mungkin ada tokoh yang benar-benar penyendiri. Meski tokoh yang ingin kalian buat adalah tokoh penyendiri, tapi dia kan tidak mungkin lahir dari batu—seperti Sun Go Kong. Jadi, pastikan tokoh kalian memiliki jaringan lingkungan terdekat.
8.      Rival: Rival atau nemesis sebenarnya bukan tokoh villain atau antagonis. Dia hanyalah tokoh yang membuat si tokoh utama kadang-kadang bete. Dia ini tokoh yang selalu bersinggungan dengan tokoh utama, meski maksudnya bukan karena suatu persaingan yang ketat. Kadang, tokoh ini juga menjadi rival di masa lalu, tapi kemudian seiring dengan cerita, ia menjadi tokoh yang membuat si tokoh utama berubah. Misal, dulunya ia sering bertengkar dengan tokoh utama, tapi setelah tokoh utama mengetahui latar belakang kehidupan rivalnya itu, pelan-pelan ia belajar jadi dewasa.
9.    Kemampuan Khusus: Skill tokoh-tokoh di dalam karya fiksi sangatlah penting. Kemampuan khusus ini akan membuat tokoh dalam karya fiksi menjadi berbeda satu sama lain. Dan ada hal yang menonjol dari si tokoh. Misal, Katniss Everdeen ahli memanah, sementara Gale ahli membuat bom. Peeta Mellark bisa membuat kue. Atau, Harry Potter yang culun itu, ternyata jadi anggota Quidditch termuda. Dan lain sebagainya.
10.   Kehidupan Tokoh: Sesekali, sisipkan kehidupan normal tokoh di dalam plot. Misal, ketika ia sedang sendiri, apa yang ia lakukan di kamarnya. Atau, apa yang ia kerjakan di hari libur. Apakah ia hobi tidur? Atau ia rajin beres-beres rumah di kala libur? Atau, selain tawuran rupanya si tokoh fiksi ini senang merangkai bunga. Memang, dua hal itu bertolak belakang. Tapi, bukankah pembaca ingin tahu apa yang dilakukan tokoh ketika ia sedang berbelok dari plot utama cerita? J
11.    Gestur dan Kebiasaan: Untuk mengidentifikasi tokoh, selain pada deskripsi fisik, gestur dan kebiasannya pun dapat membedakan ia dengan tokoh lain dalam cerita. Misal, secara fisik, tokoh Terra dan Bram sama-sama tinggi. Mereka sama-sama jago bela diri. Tapi, kebiasaan Terra adalah nongkrong sendirian di atap sekolah, menyendiri dan merenung, sementara Bram senang melakukan kegiatan organisasi. Selain itu, sisipkan kebiasaan kecil mereka. Misal, Tifa senang mengunyah permen karet dan lari-lari di koridor. Kadang ia bicara sendiri, kadang ia tertawa bahagia. Ia jelas berbeda dengan tokoh Yuya yang blak-blakan, dan lebih suka merokok daripada mengunyah permen karet.
12.   Rasa Takut: Jangan lupakan hal yang paling natural dari seorang manusia, yaitu rasa takut. Setiap tokoh fiksi, tentulah harus memiliki rasa takut akan sesuatu atau akan hal-hal yang menjadi kecemasannya. Dengan begitu, tokoh fiksi akan menjelma jadi tokoh yang seolah-olah nyata, karena ia berlaku seperti manusia pada umumnya.
Penokohan karakter fiksi haruslah dibuat se-detail mungkin dan complicated, agar seperti karakter nyata. Gabungkan beberapa poin di atas dan coba untuk membuat kerangka tokohnya, sebelum menuangkannya ke dalam plot. Setelah jelas gambaran tokoh kalian, maka mulailah menghadirkannya pelan-pelan ke dalam plot. Kalian juga harus mengenal tokoh yang kalian ciptakan itu, jangan sampai ia tersesat atau tertukar dengan yang lain. Kadang-kadang hal ini terjadi pada karya fiksi yang memiliki banyak tokoh. Namun, jika kita melakukannya dengan baik, tentu tokoh-tokoh yang tercipta pun akan memorable. Semoga~
Jadi bagaimana? Sudah siap untuk membuat tokoh-tokoh kalian sendiri? Saya tunggu ulasan dan percobaannya! Jangan sungkan-sungkan untuk bertanya maupun berkomentar, saya mungkin akan mampir juga ke lapak kalian!
Selamat menulis!
***
Referensi:

Ulasan Personal Intelegensi Embun Pagi: "Hidup Memang Hanya Untuk Bertanya"

$
0
0
Tiga hari yang lalu, saya baru saja selesai membaca installment keenam, atau seri terakhir dari Supernova yang diberi judul Inteligensi Embun Pagi. Selesai membacanya, saya seperti menelan makanan yang teramat banyak. Merasa penuh. Kemudian, dalam beberapa detik saja, saya merasa kosong. Ya, seperti muntah karena terlalu kenyang. Atau terlalu mabuk. Meski banyak ekspektasi orang yang terpatahkan di seri terakhir ini, saya tidak merasa demikian. Bagi saya, seri terakhir ini sudah menjelma penutup yang menggantung sempurna. Ini sudah mengenyangkan, meski pada akhirnya saya harus merasa kosong. Ah, kosong. Bukankah kosong adalah isi?

Pada Intelegensi Embun Pagi, kisah dimulai dari pencarian Gio yang belum purna. Ia masih berusaha mencari Diva yang menghilang. Namun, seiring perjalanan, ia malah mendapati fakta lain mengenai dirinya yang seorang Harbinger atau yang familiar disebut sebagai Peretas.
Gio Clavis Alvarado, menyandang tugas sebagai Peretas Kunci. Dari namanya, Clavis. Dan kode namanya adalah Kabut. Maka dari itu, ia selalu dipanggil sebagai Chawpi Tuta—Kabut dalam bahasa Quechua. Gio yang kini mendapatkan fakta baru, diharuskan kembali ke Indonesia, untuk mengikuti kata hatinya sebagai seorang Peretas Kunci. Sebagai Peretas Kunci, ia terbangun begitu cepat, melalui upacara Ayahuasca yang diinisiasi oleh salah seorang Infiltran bernama Luca.
Singkat kata, pencarian Gio kini mengarah pada pencarian Peretas lain yang berlokasi di Indonesia. Sebagai Peretas Kunci, tugas Gio nantinya adalah membangunkan mereka yang terduga Peretas. Gio yang berada di gugus Asko, harus mencari teman satu gugusnya yang terdiri dari lima orang lain. Dengan begitu, gugus Asko akan tergenapi dan Hari Terobosan akan tercapai.
Bagi sebagian orang yang membaca cepat dengan melewatkan banyak informasi dalam novel, mungkin akan menemukan novel ini begitu hambar. Begitu gersang. Banyak istilah aneh yang membuat pembaca tidak nyaman. Banyak istilah ritual shaman yang muncul pada IEP. Meski begitu, saya menikmatinya. Pembahasan samsara yang sesungguhnya berat, terjalin dengan sangat kompleks dan runut di tangan Dee Lestari. Dee Lestari adalah salah satu dari sekian banyak penulis golongan sastra wangi yang berhasil membuat pembaca larut tanpa jidat berkerut. Selain itu, humor yang disisipkan pada IEP membuat pembaca sesekali tertawa. Sungguh, ini pengalaman spiritual sekaligus pengalaman berpetualang dalam dunia ancient astronauts yang menegangkan.
Pertemuan seluruh tokoh yang seperti kebetulan—padahal tak ada yang kebetulan—mulai menguak satu per satu rahasia di antara tokoh, nama tokoh, dan latar belakang mereka. Perlahan, kerinduan pembaca pada tokoh-tokoh Supernova di seri awal pun terbayar. Pada IEP, kita akan bertemu lagi dengan Bodhi, Elektra, Mpret, Kewoy, Kell, dan tokoh-tokoh Supernova lain yang kemunculannya ditunggu sejak edisi Petir lompat ke Partikel selama bertahun-tahun. Momen bertemu dengan mereka pun menyenangkan. Koneksi antar mereka pun akhirnya mulai dikisahkan dalam IEP.
Novel setebal tujuh ratus halaman ini tidak terasa tebal ketika Dee Lestari yang menulisnya. Seperti pencerita yang sangat magis, IEP ini dapat saya habiskan secara kilat. Berbeda dengan proses membaca Bilangan Fu—yang sarat spiritualisme kritis—IEP saya habiskan hanya dua hari kurang. Sedangkan, Bilangan Fu yang sejak lama saya baca, lalu saya ulangi lagi dan ulangi terus, sampai saat ini belum menemukan muara di pencernaan kepala.
Tapi begitulah, kesenangan tak pernah berlangsung lama. Ketika mengetahui kalau halaman IEP sudah sedikit lagi akan menuju akhir, saya merasa tak rela. Saya ingin melompat ke halaman belakang untuk curi-curi baca, tetapi tak tega. Saya mencoba untuk terus bertahan dari halaman ke halaman tanpa penasaran—yang mana tak akan saya spoiler-kan di ulasan personal ini karena pasti akan membuat mereka yang belum membacanya mencak-mencak pada saya. Dari beberapa puluh halaman terakhir, saya mencoba mengikis IEP pelan-pelan. Sebab, saya tahu, jika saya terburu-buru, maka rasa kosong itu akan hadir lebih cepat.
Sungguh, pengalaman membaca IEP adalah pengalaman magis yang membuat saya seperti terbang ke Asko. Saya pun mempertanyakan pula apa arti hidup, apa tujuan manusia hidup. Apakah kita terlahir ke dunia untuk membayar kesalahan-kesalahan di masa lalu, hingga harus berenang dalam lautan samsara? Apakah kisah hidup kita adalah sebagian dari rencana-rencana di masa lalu, yang lantas perlu kita caritahu karena sebagai manusia, kita adalah makhluk amnesia? 
Novel ini memang sesuai seperti yang Dee Lestari katakan pada kalimat penutup personalnya untuk mengakhiri seri Supernova. Bahwa, IEP adalah proses menulis yang menyenangkan dan membuatnya getir. Menulis Supernova IEP, semacam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia lemparkan pada hidup dan kemudian bukannya mendapatkan jawaban utuh, tetapi jawaban itu menarik pertanyaan lain. Bukankah, hidup adalah serangkaian pertanyaan, yang kita tak pernah tahu jawaban mutlaknya?


Kepada Cermin dan Masa Depan

$
0
0


Halo, Masa Depan…

Apa kabarmu? Kuharap kau senantiasa baik-baik, sehat, dan sejahtera. Semoga kau selalu ada dalam posisi stabil dan tangguh, karena kau pernah berkata, bahwa untuk bersama-sama menjadi satu, maka setengah bagian dari kita harus sama-sama tangguh. Untuk menjadi satu, maka kita harus sama-sama dapat berdamai dengan apapun yang akan terjadi nanti.
Saat aku menulis surat ini, aku sudah ada di titik mengikhlaskan masa lalu, sudah membereskan sesuatu yang belum selesai dengan seseorang, sudah memohon maaf pada mereka yang pernah tersakiti dan aku sedang dalam proses berdamai dengan diriku sendiri.
Hal yang sedang kulakukan ini cukup sulit, wahai Masa Depan. Berdamai dan bernegosiasi dengan monster yang bisa muncul tiba-tiba dari dalam diriku ini, perlu tingkat fokus yang tinggi. Belum lagi, trik politik yang harus kulakukan untuk mendamaikan monster itu, bayangan dalam cerminku.
Aku kerap kali terlepas dari diriku sendiri, dan tertinggal di dalam cermin. Aku terjebak di sana, dan bayangan itu mengambil seluruh diriku, meninggalkanku di dalam cermin. Kini, aku dan bayanganku terpisah secara sadar, dan kadang aku tak bisa mengendalikannya. Maka, aku perlu sedikit bernegosiasi dengannya, untuk tak mengambil diriku saat bersamamu. Atau, bolehlah ia mengambil diriku dan menaruhnya di dalam cermin, tapi ia usahakan untuk memunculkan sebagian dari diriku pada dirinya, agar seluruh diriku tak tertinggal di dalam cermin.
Rasanya, aku sudah cukup berhasil mengendalikan itu pada waktu-waktu tertentu. Sebab ada dirimu, wahai Masa Depan. Aku bisa sedikit berpijak dan mengingat, di kala diriku yang kau lihat bukanlah diriku yang utuh, melainkan setengah aku dan setengah bayangan dari cermin. Meski begitu, kau tetap maklum dan sabar. Kutanya, “Apakah kau takut dan kesal?” Jawabmu hanya, “Tidak. Aku malah khawatir.”
Maka aku pun belajar berusaha keluar dari cermin. Mendobraknya dengan keras, memecahkannya jadi kepingan. Kuusahakan diriku untuk bangkit, agar kau tak khawatir. Kuusahakan untuk berjalan keluar dari serpihan cermin, dan mencari diriku yang utuh. Aku ingin tetap baik-baik saja. Aku ingin tetap melihatmu melalui diriku sendiri, bukan melalui bayanganku.

Note:

  • Ditulis ketika mendapat jadwal “on duty weekend” dan berusaha memecah kebosanan dengan menulis omong kosong.
  • Ditulis dengan latar lagu berikut: d’cinnamons – loving you; jess glynne – hold my hand; homogenic – untukmu, duniaku; the chainsmokers – roses
  • Ditulis dengan senyum lebar dan tawa kecil yang berirama.



Web Series: Not For IT

$
0
0
Siapa yang tak mengenal Jakarta? Tentu hampir sebagian besar orang mengenal Jakarta, kota metropolitan yang hingar-bingar. Bagi sebagian orang, Jakarta jadi kota impian untuk mencari rezeki, untuk menumpang hidup, dan untuk menyambung nyawa. Tapi, Jakarta punya arti berbeda bagi keempat orang ini.
Bagi Hani, Jakarta adalah kota yang menuntut eksistensi. Sejak tak berhasil masuk perguruan tinggi favorit, dan lulus dari perguruan tinggi swasta, Hani memindahkan obsesinya untuk menjadi praktisi IT terbaik di perusahaan konsultan IT terbesar di Jakarta. Sayangnya, nasib membuat Hani harus mulai bekerja dari posisi yang serba menantang keilmuannya..
Bagi Gian, Jakarta tentu hanya tempat cari uangdan menumpang hidup. Sejak kecil, Gian besar di Jakarta dan tak berniat hijrah kemana-mana. Ia berteman baik dengan Hani dan menjadi tempat curhat perempuan itu.
Sedangkan, bagi Cia dan Okto, Jakarta hanya tanah yang bisa mereka injak sesuka hati. Sejak di perguruan tinggi, kedua orang ini sudah berdiri sebagai bintang dan Jakarta pun mereka taklukkan.
Dan Jakarta, mempertemukan mereka, keempat orang yang berada di usia pertengahan dua puluh. Jakarta, mempertanyakan eksistensi mereka, atas persahabatan, persaingan ketat dunia kerja, persaudaraan, dan bahkan cinta.
Bagaimana suka-duka keempat orang ini dalam menghadapi Jakarta melalui masing-masing peran mereka?

Not for IT: Bagian 1 - Pagi, Hanisya!

$
0
0

image source from here.edited with: GIMP
 


01. Pagi, Hanisya!

Rasanya, libur weekend baru saja datang, deh! Dan sekarang, gue malah sudah berdiri lagi di dalam Transjakarta koridor Pulogadung - Dukuh Atas. Bertahan dari manusia yang berebut masuk di halte Pasar Genjing dan bertahan dari bau ketiak pagi hari. Ya begitulah. Setidaknya, ada Mas Akhdiyat Duta Modjo yang setia di kuping ini, menyanyikan lagu semangat cuma buat gue seorang. 
Lagi santai-santainya karaoke sendirian kayak remaja-alay-yang-pakai-headphone-raksasa-Beats by Dr. Dre-sambil-naik-sepeda-di-CFD, tiba-tiba saja busway reyot ini berhenti. 
Astaghfirullah!” teriak seorang Ibu di samping gue.
Dan persis efek domino, Ibu ini jatuh ke arah gue. Gue terdorong. Pegangan terlepas. Secara slow motion, gerakan lunglai khas pegawai kantoran yang belum sarapan, gue jatuh cantik ke samping kanan, menimpa mbak modis pegawai bank. Gue nggak tahu apakah karena gue jatuh ke arah dia, dandanannya tiba-tiba jadi luntur, atau dia memang habis nangis gara-gara sesuatu, atau malah nangis karena tertimpa gue yang naudzubillah berat, maskaranya jadi benar-benar luntur! Dia lalu ngomel-ngomel. Menyerocos tak jelas. Ingin rasanya gue sumpal pakai tissue bekas lap keringat gue. Kan bukan gue yang salah tho, Mbak! Huhu.

 “Aduh, pegangan yang bener dong Mbak!” teriak pegawai bank itu ke kuping gue. Gue melengos datar sambil memperbaiki posisi berdiri yang tadi jadi tertahan sama sebelah kaki doang.
 “Dan kau bisikkan kata cinta,” seling Mas Duta di dalam kepala gue.
“Ya ampun! Pak Supir, yang bener dong nyupirnya!” gerutu Ibu di samping gue.
Pastikan kita seirama,” kata Mas Duta lagi.
“Oalah, bajaj guoblok!” jawab Pak Supir, tak mengindahkan gerutuan para penumpang di belakangnya. Sementara semua orang menggerutu, yang gue dengar cuma lagu Sheila on 7 di dalam kepala. 
Iya, Pak. Gue mengerti kekesalan Bapak. Pasti Bapak lebih kesal dari gue. Subuh-subuh sudah berangkat ke pool Transjakarta. Absen pagi lalu nyupir. Sedang gue yang cuma gelantungan di dalam bus, kan nggak harus protes. Wong gue cuma tinggal berdiri lalu sampai tujuan. Kalau malas sambung busway ke koridor Blok M, ya gue tinggal jalan kaki. 
Bagaimanapun, ini bukan salah Pak Supir kok! Ini salah bajaj yang ambil jalur busway! Iya, seperti kata supir busway. Bajaj goblok! 
Argh! Kenapa sih Senin pagi harus kayak gini? 
***
Jam baru menunjukkan pukul setengah sembilan kurang saat gue mengempaskan pantat ke kursi. Baru mau bernapas, eh si Hagian udah nyamperin. Kalau Hagian yang nyamperin gue, pasti bukan kabar baik. 
“Han, server database-nya Pak Joni nggak report ke aplikasi monitoringtuh. Bisa tolong cek enggak? Soalnya gue mau kirim laporan shift tiga,” jelas Hagian. 
Bla bla bla bla katanya. Gue menutup mata. 
Hagian malah menggoyangkan pundak gue. 
“Aduh, Yan! Gue masih ngantuk ini. Sebentar aja dulu gitu. Gue pengen santai sebentar aja! Lihat nih, keringat aja belum kering!” semprot gue sambil menunjukkan bulir-bulir keringat dari jidat. 
Hagian berkacak pinggang. Kaus belel yang sepertinya sudah berkerak air liur itu terlihat menyebalkan di pagi hari. 
“Yeee. Kok malah ngomelin gue sih? Kalo elo ngantuk, apa kabar gue? Gue juga dari nerus shift dua kemaren nih belom molor!” balasnya. 
Baiklah, gue mengalah. Gue menyalakan laptop. Tak lupa gue sambungkan laptopke kabel jaringan yang menyembul dari lubang kabel di meja kerja gue. Mengonfirmasi password proxy di dalam jaringan kantor dan mulai mengerjakan titah Hagian. 
Hagian senyum-senyum girang. Sambil mencubit pipi gue, ia berlalu. “Makasih ya Hani yang cantiiik dan baiik.” 
Dan sepagi ini, gue sudah mencakar satu orang rekan kerja. Sementara si korban tercakar sedang tertawa girang sambil merapikan barang-barang di mejanya, gue sudah engecek server yang dimaksud. 
Masih dalam kondisi kesal, seseorang menyapa gue dari samping. Gue sudah hampir marah-marah kalau saja gue tidak melihat dia. 
“Pagi, Hanisya.” 
“Apaan lagi si......” Kata-kata gue berhenti. Gue nggakjadi marah-marah.
Mas Okto menyapa. Dia itu, Mas Duta versi KW super! Memang sih, dia nggakbisa nyanyi. Tapi, suaranya mirip Duta Sheila on 7! Dan, wajahnya agak hitam manis lucu menggemaskan gitu. Tingginya pas banget lah buat perempuan sedang-sedang saja semacam gue. Dan pagi itu, dia tiba-tiba menyapa gue sambil senyum. 
Aduh senangnya. Aduh bahagianya! Kalau ada yang bilang, cuma disapa begitu doangbisa bikin perempuan layu, lemah, dan baper, itu benar! Dan kayaknya perempuan labil kayak gue ini mudah lemah sama sapaan semacam sapaan Mas Okto di pagi hari yang kelabu. Tiba-tiba aja, meja kerja abu-abu gue jadi warna-warni dan pagi jadi semarak. Mengerjakan titah si Hagian pun jadi lebih ringan (padahal biasanya juga ringan-ringan aja sih, gue aja yangberlebihan).
Di tengah kesenangan, Hagian balik lagi dan mengganggu, “Woi! Udah belum!”
“Eh, iya sebentar!” Mimpi utopik gue soal Mas Okto yang menyanyikan lagu Seberapa Pantas-nya Sheila on 7 langsung hilang gara-gara kerjaan. 
Waktu Hagian nyuruh-nyuruh gue kayak mandor bangunan gitu, Mas Okto hanya tertawa penuh wibawa. Udah gitu, dia lantas mendongak ke Hagian yang tinggi badannya agak lebih tinggi daripada dia. “Pagi, Yan. Lembur?” 
“Iya Mas. Double shift nih. Ini gue nunggu Hani beresin servernya. Per pagi tadi nggak kirim report tuh server,” jawab Hagian. Hagian lalu beralih lagi ke gue, “Jadi kenapa tuh server Pak Joni?” 
ServiceSNMP-nya mati, jadi datanya nggak ketarik,” jawab gue singkat.
“Oh gitu. Sekarang udah bisa?” 
“Udah. Gih, lo cek. Terus balik deh. Pusing gue pagi-pagi udah diberisikin sama lo.” 
Hagian langsung berlalu, pamit pada Mas Okto dan segera menuju meja kerjanya yang berbeda dua blok kubikel dengan kubikel gue. Hagian berada di kubikel tim support, termasuk di dalamnya adalah tim Monitoring (tim di mana Hagian berada), lalu meja tim Onsite Support dan Helpdesk. Sedangkan gue ada di kubikel tim infrastruktur, termasuk di dalamnya adalah tim Server (posisi gue sekarang), tim Network, dan tim Infra Provisioning. Dan kubikel lain ada di belakang. Lantai IT ini tidak terpisah dinding. Satu lantai besar hanya terdiri dari kubikel-kubikel yang tidak tertutup penuh. Gue masih bisa melihat kepala orang yang tertutup kubikel hanya dari tiga perempat wajah mereka dan gue masih bisa melihat sekeliling gue, termasuk lokasi kubikel tim aplikasi di mana Mas Okto berada. 
Aduh, Mas Okto lagi. Memikirkannya saja membuat hari Senin gue jadi menyenangkan.
Soal itu, gue akan cerita nanti. Yang jelas, Senin ini nggak jadi bad day amat kok! Pagi-pagi sudah disapa cowok lemah lembut semacam Mas Okto, siapa coba yang nggak semangat?

Menikah?

$
0
0


Apa yang bakal kamu lakukan kalau ada orang yang tidak dekat denganmu, juga jarang mengobrol denganmu, tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi "imam" bagimu dan calon anak-anakmu nanti?
Apa yang bakal kamu lakukan juga kalau tiba-tiba dia mengirim pesan itu di tengah malam, di saat kondisi dirimu sedang kacau-kacaunya? Mungkin karena kamu lelah bekerja, atau malah masih bekerja di tengah malam buta dan bingung mau melakukan apa, bahkan tersusupi perasaan laparjuga sedang sakit?
Ya mungkin kamu akan berpikir, apakah orang ini gila? Sampai kamu bertanya-tanya, kenapa? Kok aku? Kenapa tiba-tiba? Lho, memang kita dekat ya sampai kamu tanya begitu?
Well.
Semua pertanyaan yang keluar itu hanya dijawab dengan satu kata, “Entahlah. Memang kalau sama cinta yang tiba-tiba, saya lebih percaya.”

Lalu beginilah saya sekarang. Dari jawaban itu, saya mulai banyak pikiran. Hahaha. Apakah ini yang namanya fase “bridezilla”? Di kantor, setiap apa yang saya kerjakan melulu hanya penuh untuk persiapan pernikahan. Mulai dari timeline, pergi sama ‘dia’ untuk mencicil seserahan. Googling tempat pernikahan outdoor (ya, saya mau yang outdoor biar memangkas biaya gedung yang harganya selangit di Bandung – Cimahi sana). Belum lagi komparasi catering yang terlihat enak, banyak, tapi sekali lagi MURAH. Hehe. Ya begitulah. Saya memang cukup mureeee untuk hal begini. Ada baiknya juga terlahir sebagai seorang Libra. Karena mind-mapping saya yang sudah berbau manajerial, maka untuk urusan budgeting biaya pernikahan kami jadi sangat mudah. Saya cukup mengambil beberapa prioritas dari vendor pernikahan terpilih dan membuat matriks atau puzzle yang sesuai dengan benefit yang kami dapat.
Well, sampai ini ditulis, saya sudah punya sedikit gambaran paling tepat untuk pesta pernikahan kecil kami dengan biaya ringan.
Dan dari jawaban ‘dia’ tentang pertanyaan saya itu, saya jadi banyak berpikir mengenai diri saya sendiri. Saya yang ambisius, egois, penuh gengsi terhadap sesuatu, entah kenapa tiba-tiba menjadi seseorang yang keep it low. Bukannya apa-apa. Sifat saya yang seperti ini harus dipertimbangkan jauh ke depan, karena pernikahan itu kan bukan sehari semalam, tapi seumur hidup. Saya yang tak pernah memikirkannya saja bahkan sekarang banyak memikirkan tentang bagaimana merawat suami nanti, bagaimana memasak, bagaimana ini, bagaimana itu. Bagaimana cara menjadi istri yang menyenangkan di kala saya lelah, bagaimana untuk tetap semangat walau banyak masalah, dan bagaimana caranya memandang hidup dari sisi positif.
Hal-hal semacam itu sulit sekali. Sungguh. Apalagi dengan sifat saya yang selalu berkata seenak jidat. “Capek ah, udahan ah!” Commitment issue yang sedari dulu saya alami, mau tak mau kini harus diredam. Karena ini lifetime commitment, saya tidak mungkin bisa main penggal, main putus, main gunting, main udahan. Saya akan menghabiskan sisa hidup saya mengarungi kehidupan pernikahan yang bukan setahun dua tahun, tapi bisa puluhan tahun apalagi jika kami berdua diberi nikmat umur panjang oleh Tuhan. Semua masalah kecil yang kami hadapi, masalah diri kami sendiri, juga masalah bersama, akan lebih banyak lagi di kemudian hari. Pernikahan hanyalah salah satu gerbang untuk masuk ke kehidupan penuh masalah yang tak jauh berbeda dengan sekarang.
Mungkin, masalah pribadi saya sekarang ini hanyalah segelintir masalah kecil yang hanya sebesar debu atau mungkin upil? Hahaha. Akan ada masalah lebih besar yang muncul dan semua itu harus kami lewati dengan kepala dingin.
Oke. Mengenai kepala dingin ini, saya sedang berusaha untuk mendapatkannya. Karena kepala saya mudah panas jika dipaksa berpikir atau ditekan. Dan ini bukan hal baik, apalagi jika nanti sudah menikah. Dalam pernikahan, akan ada dua kepala yang dipaksa berpikir. Dalam kehidupan pernikahan saya nanti, kami berdua harus mencapai konsensus agar semuanya bisa berjalan dengan aman, tenteram, damai dan tetap bahagia.
Ya, saya mau bahagia dengan dia yang juga menawarkan kebahagiaan bersama saya. Saya kini tak muluk-muluk, hanya mohon doa agar lancar.
Dan sampai posting ini selesai, saya sudah berhasil melewati beberapa masalah kecil yang lucu, yang membuat sedih, yang membuat bangkit.
Alhamdulillah, saya sudah bisa belajar dewasa.
Dan karena semua hal yang saya alami itu, saya harus bersyukur.
Betul sekali pernyataan dari suatu blog yang saya baca.
“Good things doesn’t happen overnight. They're never happen in one night. Everything needs a process and it takes time.”
Kata Yuna Zarai juga begitu:
“It takes a little time. It would be fine, it takes a little time. I’ve learned and lost along the way, yeah I make mistakes, yeah I feel all kind of pain.”
Itu klise sih, tapi menurut saya kok benar ya? Hehe. Kalau kita berusaha bangkit dan berubah sih, masalah apapun lewat saja.
Tapi benar-benar, entah kenapa saya menjadi orang yang belajar bersyukur. Bahkan sudah bingung mau post apalagi untuk menunjukkan rasa syukur itu.
Alhamdulillah.
Rahmat Tuhan luar biasa nikmat. :)

P.S: update soal persiapan pernikahannya besok-besok ya, lumayan sekalian menaikkan traffic :)))

Endesbrey Endesbrey~

$
0
0


This post was made for an intermezzo. I’m trying to write a daily life story in English, just to develop my English language capability. I’m not so good with tenses, neither so good with speaking and listening. But, as long as I could learn something with the activity that I’m doing, I don’t mind. This could be fun. Learning by doing anything that I like.
Well, I don’t know when but it suddenly happens. When I’m talking about my marriage preparation with him-that-you-don’t-need-to-know-by-now, the idea about talking and writing in English pops out from our head. He said, “We need to cas-cis-cus in English from now on. So… Why don’t we try to be global?” Well, he explains it in a funny way and I began to think, “Why don’t we? Hmm. Okay. Oh-kay…”
 Since we work together in a multinational company, and work with the other peoples that use English in most of their activity, we need to think about that ‘cas-cis-cus’ activity. For your information, we work in a multinational company, with a native Indian CEO, American employee, European colleague, and etc. And there’s one circumstances that force us to talk in English, write in English, and even have an active conversation in English with different pronounciation-level of people. At first, I was jumpy and a bit afraid that my English was really bad (I don’t even know what is bad and good, or maybe even worse than bad that I could think of). But, when I’m trying to converse with these people, I’m still listening to them. Well, actually I’m trying so hard (especially if the speaker was an Indian! Hahaha.). Although I don’t really  understand all of their conversation, I still could swallow it up. Just eat their words and dissolved it later. Hahaha.
I’m just happy to do that. And now, in every situation, we try to talk in English. Maybe not so intense for now, but we try our best. We still want to be a global couple. Hehe. What if we have a chance to round the globe? We don’t know it, don’t we? And if there’s a chance to do that, we need to improve our ability in every language. Right now, English is enough. Maybe next time, we have to improve our Japanese, or maybe our Korean? Our Deutch, Germany, etc.
Well, as I said at the post opening, this post is an intermezzo. Because, I’m still learning (so did you), apologize for any wrong grammar, tenses, insignificance vocabulary, et cetera, et cetera.
Happy Sunday and happy reading! :D

Life is...

$
0
0


Life is precocious in the most peculiar way…

I may be agree with what OASIS said in their song, “Go Let it Out”. All we should do to have a better life is just to click with what we got. We deserve a better life, so if we like ourself a lot, then just let it out. What’s the point in that? The point that Liam Gallagher always sing is “Syukr”. It’s a form of grateful. What should we be grateful of? Of course, it’s life.
Life is a journey. There’s so much things to be seen, to be done, and to be memorized. There’s nothing like a straight and comfort road. Because it’s a journey, you may passed the worst road with the worst vehicles. Or you may walked down the road without a light, without a friend, and just confuse and asked, “Is it the right way? Did I really missed the last bus stop so I should walk alone like this?”
Well, it’s the truth. Life will lead you to every kind of drama. And you will began to distrust your own step. You will began to distrust others that lead you a way to a light. And there’s nothing you can do with that feeling, except you start to throw away all the worries and keep walking. You may find another way, another stop, or another light and sign. Just as The Smiths always said in their epic song, “There is a light that never goes out.”
Why I mumble about something that sounds like a ‘bullshit’ motivation thing? Well, it’s not a bullshit. Maybe it’s cliché, but it’s damn right. I’ve gone through various roads. The good one, the smooth one, the best, the complicated, the pebbled, and even the worst. If life don’t let me passed, then I won’t be here—writing this motivation shit in my personal blog. All the roads that I’ve been through was surely lonely, but then life give me a stop. I can take my last bus and then go to the place that I want. After such a long road, with a dry and cold scenery, I finally find myself sitting in a bus, going to the extra mile with green grass on the roadside. There’s also the atmosphere that I missed this whole time, the atmosphere of my beloved home.
Along the way to my home, I finally smile and laugh. My bus maybe slow, but I enjoy my journey a lot. I’ll never compare my pebbled road with others, because maybe the others have a smooth road but they just got lost in their journey.
Still, with OASIS song played in my head, I keep their words deep inside me. “Try to click with what we got and if you like yourself a lot then just go let it out.”

Happy Monday everyone and happy sleeping in your workplace! :p

Soundtrack:
-         Oasis – Go Let it Out
-         Regina Spektor – Fidelity
-         L’arc~en~ciel – New World
-         Gigi – Bisa Saja
-         D’Cinnamons – Mayday I’m In Love

Duapuluhempat

$
0
0
image source

Hari ini saya bertambah umur.

Tidak banyak yang berbeda di hari ini. Hari ulang tahun bagi saya hanya seperti hari-hari biasa. Yang membedakan cuma, yah, hari ini jelas saya bertambah satu tahun. Hanya itu. Selebihnya, transisi tengah malam menuju hari kelahiran saya lewatkan dengan tidur nyenyak lalu terbangun pagi, kemudian berangkat kerja, dan menyemangati diri sendiri dengan cara-cara yang saya bisa.

Apa yang sebenarnya harus berbeda selain ucapan teman-teman yang ala kadarnya? Bagi saya, yang berbeda mungkin refleksi. Di hari kelahiran ini, saya hanya mencoba mengingat tahun-tahun di belakang saya yang saya tinggalkan. Sudah jadi apakah saya? Apakah saya sudah berubah? Apakah saya sudah bertambah dewasa? Banyak yang bilang bahwa bertambah umur tak menandai dirimu bertambah dewasa, hanya usia tua saja yang kau lewati. Bertambah dewasa dan berubah sikap tak melulu ikut berubah saat kau berulangtahun. Begitulah yang saya pahami. Walau dilewatkan dengan tidur, transisi ke hari ulang tahun saya tetap saya lewatkan dengan refleksi hidup.

Tua jelas niscaya, secara usia. Bertambah tua berarti masih ada kesempatan untuk berubah. Kita bertambah tua berarti kita tidak kehilangan tahun-tahun di belakang. Dan itulah yang membuat saya berpikir, sebenarnya apa yang sudah saya lakukan selama ini?

Hal itu membuat saya tak hanya membuka refleksi pada diri sendiri, tapi juga membuka resolusi. Hidup tak melulu berpikir mundur, tapi juga berpikir maju. Sebelum melaju ke tahun berikutnya, perlu ada rencana matang dan terstruktur. Semua ini agar saya terus berusaha memperbaiki apapun yang saya ingin perbaiki, sampai saya mengulang kembali hari lahir. Terkait resolusi, banyak sekali hal yang ingin saya capai. Banyak mimpi-mimpi yang semakin terbuka dan menunggu dikejar. Kalau tak dengan lari, cobalah dengan berjalan. Semuanya akan mudah jika saya mulai menjalaninya terlebih dahulu. Mimpi dan resolusi yang saya catat, tentu hanya akan jadi catatan jika tak dijalani. Meski kita tak tahu apa yang akan menghalangi hal-hal tersebut tercapai, tapi saya tetap harus mencoba. Tak ada yang tak mungkin, jika itu menyangkut usaha. Dan kebetulan, banyak resolusi yang ingin saya capai sebelum usia menginjak seperempat abad. Mungkin menulis dua novel, membereskan satu novel thriller, mematikan banyak orang di dalam novel itu, menulis ini, menulis itu, menulis non fiksi, mengikuti writer's residency, berkeliling Asia, dan masih banyak lagi. Semoga...... Amin.

Dan ya beginilah. Saya menjalani ulang tahun dengan biasa saja. Seperti hari yang sebelumnya. Eh, tidak juga sih. Agak berbeda, karena nanti malam saya mau menonton Barasuara di Localfest. Hahaha! Well, setidaknya itu menjadi salah satu cara saya memberi kado pada diri sendiri.

Viewing all 246 articles
Browse latest View live