Quantcast
Channel: An Official Site of Ayu Welirang
Viewing all 246 articles
Browse latest View live

Transisi

$
0
0
Ini waktu yang kutunggu. Tak sekalipun inginku, melewati hidup dengan sia-sia dan tanpa makna. Ini waktu yang dinanti, karena aku hanya berteman sepi.

Setiap detik, kunikmati waktu mencari sesosok semu. Dalam sebuah peralihan, dalam transisi. Kubiarkan aku melarung dalam ketidakpastian. Satu-satunya teman hanya sepi dan masa transisi berhias kuning kelabu, mungkin sedikit jingga. Pada sore, pada sepertiga hari menuju bias petang dalam kurun waktu sekali sehari.

“Bagaimana bahagiamu, kemarin?” tanyamu pada suatu hari, memecah sepi yang telah kurasa pasti.

Aku tak menjawab, hanya tersenyum getir. Sisa-sisa hidup yang tercerabut mulai membias, larung lagi dan kandas lagi dalam satu inci hari, yang tak mau sia-sia terlewati.

Tiba-tiba, aku merasa perlu bicara, tentang bahagia, tentang semu yang kurasa ada.

“Bahagiaku tak ada bedanya. Hanya seperti sekarang, seperti saat ini. Kita duduk berdua dengan segelas kopi dinikmati bersama. Kau diam dan jangan banyak bicara. Tak henti memandang lepas kepada gulungan ombak yang berurai semburat jingga,” kataku sembari menunjuk ke arah lepas pantai yang tak pernah kutemui sisi satunya itu. Hanya ada kosong, hanya ada sepi.

Satu inci saja, satu detik saja, jangan ganggu hariku yang akan bahagia. Menyaksikan opera matahari yang ditelan sunyi. Mengubah jingga menjadi kelabu, berhias tirai bintang. Tak cukupkah kau untuk diam sejenak? Diam sajalah barang limabelas atau duapuluh menit. Temani aku di sisi kiri, dan aku di sisi kanan dengan bayangan. Aku perlu waktu, perlu hati untuk memahami bagaimana masa transisi. Sore bagiku, sebuah peralihan. Transisi hari yang hanya dapat dinikmati satu kali.

“Kau kan bisa melihat matahari terbit. Transisi itu sama saja,” katamu lagi.

Aku ingin memarahimu yang terus memaksaku menerima persepsimu tentang transisi, tentang sore, tentang semburat jingga yang tak bisa didapatkan dua kali dalam satu hari. Apakah kau tak tahu bedanya malam dengan pagi? Apakah kau tak tahu bedanya matahari pada pagi elegi atau senja hari?

“Kurasa kau lebih baik diam. Ini waktu yang sakral. Tak ada lagi yang begini di esok hari, mungkin saja. Jika jingga itu bisa kukerat, mungkin akan kulakukan dan kusimpan dalam kotak kaca yang rapat. Tapi, nyatanya aku tak bisa dan aku hanya ingin menikmatinya dengan istimewa,” kataku menjelaskan dengan sedikit emosi. Sudah cukuplah penjelasanku mengenai semunya hari. Semu hari ini hanya terbayar dengan bahagianya transisi matahari dalam satu hari.

Kau pun membisu, masih bertanya-tanya tentang aku yang begitu mengagumi masa transisi. Seakan-akan aku pasti mati esok pagi, aku tak akan melewatkan setiap detik menuju sore dan senja hari yang penuh teka-teki. Aku sendiri bahkan tak pernah tahu, kemana matahari tertelan bumi. Meski ilmu pasti dapat menggiringku pada jawaban yang paling hakiki, aku sendiri tak pernah ingin mengetahui.

Yang aku inginkan hanya satu, dapat menikmati transisi bahagia yang cuma satu kali sehari. Itu saja…



Pupan, 07 Juli 2012
11:44 PM, pada dialog dini hari

Malam Tuan

$
0
0
Malam tuan, secangkir kopi telah tersaji di meja. Kopi masih wangi, Tuan. Uap-uapnya masih berhembus, mengikuti kemana arah angin membawa rindu. Aku masih terduduk lesu, di beranda dan menunggu kopiku disesap sekejap. Kemana engkau tuan? Tidakkah kau ingat kita berjanji untuk minum kopi bersama sambil menghamba senja?

Dua hari ini, perutku hanya isi kopi. Aku masih duduk di beranda. Kopiku telah tandas, cintaku kandas. Wajah Tuan yang bermata teduh, tak kulihat datang menghambur pada hatiku yang rapuh. Kubiarkan asam dan getir kopi ini memenuhi rongga lambung hingga rongga rasa yang kian terlupa. Aku sudah lelah, dirimu alpa.

Malam tuan, secangkir kopi terhidang kembali. Di beranda ini, wajahku kian lusuh. Sedikit kretek kubiarkan menemani, menggantikan posisi bayanganmu yang kian lari. Tak apa, lebih baik aku berkawan sepi bersama kopi. Tak apa Tuan, kau boleh pergi, kejarlah apa yang kau kehendaki.

Malam tuan, nyaris aku mati. Perutku sudah kembung begini. Dimana kau Tuan? Lupakah kau jalan pulang? Ah, aku nyaris kehabisan kopi. Sisa senja habis di beranda, demi menanti dia yang tak kunjung tiba. Ya sudahlah Tuan, kopiku telah habis, mimpiku telah terkikis. Pergi sajalah Tuan, lebih baik aku berkawan sepi, mencandu kopi, melankoli.

Jakarta, 31 Januari 2013
bersama kopi yang melankoli... 

Baru dari Forum Buku Kaskus66 - Serapium Punya Cerita

$
0
0
Berkah Ramadhan.

Memasuki bulan puasa dan memasuki bulan Juli yang sedikit dingin, menyisakan ampas kopi di tiap malam saya, rupanya kabar membahagiakan datang. Proyek saya bersama ke-10 orang lainnya di Forum Buku Kaskus (66), akhirnya selesai juga diterbitkan secara independen melalui situs penerbitan, Nulisbuku.

Antologi ini memuat sebelas karya penghuni forum buku Kaskus, yang sudah dimoderasi dan didiskusikan sedemikian rupa. Jadi, selain doyan membaca, ternyata kawan-kawan forum buku Kaskus juga benar-benar doyan menulis. Hehe. Nah, setelah melalui diskusi panjang, proofread lewat sesepuh Kaskus66, dan apresiasi oleh para "enthu" di forum buku, sebelas orang ini membereskan naskah masing-masing secara final. Untuk pemilihan sampul depan dan juga isi kumcer selain cerpen itu sendiri juga didiskusikan melalui grup terselubung. Hehehe.


Nah, dari diskusi-diskusi penuh apresiasi tersebut, akhirnya kumpulan cerita ini pun rilis! Berikut ini, penampakan sampul depannya. :D

sampul depan
 Nah, bagi kawan-kawan yang ingin tahu bagaimana para pembaca menuliskan kisah mereka, miliki segera antologi ini! Caranya, kawan-kawan bisa langsung mengunjungi situs Nulisbuku, atau langsung saja klik link di bawah untuk memesan.


Ayo dipesan! :)

Siapa bilang kami hanya bisa membaca, kami juga bisa menulis lho! Membaca, menulis, mengapresiasi.

Salam!

Pada Malam Dimana Bulan Setengah Terjaga

$
0
0
Ada yang menggantung bulatan putih itu di langit, seperti spekulasi tentang bumi yang ditaruh di pundak Atlas, atau dibawa berjalan oleh kura-kura raksasa.

Itu adalah hal-hal yang diamini sampai akhirnya kura-kura itu terlelap, dan orang-orang mengenal apa yang disebut dengan rotasi. Semua spekulasi itu hilang, dan pelan-pelan, orang melupakan bentuk-bentuk fisis dari tiap benda-benda langit yang selalu dipertanyakan eksistensinya. Pelan-pelan, orang tidak memperhatikan benda-benda langit yang sebenarnya telah menemani mereka sepanjang hidup. Menjaga keseimbangan tempat mereka berpijak pada tanah, tanpa harus keluar dari rotasi poros yang kencangnya minta ampun.

Bulan putih di langit, tak punya mata dan tak punya hidup. Tetapi ia berjalan mantap. Dengan rotasi dan putarannya sendiri pada poros yang ada. Ia menemani setiap malam dengan pantulan cahaya dari matahari, yang jauhnya berjuta-juta kilometer. Meski ia tak punya hidup, tapi sesungguhnya ia memberi orang lain kehidupan.

Kehidupan bagi nelayan yang butuh pasang. Atau,
bagi para kekasih yang gemar duduk di tepian taman pada suatu malam.

Mereka yang membayangkan, apa bulan menghangatkan seperti matahari yang menghabiskan separuh hari?

Di tiap malam-malam manusia, bulatan pucat itu sebenarnya selalu ada. Sama saja seperti matahari yang berkuasa mengambil separuh hari, di tengah hiruk-pikuk kehidupan manusia. Tanpa memaksa, matahari selalu ditemani.

Tapi bulatan pucat itu?

Ia selalu sendiri. Manusia lelap.
Bulatan pucat yang kesepian, kala ia menjaga manusia yang lelap di tengah dunianya.
Bulan ingin melanglang, tanpa berputar-putar di sana, tapi ia tak tega.

Jika ia tega, mungkin manusia tak lagi dapat lelap.
Mungkin hancur sekali. Hiruk-pikuk manusia akan ada setiap hari dan setiap malam, kala bulan hilang dan melanglang lari dari poros.

Seperti yang aku percayai ketika Hartdegen melaju ke tahun 2037, di mana manusia tak lagi dapat lelap, karena bulan yang kesepian, ingin menemani bumi dari dekat.

Dekat sekali, hingga manusia berlarian.

Ketakutan...

Cipageran, 1 Juli 2014
log 22.11

Sajak Untuk Perempuan Yang Menunggu Kucing Bulan

$
0
0
gambar dari sini

Teruntuk Moira...

Moira, belum genap duapuluhempat jam aku sampai di ibukota
yang panas, ganas, dan penuh debu pekat
Tapi, aku lagi kembali teringat
pada senyummu saat temu di sebuah senja

Aku yang tak sadar, atau memang dungu
sebab kita sudah sejak dulu beradu pandang
sejak kau masih kanak, dan kita bermain di padang
yang tiap sore dipenuhi anak-anak desa kau dan aku

Moira, aku tahu ini hari aku tak akan bisa tenang
kalau tak melihat senyummu yang menyipit
bagai bulan sabit
di penghujung bulan Juni, kala cuaca menegang

Senja yang sendu waktu itu
kau duduk sendiri di tepi kursi
Aku menanyaimu yang termenung sendiri
Kau jawab, "Aku sedang tunggu kucing bulanku."

Kucing bulan itu, apakah mungkin menjadi aku, Moira?
Ataukah pada malam-malam yang tentu, 
kucing itu benar-benar tiba
dan mengeong di kakimu yang hangat oleh beludru biru
sebelum kau menyongsongnya, dan kau peluk pulang?

Bisakah Moira? Kita temu lagi?
Di beranda itu lagi, sambil menunggui kau bicara tentang
hal-hal yang menurutmu tak ada, tapi sebenarnya selalu ada
di sisimu, menemanimu duduk setiap petang
dari sore, menuju malam yang sepi
di sebuah tepi 

Biarkan aku Moira yang menemanimu
jadi kucing bulan
setiap pulang dari ibukota
biarkan aku
mengeong mengendap-endap ke sisi jendela kamarmu
dan biarkan aku Moira
berada di bawah selimutmu, menemanimu...

Bolehkah Moira?

dari aku, yang selalu
mengagumi cericit masam
dan gerutumu
tentang kucing bulan yang pulang malam...

---

Larung Alir
Jakarta, 2 Juli 2014


Review Album Baru OK|Karaoke - Sinusoid (2014)

$
0
0
Setelah lama tidak mengulas karya-karya musisi lokal, saya akhirnya mencoba untuk mengulasnya lagi. Dan kali ini, saya memutuskan untuk memindahkan ulasan yang ada di sana ke sini saja. Karena di blog yang lama itu dulunya kan memang campur-campur, banyak mengulas buku dan musik lokal, tapi akhirnya nyerempet juga ke blog travel, yang isinya membahas tentang jalan-jalan tak sengaja dan penemuan-penemuan saya terhadap beberapa lokasi indah dan sepi, cocok untuk berkontemplasi. Hahaha.

Blog lama yang akhirnya malah jadi blog travel writing itu, sudah lama dibiarkan menjadi blog yang cukup tendensius. Penuh paksaan dan passion terhadap perjalanan. Jadi, tempat bagi ulasan-ulasan buku dan musik lokal, sudah dilempar jauh ke dasar laut. Makanya, di blog "burung hutan" ini saya mengangkat ulasan-ulasan di dasar laut untuk kembali ke permukaan.

Oke, mungkin segitu aja kali ya basa-basinya.

OK|Karaoke - Sinusoid
Nah, posting pertama di bulan Juli, sekaligus kembalinya ulasan-ulasan di si owly ini, saya mau mengulas karya band lokal asal Semarang, yang ternyata masih ada hubungannya sama Klepto Opera juga (kalau lihat dari halaman "salute"). Yah saya cuma kaget aja sih, ternyata jaringannya para pemusik independen ini memang guyub banget ya. :)

Band ini namanya OK|Karaoke. Jujur saja, saya baru dengar lho. Ya mungkin karena saya memang sudah jarang dengar band-band lokal kecuali ada teman yang merekomendasikan. Kebetulan, di salah satu sosial media, seorang teman membagikan informasi pemesanan album terbaru OK Karaoke yang bertajuk Sinusoid. Waktu itu, saya tak benar-benar memperhatikan. Tapi, saya coba mencari OK Karaoke di google, dengan kata kunci yang tepat dan mendapatkan akun soundcloud milik mereka.

Kebetulan juga, akhir-akhir ini saya lagi suka mendengarkan Wild Nothing, yang rada-rada indie rock apa dream pop atau apalah gitu (buat saya sih nggak penting-penting amat lah penyebutan genre, saya sih telan apa saja). Ini juga rekomendasi dari teman, dan saya nggak bisa move on dari lagu-lagu Wild Nothing. Eh, pas mampir soundcloud OK Karaoke, ternyata nggak ada lagunya. Hiks. Tapi, saya membatin, lihat dari gaya-gayanya, pasti mirip-mirip deh ini sama Wild Nothing. Haha! *maksa*

Jadilah, saya langsung pesan ke teman saya di sosial media itu, namanya mas Jiwa Singa. Kebetulan sedang ada rezeki juga, dan kebetulan mau pulang ke Cimahi. Jadi, CD-nya langsung saya pesan dan minta dikirimkan ke alamat rumah Cimahi aja biar nggak nunggu lama.


Sekitar hari Senin siang yang terik, saya lagi ngadem di genteng rumah dan ada yang membunyikan bel rumah. Rupanya, paket datang. Langsung saja saya ngibrit lari dan mengambilnya. Langsung setel CD-nya di laptop dan coba untuk meresapi lagu-lagu OK Karaoke.

tampilan dalam, tengah tempat CDnya
kanan kiri itu lirik-lirik lagu
Ada beberapa ulasan penting. Ya, terserah sih mau dinilai penting atau nggak. Jadi, poin-poin yang mau dibahas pertama, adalah tentang package CD. Tampilan fisik itu lho. Memang banyak yang bilang, "don't judge book by it's cover" tapi rasanya, di masa yang orang-orangnya makin senang menilai orang lain dari tampilan fisik, rasanya tampilan fisik juga harus dibahas sedikit kali ya di sini.

  1. Tampilan package Sinusoid ini lumayan kece. Bahannya kayak apa ya? Kardus tebal gitu kali ya? Saya nggak tahu juga namanya apa. Si package ini dilipat jadi tiga bagian, dan di bagian tengahnya, kalau dibuka itu adalah tempat CD-nya. 
  2. Selain package, artwork sampulnya itu lho, warnanya... Saya suka. Lumayan mewakili lah ya. Mirip 'sinusoid'- blood vessel? Atau sinusoidal gelombang 'analog' gitu yah? Kan biasanya analog itu dianalogikan oleh beberapa orang dengan warna-warna kayak gitu. Hehehe. Bisa lah ada dua arti, tapi masih mewakili keduanya.
  3. Di dalamnya, terlampir lirik masing-masing lagu yang tipografinya standar, nggak aneh-aneh tapi malah bagus, jadinya simpel dan yang mau ikut berdendang juga kan nggak harus mikir, "Ini tulisan apa sih?" 
  4. Jadi, nilai saya untuk bentuk fisik album Sinusoid ini 4/5.
sampul belakang
klik gambar untuk zoom
Nah, sekarang bahas lagunya. Ada beberapa lagu yang jadi perhatian saya sih di sini. Pertama kali mendengar, dan langsung 'klik' sama lagunya, sampai diulang-ulang. Terus, pronounciation lagu-lagu berbahasa 'keju'-nya juga nggak seperti pengucapan ala orang Semarang. Malah, adik saya yang ikut dengar, bilangnya sih ini kayak band luar. Terus saya kasih perbandingan sama Wild Nothing waktu itu, kata adik saya, ya so-so lah, bisa dibilang nggak kayak orang Indonesia yang nyanyi. :D
  1. Lagu yang pertama klik itu, Late Comer Boy. Mungkin karena lagu ini ada di track pertama ya, jadinya saya langsung klik aja gitu.
  2. Terus, lagu Sinusoid yah. Lagu ini enak didengar sambil nangkring, ngadem di jendela rumah yang langsung menghadap ke genteng rumah. Pas waktu itu angin lagi sepoi-sepoi jadinya cocok. Boleh juga didengar sambil ngopi, asal jangan siang-siang pas bulan puasa aja. Haha.
  3. Yang langsung 'klik' nomor tiga itu judulnya Casteless Man. Mungkin, karena bagian awalnya itu agak mirip sama Disappear Always-nya Wild Nothing, jadi saya langsung inget lagu itu. Jadi, ingin saya ulang lagi lagu ini untuk memastikan. Ternyata cuma bagian depan aja yang mirip, itu pun sedikit.
  4. Selanjutnya, lagu Departed yang ada di track 4. Lagu ini, yang bikin saya langsung menerawang itu pas bagian lirik yang bunyinya, "Good friends come and go, lovers then I said so." Waaaaa. Mrebes mili. 
  5. Sisanya, lagu-lagu yang belum begitu bisa 'klik' tapi cukup easy listening kok. Beberapa lagu yang belum tersebut itu diantaranya ada Call Me Time, Sangre Azul, Kenangkan Angan, Lekas Sembuh, dan Fetus. Oh ya, lagu yang Lekas Sembuh ini kebetulan kemarin jadi lagu soundtrack saya pas recovery pasca sakit. Hahaha. Biasa sih, penyakit homesick yang berujung pada masuk angin. Jadi, saya sedikit senyum-senyum sendiri, kayak yang dinyanyikan sama OK|Karaoke secara langsung.
  6. Oh ya, ada beberapa lagu yang mirip Pure Saturday juga sih. Entah deh ya, apa cuma perasaan saya saja atau gimana gitu ya? :|
  7. Nah, untuk sembilan lagu yang ada di album Sinusoid ini, saya kasih rate 8.75/10. :D
Buat yang lain, mungkin ada yang mau dengar album ini, saya kasih beberapa tips ya, supaya makin menyenangkan dengarnya.
  1. Waktu mendengarkan itu, paling baik siang menuju sore, atau pas pertengahan sore mau ke senja. Langit kan biasanya cerah ceria tapi nggak panas, jadi angin sepoi-sepoi gitu.
  2. Buka jendela kamar, jendela ruang kerja, atau jendela lain di sekitar kalian lebar-lebar. Biarkan angin masuk dan mengganti regulasi udara yang bikin sumpek. 
  3. Setelnya pakai speaker ya, volumenya sekitar 70 - 80 boleh lah.
  4. Kalau yang punya loteng langsung menghadap keluar, enaknya nangkring aja di jendela lotengnya, sambil lihat awan berarak gitu. Sore-sore asyik deh.
  5. Kalau lagi nggak bulan puasa, dengernya sambil ngopi-ngopi cantik. Minum es kopi, soda gembira, makan buah-buahan, atau rujak. :))
  6. Nah, ulang-ulang deh lagu yang temponya agak ceria.
  7. Untuk kontemplasi tengah malam, saran saya dengarkan yang Lekas, Sembuh sama Fetus aja, soalnya kalau yang lain itu ceria banget. Nggak cocok buat tengah malam kalau lagi kontemplasi. Jadi, buat yang kerjanya jadi penulis atau jadi programmer yang nyambi tulis-tulis novel kayak saya, boleh dicoba dengar dua track terakhir dari album ini. :))

Nah, mungkin sekian dulu ulasan saya yang panjang banget ini. Semoga bisa jadi referensi teman-teman kalau mau mendengarkan rilisan band lokal.

Akhir kata, saya mau menyadur potongan lirik lagu OK|Karaoke. Hehe.

"Through the heart, we're unforgettable. Even hard, but it's fine at all." -- Call Me Time, track 2 Sinusoid

Selamat mendengarkan!


Mixtape: Angin Juli

$
0
0
~angin juli~
Beberapa hari lalu, saya sakit. Senin dan Selasa, saya memutuskan untuk bermalas-malasan di rumah saya yang sudah lama ditinggalkan. Rumah tempat saya besar dan berproses. Mungkin, beberapa bulan terakhir ini saya rajin pulang ke rumah, hanya untuk menengok keluarga dan pergi bersama teman-teman yang mungkin hanya ditemui beberapa bulan sekali. Dan karena pertemuan-pertemuan dengan teman yang jarang itu, saya kadang menemui mereka di dunia maya.

Bertegur sapa hingga pagi, membicarakan hal-hal yang kata orang mungkin tak penting, tapi bagi saya itu adalah warna lain menjelang pagi.

Dan hasilnya, saya sakit. Tidak parah, tapi cukup untuk membuat saya sendu selama beberapa hari. Puncaknya, awal Juli kemarin itu. Saya izin pada pimpinan kantor, dan memutuskan untuk beristirahat di rumah. Cuaca Cipageran kala saya sakit rupanya sedang bersahabat. Awan berarak, semarak. Angin kemarau menghembus ke jendela ruangan kontemplasi saya dan gemerisik pepohonan kering mengindahkan semuanya.

Di tengah-tengah pikiran yang carut-marut oleh entah apa, saya menemukan setitik ketenangan ketika suara gemerisik pohon kering itu beradu dengan lagu-lagu di laptop adik, yang lagunya langsung saya impor dari harddisk eksternal. Harddisk yang tidak begitu besar kapasitasnya, tapi cukup untuk membuang jauh rasa haus kala saya ingin dengar musik saya sendiri. Maka, beberapa lagu yang menambah suasana awal Juli jadi lebih sendu ini, muncul samar-samar, kadang bersamaan dengan angin yang memasuki jendela.

Berhubung kalau saya bermonolog terus-terusan, akan makin panjang, jadi saya akan tampilkan sepuluh lagu yang lekat dengan angin sore awal Juli saya. Angin kemarau, angin sakit tapi sendu. Dengan durasi yang hanya empatpuluhtiga menit lewat empatpuluh detik saja, mixtape ini dapat menyalurkan kesenduan saya pada kalian semua.

  1. Mazzy Star - Fade Into You
  2. Arctic Monkeys - 505
  3. Alice in Chains - Nutshell
  4. Coldplay - Sparks
  5. Copeland - The Day I Lost My Voice (The Suitcase Song)
  6. Cascade - She Pretend
  7. Nirvana - Oh Me
  8. The Trees and The Wild - Noble Savage
  9. Wild Nothing - Nocturne
  10. The Swell Season - In These Arms

Selamat menikmati dan mengunduhnya!

***

i wanna hold the hands inside you / in my imagination you waiting lying on your side 
with your hands between your thighs / we chase misprinted lies, we face the path of time / but 
i promise you this, i'll always look out for you, oh that's what i'll do / you see love is a drink 
that goes straight to my head. and time is a lover and i'm caught in her stead / she talks like winds, i wrote her name in the line of my stories / i can't see, the end of me. my whole expanse, i cannot see. i formulate infinity, stored deep inside me / move inside your skin i don't mind dying, down to your heart inside and out / i know where to find you, i know where you go and i just want to let you know. oh you can have me, you can have me all / maybe i was born to hold you in these arms...


Sembunyi di Tepi Jendela Lantai Dua

$
0
0
Lelaki itu datang lagi. Ia datang menawarkan beribu cinta kasih dan tabungan masa depan yang menjanjikan. Sebuah rumah di pinggiran kota yang katanya masih subsidi tapi mahal minta ampun, mobil-mobil terbaru, dan kebun belakang rumah dengan pagar-pagar batu yang tinggi.

"Rumah kayak gini, tahun-tahun besok pasti jadi mahal banget. Makanya, aku beli sekarang, buat nanti kita tinggal bersama, kalau udah menikah," gumam lelaki itu padaku.

Aku terhenyak. Cinta macam apa lagi yang ia tawarkan? Kepedulian apa lagi yang ia tawarkan pada perempuan kepala sepertiku? Aku sungguh tidak mengerti. Kemarin-kemarin, aku melempar gelas anggur di restoran mahal yang ia reservasi untuk makan malam kami. Anggur berwarna merah pekat itu terburai di lantai. Sisa-sisa kepingan kaca gelasnya memantulkan bayanganku, yang berdiri mematung. Gelisah pada entah apa. Aku meninggalkan lelaki itu di tengah keremangan malam dan gumam penyanyi jazz di tepi panggung restoran. Lelaki itu pasti kebingungan, tak dapat menebak kemarahanku yang sepertinya datang tiba-tiba. Aku meninggalkan restoran, menanggalkan sepatu mahal yang lelaki itu belikan untukku. Sepatu dengan perasaan palsu. Hujan turun malam itu dan aku pun menari-nari, melepaskan kegelisahan diri.

Di hari sebelum makan malam mewah itu, aku menerima sebuah pesan dari seorang perempuan anonim. Perempuan itu berkata padaku untuk melepaskan lelaki itu. Lelaki yang sudah bertahun-tahun ada di sampingku. Lelaki yang aku sendiri tak pernah tahu, seperti apa rupanya jika ia tidak bersamaku. Akankah tetap seperti ini ataukah benar-benar berbeda? Berwajah serigala? Yang aku tahu, perempuan anonim ini mengatakan kalau ia tengah mengandung seorang bayi lelaki, sudah masuk bulan ke tujuh. Ia dan lelaki itu bertemu di sebuah rapat besar jaringan perusahaan tempat lelakiku bekerja. Mereka menjalani ikatan tiba-tiba, dan itulah hasilnya. Aku tak pernah sangka, kalau ia begitu beraninya menyakiti perasaanku dan perasaan perempuan itu. Kalau saja ia bilang sejak awal, ia ragu-ragu memilihku dan masih membutuhkan perempuan lain sebagai katalog pilihannya, aku lebih mudah menerima. Tapi, seharusnya ia tahu, bahwa aku yang begitu rapuh tak bisa diperlakukan semacam itu. Aku pun limbung dan memutuskan untuk melempar gelas-gelas anggur di restoran, dengan alasan agar ia segera meninggalkan aku tanpa menyakiti dirinya. Lebih baik aku yang menyakiti diriku sendiri. Aku sudah terbiasa dengan hal itu.

Aku mungkin hanya terlalu takut menerima kenyataan, jika pada suatu hari ia tak seperti yang aku bayangkan saat ini. Aku hanya terlalu takut menerima masa depan yang mungkin akan jadi sangat berbeda setelah aku bersamanya dalam sebuah ikatan yang masih tak aku mengerti hingga saat ini. Ikatan yang benar-benar tak bisa terputus seperti ketika aku menggunting benang-benang jahit, menggunting pita, menggunting kertas jadi bentuk-bentuk indah. Ikatan yang bisa membuat seorang lelaki baik, berubah drastis menjadi seorang pemarah, pemukul, pelecut perempuan. Dan kemarin, ia menawarkan keping teka-teki yang membuatku makin terhenyak ke dasar, lekat ke dalam duniaku sendiri. Dunia yang sendirian. Aku bertanya-tanya, aku harus apakan ia?

Dan pada suatu malam yang basah oleh gerimis, lelaki itu meninggalkan cincin yang ia beli dari toko mahal, di meja beranda rumahku. Setelah kukatakan pada Ibu, bahwa aku sedang malas bertemu sapa dengannya, lelaki itu pun pergi dan meninggalkan sekotak kebahagiaan kecil bagi setiap perempuan. 

Di dalam kamar, aku menatapi kotak kebahagiaan itu. Kini, kotak kecil itu ada di depanku. Aku menatapinya dengan murung, melihat sebuah cincin emas putih dengan mata berliannya yang mengkilat dan dapat membuat mata perempuan lain menyala-nyala. Tapi tidak denganku. Sebuah lagu berdendang manis, menggema di dalam kamarku, dengan suara-suara kepalaku yang hilir-mudik. Suara pikiranku yang memutuskan untuk menolak segala kebahagiaan itu. Masa depan yang masih semu.

Through the warmest cord of care

Your love was sent to me

I'm not sure what to do with it
Or where to put it*



Pada bait pertama lagu, aku menepi ke jendela kamarku di lantai dua. Aku menulis sebuah surat dengan lirik-lirik lagu itu. Aku membayangkan lelakiku yang manis. Lelaki yang pernah menciumku mesra, di bawah hujan. Lelaki yang belakangan begitu memaksaku agar aku hidup dengannya. Aku membayangkan lengannya yang kokoh, memeluk aku kala sedih dan sekali waktu, pernah memukul wajahku, membuat lingkar mataku biru.

I'm so close to tear
And so close to simply calling you up
And simply suggesting

We go to that hidden place
That we go to that hidden place


Aku memikirkan lelaki manisku yang benar-benar manis, dan pada suatu hari merah wajahnya membenamkan debur di dadaku menjadi depresi. Lelaki manis yang pada keesokan harinya, kembali menjadi lelaki manis.

Now, I have been slightly shy

But I can smell a pinch of hope
To almost have allowed once fingers
To stroke
The fingers I was given to touch with
But careful, careful

There lies my passion hidden
There lies my love
I'll hide it under a blanket
Lull it to sleep

Aku melihat lelaki manisku di masa depan. Rahangnya yang kokoh itu, menatapi aku dengan bengis. Hingga aku tertidur dan ia memohon maaf pada esok paginya. Lelaki yang akan marah jika pakaiannya tak aku setrika dengan benar. Lelaki yang akan melempar gelas kopi jika kopi yang ia minum tak sesuai yang ia inginkan. Lelaki yang pulang larut malam, dengan wangi-wangi parfum vanila di tubuhnya, yang aku tahu bukan miliknya.

He's the beautifulest
Fragilest
Still strong
Dark and divine
And the littleness of his movements
Hides himself

He invents a charm
That makes him invisible
Hides in the hair



Can I hide there too?

Hide in the hair of him
Seek solace
Sanctuary

Aku sakit. Tepian jendela sudah terbuka. Aku lupa akan lebam-lebam biru. Aku ingat bahwa aku punya hidupku, yang mungkin masih bisa menjadi indah, dengan warna-warna pelangi. Dengan cericit pagi, setelah malam berhias bintang. Dengan ciuman-ciuman bayangan pada pertengahan malam.

Surat ini kuakhiri. Aku ingat gerimis masih wangi. Bisakah lelaki manisku menemani aku, bersembunyi?

Kuletakkan cincin pemberiannya di atas lipatan surat laguku. Lagu yang aku kutip dari gema di kamarku. Kutorehkan warna cinta di ujung surat itu agar lelaki manisku tahu, bahwa cintaku benar adanya, walau tak bisa dimiliki siapa-siapa. Lelaki manisku, yang kucintai, namun tersakiti oleh ulahnya sendiri. Aku torehkan warna hatiku untukmu lelaki manis. Warna merah. Alir darah... 

Bagian lagu terakhir mengalun indah. Echo dari para paduan suara, saling bersahutan.

I'll keep it in a hidden place...
Keep it in a hidden place...

Hatiku ada di sana, cintaku ada di sana. Di sejuknya pelukan lelaki manisku yang memiliki wajah-wajah berbeda. Lelaki manis yang membuat aku takut untuk memulai sebuah masa.

Lagu selesai, aku menghirup aroma segar. Bunga kamboja di beranda rumah. 

Langkahku ringan. Aku melaju, menggapai tepi jendela rumah. Aku terjun bebas, menutup mata dan tersenyum. Tepat saat tubuhku menerjang paving block di depan pintu rumahku, aku tertawa. Aku bebas dan bahagia. Lelaki manisku akan tahu hal itu. 

Wangi ini, wangi cintaku...
Warna merah, alir darah...

Berpuluh kilometer dari rumahku, seekor burung gagak hitam menghampiri jendela kamar lelaki manisku. Burung gagak itu tersenyum pada lelaki manisku... 



Cipinang, 6 Juli 2014
log 5:47 AM

*lirik lagu yang ditulis adalah lagu Bjork - Hidden Place
album Vespertine, 2001

Menanti Riuhnya Gegap Gempita Menjadi Tangis Balada

$
0
0
Sampai saat tulisan ini disusun, saya masih bertanya-tanya, hal apa yang bisa membuat duaribuempatbelas tidak menjadi tahun yang begini-begitu saja dengan gegap gempita pemilihan presiden yang membutakan mata teman-teman baik saya. Saya melihat mereka begitu akrab kala dulu, tapi tiba-tiba berubah menjadi dua orang yang sama sekali berbeda, "when it comes to their side". Saya jadi ingin tertawa, dan menangis seketika. Sepertinya, teman-teman baik saya yang saling hina secara tiba-tiba itu, kurang piknik.

Ada banyak hal yang perlu diperjuangkan di negeri kita yang hijau subur ini. Ada banyak hal perlu dipupuk untuk jadi pelecut semangat, di kondisi negeri yang "hidup segan mati tak mau" ini. Sepertinya, saya perlu membuka mata saya sendiri, agar saya tetap waras ketika orang lain mulai gila. Saya ingin jadi orang yang tetap bebas, tanpa harus memilih sisi mana yang akan saya tekuni. Saya paham, karena tidak dari kedua sisi itu yang bisa memberi saya benefit apapun. Dengan atau tanpa dua sisi itu--baik si satu dan dua jari--dunia akan tetap membosankan. Regulasi-regulasi pemerintahan terkait sumber daya alam, akan tetap dijalankan. Indonesia masa depan, akan tetap jadi tambang produksi. Dikeruk habis-habisan. Dinodai. Rakyatnya dibumihanguskan.

Jadi, pentingkah bagi saya untuk memilih sisi mana yang lebih baik atau lebih pantas, padahal tidak satupun dari kedua sisi itu yang sepertinya maju tanpa kepentingan di baliknya? Masih pantaskah teman-teman saya mengata-ngatai saya agar tidak golput, padahal tak satupun dari mereka yang mengerti akan ajakan mereka?

Orang boleh punya pilihan, orang boleh memilih untuk melakukan apa yang dia inginkan bagi hidupnya sendiri. Orang boleh berdemokrasi untuk dirinya sendiri, tanpa harus memilih masa depan yang belum tentu sesuai dengan visi-misi atas nama demokrasi.

Saya tidak paham, mengapa mereka begitu gencar mempercayai visi-misi atas nama demokrasi, pro rakyat, kebangkitan negeri, padahal mereka bicara itu sambil minum bir atau minum kopi mahal di beranda franchise kopi kapitalis?

Saya ingin tertawa. Kalau boleh, sambil menghina-hina wajah teman-teman saya. Ups, maaf. Ini bulan puasa tapi saya terbawa emosi.

Dengan atau tanpa pilihan, saya akan tetap memperjuangkan apa yang saya yakini. Dengan atau tanpa pilihan, saya akan mencoba melihat hal-hal yang sudah lahir sejak kedua jari-jari calon pemimpin negeri ini belum membentuk angka, belum membentuk slogan dan jargon kemenangan.

Kalau teman saya bilang, "Indonesia memang sedang tidak memilih. Ada hal penting lain di pelosok bumi tani, yang perlu diperhatikan. Kita sedang melawan korporasi yang membawa nama pembangunan usang. Pembangunan tua, dengan bentuk baru dan diusung secara ramah meski tetap menuai darah."

Masih banyak hal yang harus diperjuangkan. Bukan hanya dukungan menggebu-gebu bagi para calon pemimpin. Masih banyak hal yang harus dilihat secara nyata. Rupanya, masih banyak yang tersakiti di pelosok-pelosok negeri, yang tidak sempat terkatakan karena tertutupi berita-berita saling menjatuhkan, di televisi, koran, dan radio.

Tiba-tiba saja saya ingin menutup semua.

Saya ingin berkata-kata selagi bisa.

Saya ingin bilang bahwa...

Indonesia sedang menangis. Tangis para petani-petani, masyarakat penghuni tanah leluhur, dan para pekerja-pekerja ladang yang kelak tanahnya akan diduduki tank baja, dibumihanguskan bom atom, dan diduduki beton-beton penghasil asap.

Coba dengarkan, teman-teman. Tangis mereka bukan tangis kemarin sore. Bukan tangis isu menjelang pemilihan pemimpin. Tangis mereka adalah amarah, yang tentu berbeda dengan hasrat menggebu kalian dalam membela jagoan masing-masing.

Mereka, tak menjagokan siapa-siapa. Mereka, hanya sedang berjuang untuk kebebasan mereka sendiri. Mereka, justru sedang melawan negara dan korporasi raksasa yang kelak akan menduduki tanah mereka. Mereka bukan siapa-siapa, dan tidak akan memilih siapa-siapa.

Cipinang, 07 Juli 2014
.:log 10.31 PM
di tengah intermezzo mengetik naskah dystopia


Berselingkuh Di Malam Minggu

$
0
0
Sabtu lalu, tanggal 26 Oktober 2013, saya mencari hal yang berbeda untuk dihabiskan di malam Minggu. Bukan sekedar tidur pulas sampai Minggu siang, bukan nongkrong di kantor untuk menumpang internetan, atau mencuci dan menyeterika pakaian. Malam Minggu lalu, saya mencoba cari kegiatan baru, menonton teater.

Teater yang ini berbeda, sebab tidak seperti teater atau pementasan drama yang terakhir kali saya tonton di UIN Syarif Hidayatullah beberapa bulan lalu. Teater yang ini lebih serius, tentunya dengan tema yang serius pula. Maka, di malam Minggu ini, saya berselingkuh dengan teater sastra Universitas Indonesia. Saya berselingkuh dengannya dari malam Minggu saya yang biasanya saya habiskan untuk di depan komputer, mengulik kode atau deploy program di Linux. Saya berselingkuh dari mereka, hanya untuk melepas penat setelah seminggu bekerja, dengan menonton teater bertajuk "Multi-monolog Selingkuh"dari balkon Graha Bhakti Budaya, kursi nomor tiga.


Teater ini memperlihatkan tentang kehidupan urban. Tentang kehidupan perempuan Jakarta yang menikah dengan seorang lelaki, musisi yang sadomasokis. Kehidupan pernikahan mereka yang menyenangkan, penuh fantasi liar, lama-lama tergilas waktu dan pada titik itulah, sang perempuan yang bernama Ida, berselingkuh dengan pengusaha kaya, keturunan Batak yang menolak paribannya.

Parkiran Padat di GBB, Taman Ismail Marzuki

Namun, jangan salah sangka. Rupanya, kisah ini bukanlah drama percintaan yang romantis-manis. Kisah ini adalah kisah yang penuh dengan kelindan kehidupan dari berbagai sisi, dari berbagai sudut pandang. Dan uniknya, tokoh-tokoh yang berjumlah tujuh orang ini tidak saling berdialog, melainkan monolog. Mereka berbicara sendiri, dan potongan-potongan pembicaraan mereka akan dipertemukan hanya oleh alur cerita. Ide ini dikembangkan oleh sang sutradara, I. Yudhi Soenarto untuk menggambarkan betapa monolog telah menjadi camilan sehari-hari oleh masyarakat. Kelihatannya, kita memang berdialog. Padahal, dialog hanyalah pemanis kehidupan. Seperti basa-basi di pagi hari. Kenyataannya, manusia hanyalah bermonolog, karena dialog-dialog mereka seperti dialog pada cermin, yang tak mendapat pengertian atau balasan dari bayangan pada cermin.
curi-curi jepret para tokoh... :D

Tokoh-tokoh dalam kisah ini semakin menemui kebimbangan, ketika harus memilih cinta ataukah bias 'cinta buatan' yang terjadi dalam institusi pernikahan, di mana istri sudah sepatutnya diam dan menjadi seseorang yang submissive, atau penurut, sehingga dapat direpresi tubuhnya oleh suami. Istri bungkam, dan menerima apa saja yang dilakukan suami terhadapnya, meski diperlakukan menjadi mesin biologis, terlebih lagi oleh suami yang sadomasokis. Perempuan  yang terkungkung, berada dalam budaya masyarakat yang mengedepankan, 'kebahagiaan pasca pernikahan', membuat tokoh utama tetap berada pada jalurnya sebagai istri ideal, berusaha setia. Namun, perlahan cinta ia dan suami dikalahkan oleh waktu. Dan ketika mencari apa sebenarnya definisi cinta yang hilang dalam sebuah institusi bernama 'pernikahan', tokoh utama perempuan memilih berselingkuh. Ya, selingkuh yang indah mungkin, karena hanya di sisi si selingkuhan lah ia merasa nyaman. Tak ada kontak fisik, hanya ada tawa berderai dari lelucon si selingkuhan. Sungguh klise bukan? Tapi itulah adanya. Pencarian cinta yang hilang itu nyaris bermuara. Tapi, sutradara berkata lain. Sutradara selalu membuat chaos, apapun yang ia inginkan. Jika harus terjadi, maka terjadilah. Sutradara sedang beralih menjadi tuhan.

Pada akhirnya, kebimbangan menghilang. Semua tokoh menemui jalannya masing-masing. Mematikan nurani, saling membunuh demi menemukan arti terbaik atas cinta yang hilang kesakralan. Apa itu cinta? Bagaimana mewujudkan cinta yang menyenangkan kedua pihak? Apakah seksualitas itu cinta? Apa seks itu hanya konsumsi pernikahan, ataukah cinta?

Pada akhirnya, penonton dipaksa mengerti, bagaimana selingkuh bisa menjadi begitu kompleks. Bukan hanya sekedar berkata cinta, namun multi-monolog selingkuh ini menghadirkan selingkuh dari berbagai sudut pandang, di mana sutradara menghadirkan para tokoh-tokoh sampingan. Bukan cameo, namun tak utama, karena mereka hanya bertugas untuk memberi komentar dalam monolog mereka. Hukum. Media. Konspirasi Astral. Hak Asasi. Feminisme. Industri. Aturan. Dan pada akhirnya tak ada satupun yang bisa didefinisikan sebagai... CINTA.

Jakarta, 28 Oktober 2013

#5BukuDalamHidupku: Lebih Baik Mabuk Dengan Para Paisano

$
0
0
Masih tentang kaum papa yang hidup setelah zaman perang, di mana mereka biasa menempati rumah-rumah kerabatnya yang mati dan hidup dengan cara apa saja. Yang jelas, kaum papa itu harus hidup. Dalam hidupnya yang sulit, mereka masih bisa tertawa. Mereka masih bisa mencuri-curi minum anggur di hari-hari yang biasa seperti kaum-kaum papa lainnya.

Tortilla Flat - Cetakan 2009
Inilah awal mula perkenalan saya dengan Danny dan teman-teman, para kaum papa yang hidup di sebuah rumah peninggalan keluarga Danny. Mereka, kaum papa itu, hidup bahagia meski tak makan. "Tak makan biarlah, yang penting anggur selalu menyegarkan haus kita!" Kira-kira, begitulah kata-kata yang terus terngiang ketika saya membaca kisah Danny dan kawan-kawan dalam buku "Dataran Tortilla", sebuah buku hasil karya penulis yang memenangkan nobel dan diterjemahkan oleh Djokolelono.

Sayangnya, mungkin buku ini tidak sepopuler buku-buku mbah Ernie (Ernest Hemingway) di Indonesia. Pun demikian, hal itu tidak menutup keinginan saya untuk memiliki buku ini, yang kemudian saya temukan di sebuah toko buku besar namun tak terkenal, di sudut Jakarta Selatan. Setelah membawa pulang tiga buku mister John, saya pun pulang dengan riang dan mulai mabuk seperti Danny dan kawan-kawan.

Dari Danny, saya memaknai bahwa hidup pastilah sulit. Tapi, bagaimana cara manusia menghadapi kesulitan itu dengan cara yang berbeda, sebelum akhirnya hidup sulit itu benar-benar menemui buntu dan entah sedih atau senang, pada akhirnya kita meninggalkan kehidupan itu. Seperti saya, yang menangis kala mengetahui bahwa Danny, si pria tua yang humoris itu kehilangan nilai-nilai yang ia percayai tentang hidup sampai akhirnya John Steinbeck harus menjatuhkan ia ke dalam jurang. Saya pun kehilangan nilai-nilai yang saya percayai ketika Danny mati.

Saya tahu, Danny mungkin menyesal mati di usia tua, tapi setidaknya ia meninggalkan hidup yang ia ketahui akan lebih sulit ketika ia tua, seperti Gie pernah berkata, "Kesialan adalah berumur tua dan keberuntungan itu adalah mati di usia muda." Mungkin, Danny menyesal berumur tua, tapi setidaknya, ia meninggalkan dunia sebelum dunia benar-benar menyulitkannya.

Pada akhir-akhir kematian, saya ikut merasakan bagaimana Danny menghadapi hari-hari jadi demikian berbeda. Tidak seperti hari-hari biasanya di mana ia bisa menghabiskan bergelas-gelas anggur di kedai Torelli sambil tertawa-tawa, membicarakan perempuan mana yang bisa ia tiduri. Saya ikut simpati, karena sampai akhir hidup, Danny seperti telah dihantui oleh kematian. Tak saya dapati humor-humor satir di akhir perjalanan Danny. Dan dari sana, saya memaknai satu hal, "Lebih baik tak menyadari apa yang terjadi dalam hidup, daripada memikirkannya sampai frustasi."

Mungkin begitulah kondisi saya saat membaca buku ini. Lebih baik menghadapi kebobrokan dunia dengan tawa lepas, dengan minum anggur, dengan mabuk setiap hari. Karena, mungkin hanya itulah yang bisa saya percayai. Mungkin, hanya anggur yang jujur. Hanya ia teman yang berbaur. Sebab hidup tak lagi sama ketika kita tak mabuk. Sebab......

"Benar-benar menyedihkan untuk mendapatkan bahwa bagian tersembunyi pada tubuh malaikat suci sebetulnya busuk dimakan kusta..." (hal. 80)

[ayu]

Petrichor, Cokelat Hangat, dan Pengampunan Dosa

$
0
0
"The shimmering heat. The bold, hot sun. Best dawn endlessly.
The rains will come, wash down and done.
I sit and then I dream of the way we used to be." -- Gold on the Leaves, Luluc

---

Langit akhirnya menghujani jalanan Surabaya yang sejak dua minggu belakangan ini gersang dan kering. Jalanan macet ketika jam huru-hara. Sebelum dan sepulang bekerja. Apalagi, bulan puasa yang makin mendekati puncaknya membuat orang-orang naik pitam di jalan raya. Ingin segera pulang, ingin segera berbuka, atau malah ingin berbelanja. Selama dua minggu ini, saya mengamati kehidupan Surabaya yang mulai menjelma ibukota. Saya ada di tengah-tengah lautan manusia, di jalanan, menuju tempat singgah sementara.

Kabar demi kabar datang dari teman-teman seperjuangan saya di Jakarta. Rupanya, ada yang memanas di sana. Saya dan satu orang teman saya di sini pun tak bisa tenang. Pikiran jadi bercabang, berada di antara keinginan membereskan project dan menyatukan kembali pecahan vas yang resmi hancur. Belum lagi kabar kepindahan yang tiba-tiba, membuat beberapa barang terbengkalai. Rasanya, jika saya dapat memiliki pintu ke mana saja, yang saya tuju hanyalah tempat singgah saya di sana. Masih singgah sementara.

Tiba-tiba saja, saya jadi ingin mengasihani diri sendiri. Sejak kapan saya punya rumah? Dari dulu, bukannya memang hanya tempat sementara untuk singgah?

Kadang, apa yang diinginkan dan diharapkan selalu menemukan muara pada apa yang tak berkesudahan. Perang dan kebencian misalnya. Atau, boikot kehidupan dan tarik ulur yang semena-mena. Kadang, kenyataan membuat kita bertanya-tanya tentang rencana-rencana masa lalu yang hingga saat ini, bahkan belum terpenuhi. Apalagi, rencana itu adalah rencana kolektif. Kemarahan yang sulit terungkapkan pun menjelma sedih panjang, bagai tanah Surabaya yang belakangan gersang.

Namun, sore ini hujan. Aroma petrichor merebak ke indera penciuman saya yang sudah tak lagi mencium aroma kesenangan. Hujan sore ini, dibarengi dengan pesan kawan seperjuangan di Jakarta, bahwa barang-barang kami yang ikut Bapak Satu, sudah dipak sebagian. Sedangkan, Bapak Dua tidak mau ambil pusing dan berencana untuk merumahkan karyawan yang ada.

Termasuk saya dan kawan saya yang saat ini sedang di Surabaya. 
Termasuk OB yang anaknya sakit-sakitan.
Termasuk si A, si B, dan si C yang anaknya sedang di rumah sakit.

Tapi Bapak Dua, tak ambil pusing. Beliau beralasan, bahwa tempat kami bekerja ini akan disewakan pada yang lain.

Tega benar.

Jadi, selama ini, kerja keras kami dianggap apa? 

Akhirnya, kami yang ikut Bapak Satu, memutuskan pindah tiba-tiba. Kebingungan melanda, sebab saya belum punya rumah.

Seperti tadi saya katakan, sejak kapan saya punya tempat singgah permanen? 

Tapi Tuhan tetap mengerti, bahwa kalut hati ini bisa sembuh karena kehadiran orang-orang yang saya anggap penting dan memang mengobati sedih.

Di tengah hujan, wangi petrichor yang membuat saya optimis bahwa hidup selalu bisa diselamatkan meskipun ada di ujung jurang sekalipun, di aroma pengampunan dosa dari secangkir cokelat hangat, dan pesan-pesan darinya yang terus bergulir, saya masih percaya bahwa saya dan teman-teman akan selamat.

Maka, saya memutuskan tak ambil pusing juga dengan hari esok, meski sebelumnya saya sudah bersedih-sedih sepanjang siang. Saya memutuskan untuk memasang lagi headset, memutar Luluc dan Sayde Price dari laptop saya, sembari melihat pesan-pesan client yang mungkin akan menyelamatkan hidup semua kawan seperjuangan di Jakarta.

Di meja, cokelat panas masih menguarkan kepulan uap yang menenangkan.
Dan di meja, telepon genggam masa kini masih menebarkan getar dari pesan-pesannya yang selalu menyelamatkan.

Terima Kasih, A.

Terima kasih pula, pada hidup yang menjelma roda.

Menjura saya, selalu.

Akibat Lagu-Lagu Sendu

$
0
0
Saya mohon maaf, kalau orientasi burung hantu kali ini mulai menjurus ke hal-hal tak penting macam curahan kehidupan yang melulu sedih. Ya tapi, memang begitulah yang namanya hidup. Saya ingat perkataan seseorang yang akhir-akhir ini sedang dekat, bahwa kesedihan itu kadang adalah pelengkap kebahagiaan. Kita tidak akan pernah bersyukur atas bahagia kalau kita tidak sedih. Kira-kira begitu.

Akhir-akhir ini, saya yang biasanya memutar lagu sendu dan melempar ekspresi biasa saja, jadi berbeda. Belakangan, kondisi hidup sedang tidak jelas. Bukan hanya karena masalah pekerjaan, tapi karena banyak hal yang tidak bisa dengan mudah diputuskan. Ibarat pergi ke toko dan bingung mau memilih apa, saking banyaknya benda yang baik dan juga yang terburuk. Ujung-ujungnya, main ke toko hanya sekedar melihat-lihat, seperti hidup yang kadang lewat dan sekedar melihat-lihat, padahal kita sangat ingin membelinya tapi tak bisa.

Mohon maaf pula, kalau akhir-akhir ini kadang saya tidak jelas. Emosi naik turun. Tertawa lima menit, marah-marah lima jam. Lalu, misuh-misuh di sosial media sampai ada yang berkirim jaring pribadi ke telepon genggam, atau malah langsung menelepon dan bertanya, "Kamu lagi kenapa?" Maaf saja, saya sedang ada di titik equilibrium paling tinggi dan akan meluncur. Semacam culture shock kalau ada di mata kuliah Komunikasi Antar Budaya. Ha. Ha.

Biarpun begitu, saya masih ingin memaksa diri agar bisa terus tertawa. Sebab, saya percaya hidup ya pasti begini, bukan begitu-begitu saja. Selalu ada titik menukik tajam, agar kita semata-mata ingat bahwa hidup diraih dari titik terendah, menuju tinggi, dan pasti menurun lagi. Hal itu semata-mata supaya kita tidak sombong dan angkuh terhadap hidup yang bukan kita sendiri yang usaha, tapi juga pemberian Dzat Maha Kuasa.

Ya begitu. Semacam self-note, agar saya tak lupa, bahwa hidup pasti baik-baik saja biarpun masalah-masalah besar mendera. Yang perlu saya lakukan mungkin bukan melihat sepatu, tapi lebih baik melihat langit. Saya harus bangkit. Pasti bisa.

Ah sial. Ini semua pasti akibat lagu-lagu sendu. :)

Tapi biar. Biar rasa, biar tahu kalau hidup ya begitu. :)

[Sedikit Prolog] Cipher

$
0
0
Jadi, ada naskah yang terbengkalai di folder draft dan menolak untuk dilupakan, sebab naskah ini sudah separuh jalan. Ibarat hidup segan, mati tak mau. :))

Jadi, sedikit pembukaan dari naskah saya yang kelak akan saya beri judul "Cipher" ini akan saya tampilkan. Baiklah, selamat mencecar! :))

---

Prolog

Semua orang berbicara dengan sandi mereka masing-masing, secara verbal. Sandi-sandi itu secara simultan diartikan oleh mereka, para pemecah sandi. Bahasa, adalah salah satu hal paling ajaib di dunia, sebab bahasa dapat memecahkan sandi-sandi purba. Dahulu, semua orang yang berbicara dengan sandi dan isyarat, akhirnya menemukan satu hal yang absolut, bahasa sebagai pemecah sandi.

Bahasa, sebagai pemecah sandi, sama halnya seperti pemecah sandi dalam sistem teknologi informasi. Sebut saja beberapa perkara. Para pejuang Amerika, biasa berkomunikasi dalam bahasa Indian Navajo, dengan bantuan windtalkers—pembicara angin. Para tentara Jerman, menggunakan mesin enigma yang menerjemahkan huruf, menjadi huruf baru. Mesin itu berputar sesuai rotari. Mesin enigma melakukan enkripsi dan dekripsi pesan rahasia. Arthur Scherbius, insinyur yang mematenkan mesin ini, membuatnya dengan teknis rotor elektromekanik. Ribuan pesan rahasia ditransformasikan hanya untuk dan kepada tentara Jerman Nazi. Namun, pada akhirnya, sistem dekripsi mesin ini dipecahkan juga. Enigma atau aenigma yang berarti teka-teki, pada akhirnya tak lagi menjadi teka-teki.

Lantas, bagaimana dengan persandian yang kini berenang di dalam lautan teka-teki di dunia maya sana? Bagaimana semua rahasia itu bisa terbang bebas dalam jagat manusia yang seakan-akan menjadi virtual? Seakan berbicara dengan bahasa yang sama, padahal tak dimengerti lokasi aktualnya? Rasanya, jika dunia maya adalah enigma, tingkatnya sudah bukan lagi tingkat enigma biasa. Kriptografi dan berbagai macam tingkat keamanan yang diterapkan di dalamnya, sudah lebih dari kompleks. Dunia maya, bukan lagi tempat bersembunyi yang abadi, sebab di dalamnya, ada setan dan malaikat. Dunia maya menjadi pisau bermata dua. Melukai dan menyembuhkan.

Apalagi jika orang-orang sudah bicara tentang…

...sebuah rahasia.

Dan rahasia itu, menuntun satu raksasa untuk memainkan para boneka, yang rela membunuh demi sebuah rahasia.

Sebuah rahasia yang samar namun dapat terbaca.

Bincang-Bincang Dengan Bli Robi: Seniman, Petani Kopi dan Pemikir yang Membumi

$
0
0
"The good man is the friend of all living things." -- Mahatma Gandhi


Di tengah-tengah musik Jesus and Mary Chain yang mengalun ke gendang telinga dan rumah siput yang diam saja di dalam sana, saya menulis artikel sederhana ini. Sedikit artikel atau opini pribadi saya mengenai sosok Gede Robi Supriyanto atau yang biasa orang kenal dengan sebutan Bli Robi, salah satu dedengkot sebuah band asal bali bernama Navicula.

Bisa dibilang, saya bukan orang yang mudah move on terhadap suatu kejadian atau situasi yang menyenangkan dan membuat saya betah. Perbincangan-perbincangan kecil dengan seorang teman yang berujung pada perbincangan sepagian dapat membuat saya susah tidur. Sudah lelah, malah ditambah kegiatan berpikir. Otak saya selalu berputar, bekerja tak kenal waktu setelah mendapatkan nutrisi dari sebuah diskusi. Ya, diskusi yang singkat dengan seseorang atau sekelompok orang.

Kali ini, saya mendapatkan kesempatan itu, bincang-bincang singkat dengan salah satu orang yang hanya sempat saya minta foto bersama, atau bicara kecil-kecilan yang numpang lewat saja. Saya jadi mengerti, perihal susah move on seperti ini memang kerap kali terjadi. Seperti halnya Aris Setyawan yang begitu ingin bertemu dengan Ucok Homicide a.k.a Herry Sutresna, ketika berkunjung ke Bandung, dan tak bisa move on beberapa hari kemudian. Sampai harap-harap cemas ketika berada di kereta yang lajunya hampir memakan waktu sebelas jam. Haha. Saya merasakannya, Ris. Jadi, kita senasib wahai Aris, meskipun Chairil Anwar berkata, "Nasib adalah kesunyian masing-masing." :))

Banyak orang berkata, bahwa seseorang yang telah menjadi "orang besar" tak pantas lagi diajak berbicara, tak pantas diajak duduk sama rata dan tak perlu diajak menenggak kopi yang sama dari gelas plastik murahan. Saya rasa, hal itu tidak relevan, apalagi jika kau tak pernah mencoba untuk menyapa orang-orang yang menurutmu besar itu. Saya tak berniat untuk mentertawakan orang-orang itu, sebab saya juga pernah menilai orang dengan stereotip yang sama.

Namun, saya ingin tertawa ketika salah seorang teman menaruh nama Bli Robi ada di dalam daftar "orang yang tak pantas diajak minum kopi bersama". Hahahaha. Mungkin, teman saya harus diajak berbicara dan ngopi bareng dulu, sehingga malu sendiri. Sayang, ketika kemarin saya hadir di acara Surabaya yang bertajuk "Grunge Terror 2"untuk silaturahmi pasca lebaran sekaligus meliput bahan zine, teman saya ini tidak turut serta. Padahal, bisa malu-malu serigala dia jika dihadapkan pada kondisi saling bertatap muka dengan Bli Robi yang kala itu menenteng botol bir besar sambil bertelanjang kaki. Bli Robi yang lelah menghibur partisipan acara dengan lagu-lagu legendaris dan masih bisa diajak bicara santai sampai pagi. Malah, sebelum memulai permainan gitar akustiknya, Bli Robi mempersiapkan sendiri segala kebutuhannya dan berkomunikasi dengna operator di pertengahan gedung serbaguna mengenai settingan audio yang memenuhi kriterianya. Wah, saya terkesan. Bli Robi yang saya baru tahu pada dini hari ini, bahwa beliau adalah orang yang bisa diajak bicara apa saja. Bukan hanya ramah pada sesama tapi ramah juga pada alam raya.

Awal mulanya, saya mencoba bertanya pada Bli Robi pada sesi diskusi singkat malam 10 Agustus itu, ketika acara musik disudahi dan sisanya tinggal santai-santai saja. Saya bertanya tentang efektivitas musik dalam kegiatan aktivisme dan solidaritas, sebab di Indonesia ini cukup banyak musisi yang menyuguhkan lagu dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat dan sangat dekat dengan kita. Namun, seberapa besar tingkat efektivitasnya, kita juga tak bisa menebak. Hanya saja saya menangkap, bahwa tugas Bli Robi dan Navicula sebagai musisi sudah cukup sampai pada posisi "penggerak poros", sebagai pemersatu insan yang progresif revolusioner. Sisa perjuangan, setidaknya dari 10 pendengar lagu-lagu yang diusung Navicula, ada satu atau dua orang yang kelak bisa meneruskan atau membuat sebuah pergerakan berdasarkan lagu-lagu milik Navicula, tidak hanya berkutat di esensi lagunya saja, melainkan turun langsung ke dalam implementasi terkait perubahan yang tersugesti lagu. Malam itu, saya begitu berapi-api mendengarkan. Saya melupakan tugas kantor sejenak dan memutuskan untuk mengakhiri malam sampai semua perbincangan benar-benar selesai.

Diskusi yang tidak seberapa lamanya, dengan beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang itu-itu saja, akhirnya selesai. Semua bangkit berdiri dan pulang ke tempat singgah masing-masing. Sementara saya dan beberapa orang yang masih ada di acara--kebetulan teman-teman dekat saya juga--memutuskan untuk berlama-lama di gedung serbaguna Kampoeng Ilmu Surabaya. Saya tak ingin melewatkan kesempatan untuk berbincang-bincang atau mendengarkan cerita dari Bli Robi, karena saya tahu bahwa kesempatan kecil tak datang dua kali. Maka, setelah menunggui dan sedikit membantu kawan-kawan SGA (Surabaya Grunge Army) untuk membereskan kembali lokasi acara, kami semua turun. Kami menyambung perbincangan yang sebelumnya telah terdistraksi debu-debu, remah langit-langit, dan botol kosong sisa minuman. Di dekat bale bawah, kedai kopi masih buka rupanya. Saatnya menggenapi hari Minggu yang lelah dengan perbincangan sederhana yang dihiasi kepul asap dan kopi pekat.

Ada beberapa ilmu baru yang didapat dari perbincangan singkat. Ilmu-ilmu tentang menghidupi sebuah komunitas dan bagaimana cara mengintegrasikan elemen-elemen yang ada di dalamnya agar bisa sama-sama bermanfaat dan berfungsi sesuai kapasitas masing-masing. Ada juga ilmu yang sungguh sederhana, mengenai budidaya tanaman kopi lokal dan bagaimana cara mengolah kopi yang masih berbentuk buah sampai jadi kopi bubuk. Ada ilmu-ilmu lain juga yang relevan dengan beberapa isu terbaru di negeri ini, yang rasanya sangat pas jika dibicarakan dalam keadaan random, santai dan serba tidak terduga seperti pemilihan presiden--yang baru-baru ini panas sekali--misalnya. Atau, bicara dolly yang bisa jadi akan memunculkan ancaman baru bagi suami-suami para ibu? Hehe. Seperti berbicara dengan teman dekat ketika minum kopi dalam satu gelas yang sama, kata-kata dan pemikiran-pemikiran mengalir dengan derasnya. Maka, nikmat Semesta manakah yang kau dustakan?

Pemikiran saya ketika menghadapi bincang-bincang dengan Bli Robi, persis seperti pemikiran yang Aris tuliskan dalam artikelnya mengenai Ucok. Bli Robi sangat cocok dianggap sebagai teman bicara yang begitu membumi, dengan wawasan seluas lautan yang masih bisa diseberangi. Saya bukan penikmat teori-teori berat mengenai filosofi kehidupan, tapi saya lebih menikmati bagaimana hidup dibaca dari perputaran logika dan realita. Dari sana, teori-teori itu sebenarnya relevan, tanpa kita harus menelan bulat-bulat teori itu hanya sebatas textbook. Begitu banyak kajian filsafat kehidupan dari perbincangan dengan Bli Robi. Bli Robi bukanlah orang yang jauh di atas langit, seperti yang teman-teman saya dakwahkan. Mungkin... Ini mungkin saja. Bung Teman memang belum pernah berbicara langsung atau sekedar menyapa Bli Robi, mungkin Bung Teman segan dan malu, sehingga ia membuat sebuah stereotip bahwa, orang-orang yang sudah besar atau terkenal seperti Bli Robi, tak perlulah diajak berbincang dan minum kopi bersama. Bung Teman saya ini sepertinya menanamkan majas pars pro toto. Batang hidung untuk seluruh. Padahal, tak semua orang seperti yang dia utarakan. Saya jadi ingin mengajaknya bertemu langsung dengan Bli Robi, mungkin nanti kita ke Bali? Hehe.

Maka, saya menganggap bahwa Bli Robi adalah buku pengetahuan berjalan yang bisa kapan saja ditanyai, dan dimintai pendapat. Bli Robi begitu terbuka. Ilmu kehidupan yang didapatkan benar-benar bebas disebar dan difotokopi maupun diperpanjang. Anggaplah saya sedang belajar, sebagai orang yang baru-baru ini melihat kisruh dalam realita kehidupan, saya belumlah jadi apa-apa. Saya menjura.

Setelahnya, anggaplah Bli Robi sebagai teman bicara yang rumahnya selalu terbuka, sebab ketika saya berbicara dengannya, dengan beberapa teman (Mbak Wenny dan Mbah Man), saya seperti sedang menghadapi teman sepermainan yang sedang melakukan pertukaran pikiran. Saya hanya ingin membuang stereotip bahwa Bli Robi bukanlah legenda lama yang hidup di Bali, yang bergerilya membawa nafas grunge dan lupa ketika telah besar. Sesungguhnya, Bli Robi masih berada di dalam lingkaran komunitas itu sendiri, dekat dengan semua manusia dan alam raya. Masih bersuara dengan lantang memikirkan nasib-nasib orang yang tertindas yang mungkin sebenarnya tak kita kenal, atau malah kita komentari, "Siapa sih dia? Untuk apa kita bela dia?" Tapi, Bli Robi mau. Pun dengan Navicula. Bli Robi dengan Navicula-nya, bukanlah dewa atau nabi yang dikultuskan. Mereka hanyalah sekumpulan manusia yang sama dengan kita. Manusia yang besar dari dukungan manusia lain. Makhluk sosial pada umumnya. Bernafas dengan kita. Peduli dengan kita dan negeri kita yang kaya. Kalau mereka saja peduli, mengapa kita pura-pura tidak peduli? Padahal, kita hidup di sini, memiliki sumber daya melimpah ruah tapi setengah mati untuk hidup di dalam arus modernisasi dengan mengonsumsi barang jadi berlabel "West" yang dilempar mentah ke sana, diolah sedikit, dicap "West" lalu kembali ke negeri kita untuk dikonsumsi. Coba mengutip kata-kata, "Kita adalah tikus yang mati di lumbung padi." 

Sungguh lucu sekali rasanya.

Ah sudahlah. Artikel testimoni ini, rasanya jadi semacam sentilan tak berujung yang akan sangat panjang isinya jika saya teruskan kemana-mana. Berhubung banyak sekali orang yang minat bacanya terkikis, alangkah baiknya, testimoni saya untuk Bli Robi Navicula kali ini, saya cukupkan saja sampai di sini. Oh ya, jika kawan-kawan menunggu artikel berikutnya yang berisi diskusi singkat hasil menyimak seadanya pada acara 10 Agustus lalu, harap bersabar. Maklum lah, keinginan menulis banyak hal kadang tak sejalan dengan momentum yang saya miliki pada saat ide tersebut muncul di kepala. Mungkin, saya akan coba menyusunnya tak lebih dari akhir minggu ini. Ditunggu saja.

Pada akhirnya, saya hanya ingin mengucapkan syukur pada Semesta dan kebetulan-kebetulan kosmos yang membuat saya bisa berada di Surabaya pada saat yang tepat dan tak terduga. Semua hal sudah dirancang dan tak ada kebetulan mutlak. Yang ada hanyalah kebetulan yang sebenarnya telah dirancang oleh semesta. Pertemuan, perbincangan, dan aliran hidup yang sudah terjalur akan menemukan muaranya. Dan saya percaya, setiap pertemuan akan memberikan pelajaran berharga pada irisannya.

Saya berpesan pada kawan-kawan untuk tak melihat buku hanya dari harga, melainkan dari isinya. Harga dan sampul bisa menipu, tapi isinya belum tentu. Hehehe. Tetaplah percaya, bahwa tiap-tiap manusia, selalu punya cara untuk memanusiakan manusia lainnya, walaupun setitik. *udah gitu aja*



Surabaya, 11 Agustus 2014

*thanks God, for the fastest Wi-Fi connection from Providence Homestay! :p
*special thanks for SGA, Grunge Terror 2 all participant, Mbak Wenny, and Mbah Man

ngobrolin apa sih ini? oh ngomongin si Ongen tidur di lantai sampe mau kesapu :))


Pernikahan dan Hal-Hal Yang Tak Pernah Selesai

$
0
0
"Mbak, ada undangan nikahan nih, dari temen Mbak kayaknya. Mamah taruh di meja buku."

Pesan singkat Ibunda memasuki telepon seluler saya, di antara ribuan sinyal provider kartu yang berseliweran di atap gedung Hartono Elektronika. Surabaya agak panas menyengat beberapa hari ini dan pembawa sinyal agak tak berirama. Tapi, mengapa pesan Ibunda masuk seketika?

Pesan itu, seperti pesan yang sudah-sudah. Pesan dari Ibu itu, semacam pengulangan pada kejadian yang sebelumnya pernah ada. Intinya, saya diminta pulang. Untuk apa? Sudah barang tentu, selain untuk bertukar kabar dengan keluarga di rumah, saya harus pulang untuk menghadiri undangan-undangan yang terbengkalai itu. Meski terlambat mengucap, tak apa lah. Setidaknya, saya setor wajah pada teman-teman yang kiranya sedang berbahagia agar tak dicap sebagai "wanita gila kerja", "kawan pencari sesuap berlian", "kawan yang lupa", atau lebih parah lagi jadi kawan yang dicap dengan kata-kata, "sok sibuk lo Yu!"

Sebelum pulang, saya menghitung helaan nafas yang keluar dari diri sendiri, sebagai refleksi langkah-langkah kehidupan. Ah, bukankah saya belum begitu tua? Umur dua puluh dua saja belum tergenapi sempurna. Usia produktif untuk berkeluarga rasanya masih agak lama (karena mungkin memang standar saya saja yang kelewat berbeda dengan perempuan kebanyakan), jadinya saya anteng-anteng saja bekerja tak kenal depresi, padahal titik didih otak sudah mencapai batasnya dan siap luber ke permukaan meja. Kata beberapa kawan saya yang sudah menikah, di saat-saat seperti ini saya memang butuh pendamping. Kata mereka, "Lo butuh temen cerita Yu, kalo pas lo kerja lagi depresi berat, ada yang nemenin ada yang dicurhatin."

Oh begitukah? Rasanya, sejauh saya hidup, saya tak pernah meminta pada siapapun. Saya tak pernah menaruh tangan saya di bawah tangan yang lainnya, semacam meminta belas kasihan atau paksaan pengertian pada pekerjaan saya yang kadang menyebalkan. Ya, menjadi seorang developer di tengah rimba industri multinasional dan segala politiknya. Saya bukan apa-apa, tapi agar menjadi apa-apa, saya harus bertahan di sana.

Depresi berat itu, kemarin menuju titik puncaknya. Teman-teman satu project saya, seperti itu pula. Dan ketika bercerita pada seorang kawan perempuan, dia berkata, "Lo mungkin harus bikin hidup lo stabil. Dengan cara, lo cari pendamping."

Apa memang harus seperti itu? Rasanya, memiliki pendamping di saat semangat sedang menggebu-gebu begitu, agak sulit juga. Saya harus bisa membagi waktu, membagi pekerjaan saya yang gila-gilaan dengan kehidupan nyata. Realita. Saya belum tentu bisa kembali bekerja seperti sedia kala. Karena saya perempuan dan saya hidup dalam tatanan patriarkis yang mau dirontokkan itu sudah pasti tak akan bisa mudah, saya pasti harus menurut pada satu rule utama dalam pernikahan bahwa, "Istri adalah pendamping suami dan pemenuh kebutuhan suami. Pendengar setia. Pecinta. Penolong saat sedih. Apalah."

Ya ya ya ya. Saya tahu semuanya akan lari ke sana. Jadi, apa benar saya butuh pendamping seumur hidup untuk membenahi emosi saya yang naik turun atau depresi-depresi kecil akibat pekerjaan yang menumpuk tapi melecut semangat berproses saya? Entahlah. Saya tidak berani berpikir jauh, sebab esok hari saja belum terlihat muaranya. Jadi, saya hanya menghidupi hari yang sedang berlangsung dengan sebaik mungkin, agar besok menjadi lebih baik, atau setidaknya stabil. Tapi, ya siapa yang tahu kalau ternyata esok hari lebih buruk. Maka, saya tak pernah melego hidup pada satu putaran dadu yang bernama "kehidupan rumah tangga."

Ah maaf, ralat. Bukan tak mau, tapi belum mau.

Kalau teman-teman mengatakan saya ini gila kerja, silakan lah. Itu hal yang wajar. Perempuan seperti saya ini apalah jenisnya. Di usia yang sama, banyak teman-teman perempuan yang kelihatannya berbahagia dengan keluarga kecil mereka, dengan anak-anak mereka. Sedangkan saya, saya ingat satu teman lama berceloteh, "Cuma kamu Yu, satu-satunya anak TKJ cewek yang masih bertahan di Jakarta."

Ya, teman-teman saya tumbang satu per satu dari ibukota yang keras ini. Yang segalanya serba dituntut untuk berburu. Berburu busway paling pagi agar tak kena quota masuk busway. Berburu taksi paling pagi agar tak kena macet menuju bandar udara. Berburu nasi uduk di depan kost agar tak kelaparan dalam perjalanan menuju ke kantor yang dihiasi macet. Ya itu, Jakarta yang tiba-tiba menjadi hutan belantara, tak terprediksi pula isinya. Teman-teman yang berbahagia itu, seperti sedikit mencibir, "Ngapain kamu kerja. Kamu nikah aja. Punya suami, enak. Nggak usah kerja, cuma ngurus anak, beres-beres rumah. Udah. Mau belanja, kan suami yang kasih."

Aduh. Apa saya bisa begitu? Sedangkan, selama ini saya membereskan apa-apa sendiri. Membetulkan langit-langit kost, menempelkan poster di kost, mengangkut lemari, dan segalanya bersama teman perempuan satu kost. Pindahan kost, saya cari motor sana-sini dan pindahkan sendiri barang-barang, diangkut ke motor, bolak-balik saja. Karena serba sok mandiri itu, saya terlecut dan membentuk mindset, "Saya bisa sendiri. Apa-apa sendiri sudah biasa. Lalu, bukankah jadi berbeda kalau saya memutuskan menikah segera?"

Sebab menikah bukanlah hal main-main seperti main lotere. Kalau menang dapat uang, kalah ya hilang uang. Mungkin mudah hilang uang, tapi apa mudah jika komitmen dipermainkan karena keputusan buru-buru yang tidak dipikirkan rasional dan matang?

Kata orang, menikah tak butuh biaya blablabla. Menikah tinggal menikah saja. Bukan itu sebenarnya yang saya garisbawahi. Bukan biaya, sama sekali bukan. Komitmen keterikatan itulah yang membuat saya harus berpikir matang-matang untuk memilih antara "menikah", "menikah nanti juga bisa", atau "tidak menikah deh". Ya begitulah. Banyak pertimbangan yang berkelebatan dalam pikiran jika membicarakan hal-hal sensitif semacam pernikahan ini. Saya juga jadi takut sendiri, setelah tadi sore berbicara delapan mata dengan kawan project kantor dan pimpinan saya langsung. Hal yang langsung menohok saya:

"Kalian laki-laki mah nanti kan enak kalo udah umur sekian tinggal lari project sana-sini, nggak harus coding lagi. Nah, Ayu juga. Sepuluh tahun lagi kan enak Yu, tinggal jagain project nggak usah turun coding. Eh, itu juga kalau masih sama kita. Nggak tahu juga kan nanti suaminya bolehin kerja kayak gini lagi atau nggak."

Hal itu yang saya takutkan. Hidup saya selama ini berproses terus menerus. Banyak hal baru dan yang saya tak tahu, hadir pada saya melalui pekerjaan saya yang menyenangkan, meski membuat saya depresi setengah mampus. Sebenarnya, depresi kan hanya hal temu solusi atau tidak. Kalau ketemu, ya lewatlah depresinya. Kalau belum ketemu, ya selamat berkutat dulu sampai pagi. Seperti itu. Tapi, apa nanti masih bisa seperti ini jika saya sudah menikah?

Ah entahlah. Bicara visi misi untuk satu orang saja belum khatam benar, apalagi bicara visi misi untuk dua orang? Tiga orang (kalau anaknya satu)? Empat orang (kalau anaknya dua atau anak kembar)? Dan jumlah yang terus meningkat itu kala kita berkeluarga. Sebab, katanya berkeluarga itu bukan hanya menyatukan dua orang saja, tapi seluruh keluarganya juga.

Ah saya belum siap. Entahlah. Mungkin ego masa muda yang masih lekat menempel dalam diri, untuk sebuah pengakuan atau sebuah transmisi manfaat bagi orang sekitar, yang mungkin saja ketika sudah menikah nanti, tidak bisa sepenuh hari ini.

Saya tak lagi ingin bicara visi dan misi 'kita', 'saya dan kamu'. Mungkin saya akan menemui hari di mana saya benar-benar harus ditemani sepanjang usia, punya anak-anak lucu yang meramaikan beranda rumah, punya tempat di mana saya akan selalu kembali berpijak. Mungkin saya akan memilikinya, suatu saat nanti. Saat-saat yang pasti tak akan bisa diputuskan dalam waktu dekat ini.

Mungkin ketika lelah nanti, atau ketika saya sudah tak lagi sanggup melakukan apa-apa sendiri sebab beban hidup semakin tinggi. Tapi, apakah ada 'nanti'? Apakah ada yang akan menanti? Sungguh jadi perdebatan yang serba salah, tentunya perdebatan dalam diri saya sendiri. Jika nanti tak pernah ada, berarti saya akan menyesal. Tapi, jika tak perlu ada nanti dan saya lakukan sekarang, apa nanti itu tetap menyesal?

Entahlah. Bicara pernikahan dan keluarga cemara seperti Abah dan Emak memang tak akan pernah selesai. Saya tak pernah tahu, kapan milestone hidup tercapai. Kapan batu pijakan menuju fase-fase hidup selanjutnya akan saya lewati, saya tak pernah tahu.

Yang saya tahu, saya sedang hidup untuk menuju entah apa. Saya sedang menghidupi hari ini. Itu saja cukup, tak ada embel-embel lain.


Surabaya, 28 Agustus 2014
log 01:33 AM

sambil setel Nirvana - Sappy

/// And if you save yourself / You will make him happy / He'll keep you in a jar / And you'll think you're happy
He'll give you breathing holes / And you'll think you're happy / He'll cover you with grass / And you'll think you're happy now ///

Cahaya Terang Bagi Mereka Yang Tetap Berpelukan Pada Remang di Persimpangan

$
0
0
"Take me out tonight. Where there's music and there's people
who are young and alive. Driving in your car. 
I never never want to go home. 
Because I haven't got one anymore."

back to heaven's light :)
Bimbang itu niscaya. Tak ada siapapun di dunia ini yang tak pernah merasakan sesuatu bernama simpangan atau putaran. Pada saat itu, masalah mencari konklusinya menjelang akhir cerita. Di persimpangan semacam itu, kitalah yang berhak memilih, akan berpisah melalui jalan yang berbeda atau tetap melaju di jalan yang sama. Atau, akankah kita memilih untuk tidak kemana-mana dan tetap berada di persimpangan yang meng-ada.

Saya adalah tipe orang yang begitu reaktif terhadap suatu masalah, meski akhir-akhir ini saya menimbunnya sendiri sampai masalah tersebut meledak dan pecah di dalam kepala. Di waktu-waktu semacam itu, saya hilang arah. Kadang hilang pijakan yang lebih parah. Sebenarnya saya bisa saja membuat diri saya stabil, itu pun dengan suntikan semangat dari orang-orang yang memang saya harapakan benar kehadirannya secara nyata.

Namun beberapa minggu sebelum hari ini dan hari kemarin, saya mengalami kebimbangan. Sebabnya, orang yang saya harapkan untuk memeluk saya kala saya terjatuh jauh sekali, sedang mengalami hal yang sama. Pergulatan dalam pikiran memang tak bisa membuat segala hal jadi benar atau jadi jelas. Semuanya malah menemui buntu. Saya ingin berteriak saat itu juga. Saya membutuhkannya, seseorang yang kembara pikirnya juga sedang berkelana jauh. Saya ingin menangkapnya, membawanya pulang bersama saya, tapi itu sulit.

Sebutlah hal semacam ini sebagai rindu yang bertumpuk tapi bertemu momentum yang tak tepat. Momen yang mungkin terjadi tiba-tiba dan sebenarnya tak begitu diinginkan. Tapi karena suatu hal semacam keterpaksaan, momen tersebut harus terjadi. Saya yang ketika itu tak mengerti dan memang sedang dilanda kebimbangan, menanggapinya dengan sangat reaktif.

Semua jadi kacau. 

Kekacauan itu membuat saya berpikir dalam-dalam, "Apakah saya harus mementingkan ego saya yang berlebihan atau memaafkan hal kecil yang sebenarnya dapat diperbaiki?" Saya bimbang setengah mampus. Hahaha. Tapi, sungguh saya tak ingin kehilangan seseorang itu, sebab saya pikir, dialah yang selama ini menemani saya kala pikiran saya sedang melayang kemana-mana dan begitu melantur. Dialah yang menjadi tempat saya pulang walau kepulangan saya hanya untuk sekedar bertukar kabar sederhana sambil berpelukan di bawah bintang-bintang dari setatapan jendela.

Saya sempat ketakutan ketika dia berkata, "Maaf kalau aku memang udah nyakitin kamu. Baik-baik ya. Jaga diri kamu." Saya takut kehilangan. Ingin rasanya saya terbang saat itu juga, menyusulnya yang ada di kota kembang, tapi saya tak bisa. Badan saya gemetar, panas. Saya bingung. Saya ingin bertemu dengannya. Rindu ini sudah terasa berat membebat pikiran dan seluruh tubuh. Saya ingin lekas pulang.

Di tengah-tengah ketakutan itu, selalu ada pertimbangan yang muncul. Sebuah konklusi yang tidak mengarah pada perpisahan atau jalan berlainan di persimpangan. Saya berusaha memaafkan sebuah kejujuran. Jujur yang menyakitkan mungkin lebih baik daripada kebohongan yang terasa manis. Saya begitu menghargai kejujurannya. Makanya, saya berusaha untuk berdamai dengan diri saya sendiri, agar tak jadi pribadi reaktif. Sebab saya sadar, kemarahan saya yang tiba-tiba ini, lama-lama pasti akan menjadi bumerang bagi diri saya sendiri. Orang-orang sekitar saya, yang terkasih, yang saya inginkan kehadirannya, perlahan pasti akan menjauh. Saya tak mau itu terjadi. Saya putuskan untuk berdamai dengan diri saya sendiri dan dengan masa lalu yang sudah tak lagi saya lalui.

Saya hidup hari ini, bukan di hari kemarin atau di hari nanti. Justru, apa yang saya lakukan di hari inilah yang akan menjadi dasar di hari esok. Maka, dengan hati-hati saya memaafkan. Sungguh, bukan kesalahan yang harus dibesar-besarkan, jadi untuk apa pula saya marah sedemikian rupa? Saya ingin menangis ketika pada akhirnya, semangat seseorang itu kembali terlecut. Kami kembali bercengkerama, bercanda seperti biasa. Saya tersenyum meski ia mungkin tak melihatnya. Saya ingin bahagia, saya ingin melalui hari ini dengannya, tak peduli bagaimana besok.

Pada hari Jum'at, momen kepulangan yang saya sudah rindukan, akhirnya tiba juga. Di akhir Agustus ini, saya ingin menghabisinya dengan sukacita. Maka, pulang ke Bandung jadi pilihan. Terbang dari Juanda menuju Soekarno Hatta, dan bergulat dengan kendaraan merayap, langsung menuju Bandung. Bagi saya, Bandung bukan hanya sekedar kota, tapi ia melibatkan perasaan, sebab saya besar di sana. Saya besar pula di Bandung pinggiran.

Perjalanan menuju Bandung, ditemani olehnya via gelombang selular, meski baterai saya tersisa 10 persen dari keseluruhan. Untunglah, semesta mendukung. Saya masih bisa berkomunikasi sampai mencapai Bandung. Sampai Bandung yang dingin, yang saya inginkan hanya pelukan hangat. Hahaha. Saya pun pulang, dijemput ayah. "Sampai bertemu besok," gumamnya sebelum saya beranjak menuju rumah.

Hari Sabtu, bangun pagi-pagi. Tumben juga. Apa memang karena siklus tidur saya yang mendadak jadi tak pernah lebih dari empat jam? Setelah bangun, satu-satunya yang saya kerjakan sebelum beranjak dari tempat tidur adalah mengirim pesan padanya. Ya, pesan selamat pagi yang sederhana, dengan rindu yang begitu menggebu. Siang ini, kami akan bertemu. Kebetulan, ada pameran buku di pusat kota Bandung. Ah, semoga hari ini jadi menyenangkan.

Singkatnya, sampai di Landmark Braga, saya meneleponnya untuk mempercepat pertemuan. Ah brengsek. Tak pernah saya selemah ini pada rindu. Sepertinya, momen-momen ketakutan yang kemarin terjadi, membuat saya semakin terbebat rindu. Mendengar suaranya di telepon membuat saya tersenyum sambil melipat jas hujan yang basah kuyup. Macet-macetan di tengah gerimis ternyata terbayar. Ia pun menyusul saya ke depan, di seberang tempat parkir. Saya menyeberang tanpa tedeng aling-aling, tak hirau pada mobil yang mengebut dari arah rel kereta. Kami pun bertemu, saya tersenyum lebar.

Kondisi Braga penuh manusia, tapi tak saya hiraukan. Saya acuhkan manusia-manusia di Landmark, sebab saat ini saya sedang bersamanya. Saya hirau sama sekali. Menyenangkan sekali melihat tulisan kaosnya dari belakang, sambil berjalan mengikuti dirinya yang menyusuri lautan buku. Love Us As We Scorn You. Jika saja saat itu tak ada orang-orang yang matanya menelanjangi orang lain, mungkin saya sudah memeluknya erat. Ah tidak, pada titik ini saya jadi gila.

Banyak hal kecil yang membuat saya tersenyum, sejenak lupa rutinitas yang membosankan di Jakarta - Surabaya pasca dua minggu terakhir. Kami makan batagor, kami ngopi bersama dari gelas plastik di emperan Bank Mandiri, kami tertawakan manusia, kami komentari manusia yang mungkin juga mengomentari kami, kami bertemu kawan-kawan lama, kami membicarakan masa-masa yang membuat kami tertawa, kami mendengarkan lagu dari headset yang dipakai berdua. Menggumamkan "Reverie on Norfolk Street", lagu kesukaan kami yang liriknya samar-bias. Menjelang malam, kami melanjutkan perjalanan, menuju hari yang kian malam kian ramai.

Melanjutkan kembali hal menyenangkan. Kami bertemu teman-teman, kami mengobrol, kami membaca hidup, kami mengomentari manusia lagi, kami minum teh tarik, kami duduk-duduk di trotoar, kami tertawakan orang, kami berdiskusi, kami bercanda. Tak ada ruang untuk memeluk, tapi saya senang sekali. Meskipun, dalam pikiran ini melintas sebuah argumen yang membuat saya tertawa geli, "Pasti menyenangkan sekali rasanya, bisa memiliki remote untuk menghentikan waktu. Jadi, ada jeda untuk kita berpelukan di tengah-tengah manusia yang berhenti beraktivitas. Momentum berhenti, waktu berjarak. Meski tiga detik, pelukan itu rasanya hangat."

Semua jelas. Ada harga yang harus dibayar jika pada saat itu saya memutuskan untuk marah besar dan memperpanjang urusan kecil menjadi berlarut-larut. Padahal, seharusnya saya memang abaikan saja, sebab masalah kecil semacam itu bukanlah penentu berhentinya kehidupan saya. Saya belajar memaklumi seseorang dari sisi lainnya. Jika saya melihatnya dari atas, saya mungkin harus melihatnya dari bawah, atau mungkin dari kanan? Atau dari sisi kiri? Semacam itulah. Saya beruntung, saya dapat memilih untuk tetap memberi ruang pada rindu. Ada rindu di sini, yang seharusnya tak bisa dikalahkan oleh kondisi terjepit. Rindu ini sudah meluber dari tempatnya dan seharusnya dialah yang dipikirkan, bukan yang lain-lain. Bukan yang macam-macam.

Tak perlu mengurusi lolongan anjing tengah malam, sebab bisikan kekasih terasa lebih menyenangkan daripada mengikuti setan pikiran. Saya mengamini hal itu dan saya baru tahu konklusinya. Pilihan untuk tetap bertahan dan berpelukan sekali lagi memang lebih membahagiakan daripada saya pergi karena ego. Ah, terima kasih Tuhan. Saya begitu bersyukur atas hari Sabtu yang lalu.

Dan setelah hari Sabtu, saya jadi semakin rindu.
Tuhan...
Bolehkah saya berpelukan sekali lagi?
Dua kali lagi?
Lagi dan lagi? :)


Cimahi, 31 Agustus 2014

Lima Lagu Pengantar Agustus

$
0
0
Agustus berganti September. Ah September ceria. September yang dirindukan. Musim panas yang mungkin akan menyenangkan. September yang bagi saya bukan hanya sebagai bulan di mana saya lahir, tapi juga bulan refleksi, sebab di bulan inilah usia saya bertambah satu.

Di bulan Agustus, banyak hal yang terjadi. Hal-hal yang mungkin akan membantu saya mendewasakan diri. Beberapa hal juga membuat saya jadi (sok) bijak, (sok) memberi petuah padahal hidup saya sendiri saja tidak sesuai petuah tersebut. Hehe. Tapi, tak apalah. Setidaknya, saya belajar dari refleksi orang lain akan petuah-petuah tak penting itu. Harapannya, semoga penting bagi mereka meski setengah mati bagi saya untuk mengaplikasikannya.

Hal-hal yang sempat terjadi itu sempat membuat saya sedikit melantur tentang hidup. Bagaimana kalau A? Bagaimana kalau B? Dan bagaimana yang lainnya. Padahal, dulu saya pernah berjanji pada diri sendiri, untuk tidak mempermasalahkan 'bagaimana'. Saya pernah menorehkan hutang pada diri sendiri untuk tetap menjalani hidup seperti hari yang sudah-sudah, acuh saja pada halangan. Sebab, saya juga pernah memberi petuah pada seorang kawan di Surabaya yang bunyinya, "Hidup pasti ada ujiannya. Kalau nggak ada ujian, ya pasti nggak akan belajar kan?"

Jadi ingin tertawa sendiri. Padahal saya saja setengah mati susah bergerak dari sebuah ujian kehidupan. Bahkan setengah buahnya tak selesai sudah ditimpa ujian lain. Tapi, ya itulah. Dari sana saya banyak belajar.

Ada beberapa soundtrack kehidupan yang terputar selama bulan Agustus. Lagu-lagu ini cukup merefleksikan bagaimana saya menjalani beberapa ujian hidup di bulan Agustus. Dan kenapa harus bulan Agustus sih? Hmmm.

1. Yeah Yeah Yeahs - Runaway
"I was feeling sad. Can't help looking back. Highways flew by.
Run, run away. No sense of time. Like you to stay. Want to keep you inside.

Run, run, run away. Lost, lost, lost my mind. Like you to stay. Want you to be my prize."


Lagu ini sering menemani di kala saya galau karena pekerjaan. Project Surabaya begitu menguras tenaga dan emosi. Cekcok mulut dengan client dan gontok-gontokan di email berantai seringkali membuat saya ingin lari. Hahaha. Tak jarang juga saya kabur dari pekerjaan dan memutuskan untuk tidur saja di homestay sampai sore tiba. Baru setelah bangun, saya mandi dan lanjut bekerja dari homestay. Tak banyak yang membuat saya tertawa ketika di Surabaya, selain karena lelucon kawan satu kantor yang masih bisa memaksakan tawa. Dan, mendengar lagu-lagu sendu entah kenapa jadi pilihan sementara.

2. Yuna - Coffee




Kopi memang sudah jadi partner terbaik dalam menggalau. Hahaha. Galau di sini dalam artian tulis-menulis. Sebab, yang galau yang meracau. Racau dihalau dengan tulisan. Berapa banyak kata mengalir melalui bulir-bulir kopi yang meluncur ke tenggorokan. Tanpa asap (sebab saya sudah tak mengasapi paru-paru lagi). Kopi dan kata, seperti yang Yuna bilang dalam salah satu baris lagunya, "Sipping coffee and nothing to look forward to. Savoring my solitude."

Sedikit banyak merenung ditemani lagu ini yang samar-samar terdengar di headset. Beberapa naskah lama, seperti salah satu naskah novel distopia dan novel tentang kebetulan kosmik yang sedang saya garap, selesai bab demi bab. Semoga, kopi tetap menemani saya sampai naskah ini selesai utuh. Saya berharap naskah ini selesai, sebagai bentuk hadiah dari tiap soliloquy saya di malam buta.

3. Luluc - Reverie on Norfolk Street



Mengetahui lagu ini dari situs pembajakan lagu terfavorit. Hahaha. Lagunya leak sebelum sempat rilis. Sudah berniat ingin membeli rilisan fisiknya tapi memang Sub Pop ngehe belum bersedia membalas email-email tentang pemesanan karena saya orang Indonesia (gitu kali ya?). Tapi nggak apa-apa. Nanti kalau memang dibalas, ya tinggal beli kan?

Lagu ini memang seperti judulnya. Tentang lamunan-lamunan. Entah lamunan semacam apa yang Zoe Rendell maksudkan. Yang jelas, ini quiet reverie. Saya ikut melamun kalau mendengar lagu ini, sebab lagu ini mengantarkan saya pada rindu yang benar-benar ingin bermuara. Ah, sialan. Lagu ini terus terngiang di mana-mana. Di pohon, di bayangan pohon, di bayangan tangga, di matahari yang membias jingga dari balik gedung Ciputra World. Membias juga di panggilan kota dan sirene mobil para pengendara mobil Surabaya yang kadang menyebalkan. Membias juga lagu ini pada tiap langkah kaki saya yang menjejak trotoar berdebu, trotoar yang bisu.

Intinya dari lamunan lagu ini cuma satu, "Halo... Aku kangen."*ter-Raisa*

4. Five for Fighting - The Devil and The Wishing Well




Kata pepatah entah, "Di mana ada hari-hari yang gelap, di situlah ada setitik cahaya."

Nggak tahu apakah lagu ini mengantar cahaya? Tapi lagu ini yang membuat saya bangkit ketika mudun alias down. Dia jadi sahabat baik Agustus. Haha. Saya hanya menggarisbawahi bagian lirik di mana FFF bernyanyi dengan nafas pendek:

"I took a guess and cut a portion out of my heart. He said that's nowhere close enough but it's a damn good start. I wrote the secret that I buried on the wishing well wall. He said I've seen one... it follows that I've seen them all. We spoke of human destination in a perfect world. Derived the nature of the universe (found it unfulfilled). As I took him in my arms he screamed I'm not insane. I'm just looking for someone to understand my pain..."

Ya begitulah. Ketika ada yang menolong saya ketika melantur, saya hanya akan berkata, "Saya bukannya gila. Saya cuma cari seseorang untuk mengerti kesakitan (dalam kegilaan) saya." Gitu kali ya. Ya sudahlah, nggak penting juga kalau harus dideskripsikan.

5. Jason Mraz ft James Morisson - Details in the Fabric





"Calm down. Deep breath. And get yourself dressed instead of running around and pulling on your threads, and breaking yourself up. 
If it's a broken part, replace it. If it's a broken arm, then brace it. 
If it's a broken heart, then face it. 
And hold your own. Know your name and go your own way.
And everything will be fine."

Ini lagu tenang. Lagu masa tenang. Saya rasa para capres kemarin yang kalang kabut harus dengar lagu ini. Biar tenang, biar selow. Jangan lupa seduh teh sedikit manis dengan sedikit perasan jeruk nipis. Nongkrong saja di dekat kipas angin, sambil bersandar (maklum saya nggak punya AC). Kipas-kipas saja pakai kertas, kalau kipas angin juga nggak ada. Dan dengarkan setiap baris kalimat liriknya. Dengarkan baik-baik. Semuanya akan merefleksikan ujian-ujianmu dari awal hingga akhir Agustus ini. Sebab September bagi saya adalah bulan sakral, maka saya harus merefleksikan Agustus dengan sangat barbar. Bukan karena apa-apa, Agustus saya kali ini agak sedikit memuakkan. Tapi, seperti yang saya bilang, refleksi Agustus saya putar rekam jejaknya untuk sekedar mengingat, "Apakah ini karma saya?" Memutar rekam jejak Agustus saya secara keseluruhan, ketika itu saya ditemani dengan lagu ini dan sekaleng kopi dingin. Saya tidak minum teh dahulu, meski saya menyuruhmu begitu. Jadi, suka-suka saja lah ya. Yang jelas, dengar ini jadi adem. Aral terjal sedikit rata, mungkin karena digilas roda setum kehidupan (maaf saya nggak tahu bahasa Indonesianya untuk penggilas aspal itu apa).

Akhirnya, refleksi kehidupan itu ada. Hidup selalu berputar. Posisinya selalu berganti. Kalau hari ini kau berbahagia, belum tentu besok begitu. Setidaknya, saya mencoba belajar terus untuk menghargai kebahagiaan kecil yang ada, yang mungkin akan bisa saya nikmati meski hanya sekedar jadi kenangan di esok hari.

"Semua akan baik-baik saja pada akhirnya." -- Calendula yang berubah setiap jam 10 malam

"Everything happens for a reason." -- Dinda, gadis pecandu Kebetulan Kosmik di Mama Cake

“Thank Life For Happening, Thank Every Twist And Turn, There Is A Reason For Every Single Thing, There Is A Reason For Every Worry And Concern.” -- Dante Jannicelli (quotes colongan goodreads)

"Mamam tuh quotes!" -- Penggila Mario Tegars yang baru gulung tikar

"Gue nggak butuh quotes, gue cuma butuh peluk!" -- Tante Seberang yang butuh pelukan anak muda

Ya udah gitu aja. Ini postingan nggak penting juga sih. :))

Selamat September! Selamat menempuh musim panas!

Menginterpretasikan Lagu Melalui Bundel Cerita

$
0
0
Jenuh melanda. Pekerjaan yang kadang dikerjakan setengah-setengah membuat saya bingung harus mengisi kekosongan pada jeda pekerjaan itu dengan apa. Terlintaslah kegiatan yang sebenarnya tidak jauh-jauh dari dunia tulis-menulis. Ya. Sebuah kegiatan yang kadang mustahil untuk dilakukan secara konsisten, sebab ide kadang tak muncul sama sekali di hari-hari tertentu, seperti malam Minggu misalnya. Malam yang secara harfiah diartikan sebagai transisi Sabtu ke Minggu, dan dilewati oleh pasangan muda-mudi kasmaran untuk bertebaran di tengah kota. Sedangkan para jomblo? Ya sudah, hal apa yang paling membahagiakan para jomblo selain tertidur di kasur empuknya. Atau mencuci baju sehingga Minggu pagi bisa bersantai, bangun siang. Atau mungkin, menyeterika sambil memutar lagu Konservatif - The Adams, alih-alih membayangkan sedang diapeli oleh kekasih era 70-an. Duduk di dipan, sambil curi-curi pandang pada si gadis karena ayah si gadis pura-pura membaca koran Pikiran Rakyat, padahal sedang menjaga anak gadisnya dari tangah jahil kekasih. Ya Tuhan, kok menyedihkan sekali para jomblo? Hahaha. Membayangkan seperti sampai betisnya tersundut setrika yang sudah menyala merah.

Ya ampun. Tolong skip dahulu, sebab saya kali ini tak akan bercerita tentang jomblo. Saya hanya ingin menyampaikan sebuah pengumuman, bahwa setelah postingan ini dibuat, maka saya akan "memaksa" diri untuk mengisi halaman blog yang sudah usang ini dengan postingan tak penting, utamanya cerita pendek yang saya buat untuk mengasah kemampuan berimajinasi. Sebab, "sebuah cerita adalah bentuk skizofrenia yang paling dapat dipercaya." 

Begitu saja sudah. Setidaknya, ada sedikit kegiatan di kala jeda dari pekerjaan yang mungkin akan tetap membuat saya berpikir dan tidak diam di tempat. Setidaknya, ada sarana latihan dari kegiatan aneh bin lucu ini. Syaratnya hanya satu, dengarkan lagu. Dari lagu yang didengarkan, diharapkan akan hadir bayi-bayi cerpen baru. Entahlah. Mau cerpen model apa, yang penting cerpen!

Jadi, para jomblowan dan jomblowati yang budiman, yang mungkin mampir ke sini hanya karena ingin mengumpat, tolong doakan saya! Doakan saya dapat mengisi #30harimenuliscerpeninterpretasi!

Maafkan saya, kalau kurang kerjaan. Yah daripada blognya tidak terpakai atau tidak ada yang menghuni, lebih baik diisi sampah-sampah orang kurang kerjaan. Betul tidak? Setuju tidak?

Matraman, 07 September 2014

Jangan Datang Malam Ini

$
0
0
Aku tak pernah jatuh cinta dan aku tak pernah bisa mengerti tentang cinta. Yang aku tahu, cinta itu selalu menyesatkan. Tak ada manusia yang benar-benar mencinta dan dicinta. Semua hal berbau cinta, hanyalah fana. Bukan karena aku penganut aliran Tong Sam Chong, biksu yang mencari kitab suci ke barat dan mengatakan kalau cinta itu fana. Bukan karena dia aku begini. Aku hanya tidak ingin jatuh cinta, karena aku pernah merasakan pahitnya sebuah kata ‘cinta’. 

Bagiku, jatuh cinta itu hanya menghancurkan hidup… Dan aku, Tiko, lelaki tak bermasa depan dengan usia dua puluh tujuh tahun, mengembara mencari arti cinta yang sesungguhnya dan patut disebut cinta, di sudut Jakarta yang menyuguhkan berbagai kisah dramatisasi cinta…

***

“Ko, malem minggu ada acara nggak?” tanya seorang teman padaku, ketika aku baru saja memasukkan gitarku dan berniat untuk istirahat sejenak dari pekerjaanku sebagai pengamen. Ya, aku mengamen dan apakah itu dosa? Tidak juga kan? Jadi, aku mohon, jangan protes dulu.

“Nggak ada. Emang kenapa?” Aku balik bertanya, sekedar basa-basi.

“Ke Kotu yuk! Ada bar, baru buka. Si Liam mau traktir minum katanya,” kata temanku.

Aku beranjak pergi dan menjawab sekenanya, “Oke. Minuman mahal ya! Aku nggak biasa minum oplosan. Haha!”

Aku pun pergi dan mengembara lagi. Mencari tempat istirahat yang tepat untukku merenung dan menghisap rokok. Dan aku pun sampai di sebuah lapangan luas yang basah karena terhujani. Mungkin hujan semalam. Aku duduk di pinggiran lapangan, mulai menyulut rokok dan saat itu, seorang wanita melintas di depanku, menuju sebuah warung yang tak jauh dari tempatku duduk.

Ah, tubuhku berdesir. Dan aku tak tahu apa maksudnya semua ini. Wanita itu menoleh dan tersenyum. Semakin membuat aku kikuk. Ada badai kupu-kupu di perutku. Apakah ini jatuh cinta? Kurasa bukan. Mungkin aku hanya sedang kelaparan kala itu. Wanita itu beranjak pergi setelah membeli yang diinginkan.

Satu pelajaran yang aku dapat dari perenunganku hari ini. Wanita itu sederhana. Tanpa berdandan dan merayu. Hanya tersenyum dan bisa membuatku jatuh cinta. Cinta datang dari kesederhanaan dan aku mulai membuka hati akan cinta.

***

Malam Minggu kali ini, aku menyanggupi ajakan teman-temanku untuk minum bersama di bar daerah Kota Tua. Bar murah. Minuman murah. Dan mabuk secara murahan. Perempuan murahan, yang bisa aku habiskan dalam semalam. Kebetulan, sejak bertemu wanita sederhana, di lapangan itu, tubuhku berdesir terus. Nafsu pun memburu dan di saat seperti ini, aku tak tahu harus menyalurkan pada siapa. Pacar, tak ada. Istri? Tentu saja aku belum berminat. Dan itu berarti, pelacurlah satu-satunya pilihanku. Malam itu, semua temanku mabuk dan bergulung dalam dada perempuan mereka masing-masing. Aku minum di meja paling ujung. Beberapa botol minuman murahan yang membuat beberapa temanku muntah, tersaji di depanku. Aku mabuk, sendirian. Sampai seorang wanita tuna susila di bar itu, menghampiriku.

“Mabuk kok sendirian?” tanya wanita itu padaku.

Aku tidak menggubrisnya dan dia mulai duduk di pangkuanku sambil menciumi telingaku. Oh beginikah cara seorang wanita tuna susila untuk merayu? Kadang, aku kasihan. Tapi mau bagaimana lagi. Mungkin hanya itulah pekerjaan mereka.

“Aku nggak punya duit buat bayar kamu,” kataku padanya.

Dia lalu menunjuk ke arah Liam—teman pentraktir—yang sedang bergumul dengan wanitanya di seberang mejaku.

“Maksudnya?” tanyaku pada wanita yang mulai berhenti menciumiku.

“Dia yang bayar,” jawabnya.

Aku lalu menarik wanita di depanku untuk keluar dari bar dan kami pun berjalan menyusuri Kota Tua.

Dia menggamit lenganku dan bertanya, “Kamu nggak suka bercinta ya? Temen kamu udah bayar aku lho?”

“Lagi nggak pengen gitu-gituan. Pengen ngobrol aja, tanya-tanya soal perempuan,” kataku sambil melepas jaket dan memasangkan pada tubuh wanita itu.

Saat itulah, baru aku sadari. Wanita itu… Wanita itu adalah wanita sederhana yang aku inginkan dan aku lihat di lapangan perenungan. Ah. Kenapa? Kenapa begitu kompleks hidupku? Aku lebih baik melihat dia sebagai wanita sederhanaku, bukan sebagai wanita tuna susila. Dan kenapa aku dipertemukan lagi dengannya? Apakah ini kebetulan atau memang takdir?

“Hei, mau tanya apa?” katanya padaku sambil tersenyum.

Aku mengajaknya duduk dan berkata, “Stop kerja kayak gitu. Kamu bisa cari suami yang baik dan kaya. Kamu bisa hidup layak. Kamu….” Kata-kataku tercekat.

“Ya?”

“Kamu kan cantik. Kamu tidak pantas menjajakan tubuhmu,” kataku lagi.

Dia diam. Aku lebih diam, tenggelam. 

Dia pun beranjak pergi dan aku tak bisa menahan dirinya yang menjauh. Aku hanya bisa berdiri, dan berteriak, “Kalau ada lelaki yang mau melamar kamu. Apa kamu mau berhenti kerja kayak gini?”
Dia berhenti melangkah dan berbalik, lalu berkata, “Aku nggak tahu. Aku butuh uang sekarang, untuk ibu dan adikku. Kalau aku berhenti sekarang, mereka nggak makan!”

Dia lalu pergi, meninggalkan aku yang termenung di tengah lautan manusia di Kota Tua.

***

Keesokan harinya, aku buka buku tabunganku. Aku rapikan kamarku dan segera kutelpon Liam.

“Kenapa bro Tiko? Gimana kemaren? Servis cewek-cewek di bar itu mantep kan?” tanyanya padaku.

“Mantep bro. Makanya, tolong telpon bar itu, kirim cewek yang sama kayak kemaren ke kost ya!” kataku pada Liam.

“Haha! Ketagihan dia! Oke gampang bro. Pake duit gue aja ya! Kebetulan gue masih mau hura-hura duit gue sendiri.”

Setelah mengiyakan, segera kututup telepon dan menunggu wanitaku. Dia harus berhenti menjadi pelacur.

Sekitar jam duabelas siang, suhu di kontrakanku yang sedang panas-panasnya, mulai membuat aku kesal. Aku nyaris kehilangan kesabaranku kalau saja pintu kontrakanku tidak diketuk, olehnya.

“Masuk!” kataku dari dalam.

Wanita pujaanku, datang dengan pakaian yang sopan. Dengan lihai, dia langsung mengunci pintu kontrakanku dan memelukku dari belakang. Dia memelukku erat, dan mulai melepaskan kancing bajuku. Oh, Tuhan! Apakah memang begini adanya, seorang pelacur?! Blak-blakan dan tak berbasa-basi.

Aku berbalik dan kudapati dirinya yang kaget. Dia mundur ke pintu kontrakan.

“Kamu lagi! Sebenarnya apa maumu!” desaknya.

“Aku mau kamu berhenti kerja dari bar itu!” teriakku sambil mendekatkan wajahku padanya.

“Aku nggak bisa!” teriaknya sambil berusaha membuka pintu dan keluar.

Aku menahan pintu dan mulai berkata lirih, “Please, kamu nggak usah dateng ke sana malam ini. Di sini aja. Kamu harusnya tau, aku ini cinta kamu.”

Dia terdiam dan mulai terduduk lesu di lantai. Menangis.

“Aku harus kasih makan keluarga. Aku nggak bisa lihat adik-adikku menangis kelaparan,” katanya lirih, tersamar isak tangis.

Please… Kamu bisa hidup sama aku sekarang. Aku kan kerja,” kataku.

“Kamu cuma pengamen,” sahutnya.

“Setidaknya, pekerjaanku lebih halal dan hasilnya juga lumayan.”

Dia menangis tersedu-sedu. Aku paling tak tahan melihat wanita menangis, sehingga aku berkata, “Jadilah wanitaku.”

Kupeluk erat dirinya dan perlahan, kucium keningnya. Kulumat bibirnya dan kudekap dirinya lebih erat. Dia tak menolak dan balas memelukku erat. Aku bercinta dengannya. Dan kali ini, aku jatuh cinta juga. 

Pupan Raya, 04 Februari 2012

---

cerpen interpretasi ini dibuat sembari mendengarkan lagu:
Padi - Jangan Datang Malam Ini


Viewing all 246 articles
Browse latest View live