Quantcast
Channel: An Official Site of Ayu Welirang
Viewing all 246 articles
Browse latest View live

Kisah Epik Mahabharata

$
0
0
Putu Fajar Arcana
sumber gambar
Menyelesaikan satu kisah Mahabharata memang membutuhkan pemikiran yang jernih dan benar-benar tidak terkait dengan pikiran lain yang menggelayut dalam benak. Dan dari semua pengorbanan pengosongan pikiran itulah, kisah epik Mahabharata selesai dengan sempurna dan meninggalkan bekas-bekas dalam jiwa maupun raga. Berbagai bentuk kisah dari lakon Pandawa dan Kurawa, kerap kali disuguhkan melalui berbagai bentuk cerita. Tak jarang dari kisah-kisah itu yang menuai konflik sekaligus sarat makna. Salah satu kisah lelakon tersebut adalah kisah utama Dewi Uma dan Sahadewa yang digambarkan dalam novel besutan salah satu redaktur kompas Minggu, Putu Fajar Arcana.

Buku satu ini menjadi unik bukan hanya karena mengambil satu paham feminisme yang bisa ditarik dari satu tokoh dewi kahyangan, melainkan menjadi unik juga karena digambarkan dalam kisah yang melompat dan paralel. Di satu sisi, tokoh utama yang memiliki lakon dalam buku, berkisah lewat tembang-tembang yang dinyanyikan oleh seorang ayah pada anaknya di sepanjang perjalanan. Kisah menjadi satu fragmen, meski digambarkan dalam dua masa yang sudah jelas berbeda. Meskipun pada kisah si bapak dan anak itu digambarkan hanya dalam sehari semalam, kisah tokoh-tokoh yang familiar dalam wayang ini malah digambarkan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Sungguh paralel dan seperti berada dalam dua masa berbeda. Ini adalah salah satu nilai plus yang saya berikan terhadap buku.

Gandamayu
Dalam buku ini, kisah awal menggambarkan bingkai seorang dewi kahyangan yang akan diuji kesetiaannya oleh sang suami yang tak lain adalah Dewa Siwa. Dewi Uma--istri dari Dewa Siwa itu--akan diuji kesetiaannya selama menjadi istri. Maka, dengan berpura-pura sakit, Dewa Siwa memerintahkan Dewi Uma untuk mencari susu sapi di bumi dengan ciri sapi betina yang akan digembalakan oleh seorang pemuda. Dengan segenap kepatuhan, Uma yang taat akhirnya turun ke bumi. Di perjalanan, ia akhirnya menemukan susu sapi yang dimaksud dan pemuda itu meminta imbalan yang tak murah. Uma diminta untuk tidur semalam dengan pemuda itu yang tak lain adalah jelmaan Dewa Siwa sendiri. Setelah Uma mendapatkan susu tersebut, Uma kembali ke kahyangan tanpa mengetahui bahwa pemuda itu adalah jelmaan Siwa sendiri. 

Sampai di kahyangan, Uma memberikan susu pada Dewa Siwa dan sang dewa mempertanyakan darimana Uma bisa mendapatkan susu sapi betina. Uma tak kuasa berbohong pada suaminya dan ia katakan hal yang sebenarnya. Dewa Siwa dengan angkuhnya murka dan mengutuk Uma menjadi Batari Durga, ratu dedemit penguasa Setra Gandamayu. Tanpa mencoba mempertanyakan kesalahan, Uma menerimanya sebagai bentuk kepatuhan dan dikatakan bahwa ia akan kembali ke wujud semula dengan ruwatan dari seorang ksatria Pandawa.

Kisah pun berlanjut dan berganti bingkai. Kembali mengisahkan seorang ayah yang sedang nembang sebuah cerita tentang Dewa dan Dewi pada anaknya dari atas sepeda kumbangnya. Sang ayah yang mendapatkan pekerjaan untuk mengisi acara ruwatan untuk nembang, mengajak anaknya untuk turut serta. Dan sampai di sini, kisah kembali pada fragmen dimana Pandawa sedang kocar-kacir karena perang. Dewi Kunti sebagai ibunda dari lima Pandawa, dengan terpaksa memohon pertolongan pada Dewi Durga yang tak lain adalah Uma dengan wujud buruk rupa.

Dewa Siwa dan Dewi Uma (Durga)
sumber gambar

Kunti berlari tertatih menuju Setra Gandamayu dan disambut oleh Kalika, abdi setia Batari Durga. Setelah bertemu dengan Durga, Kunti menyatakan maksud kedatangannya dan disambut oleh Durga dengan tidak murah harganya. Durga meminta salah satu Pandawa untuk dijadikan tumbal dan Kunti tak mau menumbalkan anaknya sendiri. Karena menolak, dengan perintah Durga, Kalika merasuki tubuh Kunti dan Kunti kembali ke Indraprasta untuk membawa Sahadewa (Sadewa) ke tangan Durga.

Kisah berlanjut dengan disekapnya Sahadewa, dan mari kita lewat kisah berikutnya karena akan panjang sekali kalau saya teruskan. Hehehe. Akhirnya, Siwa yang sadar akan kesalahannya telah memperdayai istri sendiri, merasuki tubuh Sahadewa yang sudah di ambang kematian karena akan dilahap habis oleh Dewi Durga. Dengan merapal, Sahadewa menggumamkan mantra ruwatan dari Dewa Siwa dan seketika saja, Durga sudah kembali menjadi Dewi Uma. Setra Gandamayu berubah menjadi taman yang indah dan Uma memberi beberapa tugas pada Sahadewa sebelum akhirnya kembali ke kahyangan.

Pandawa Lima
sumber gambar
Kisah sudah begitu sarat konflik, ketika Sahadewa yang masih ksatria hijau atau 'anak bawang' itu diminta untuk meruwat beberapa orang yang akan ia temui di perjalanan, sampai akhirnya ia bisa mengalahkan Kalantaka dan Kalanjaya yang menjadi dua raksasa di bawah kubu Kurawa, musuh bebuyutan Pandawa yang nantinya akan berperang di Kuru Setra.

Dan kisah pun diakhiri dengan kalahnya Kurawa, dengan kematian dua raksasa. Raksasa itu pun berubah menjadi dewa. Ternyata, mulanya mereka adalah dewa yang dikutuk oleh Dewa Siwa. Dan dari serangkaian kisah yang tergambar, fragmen kembali pada kisah ayah dan anak yang telah selesai menghadiri acara ruwatan, dengan si anak yang tertidur di pangkuan ayahnya.

Anak itu bermimpi menjadi seorang Sahadewa, ksatria hijau yang gagah melawan dua raksasa. Orang di sekitarnya tertawa, dan ayahnya hanya meminta anak itu diam. Si anak pun mengambil beberapa hikmah dari apa yang dituturkan Sahadewa (yang saya kutip dari buku Gandamayu itu sendiri), "Kami antarsaudara terpaksa saling bunuh hanya karena kekuasaan. Itulah yang nyaris terjadi di setiap negara. Demokrasi yang sekarang menggejala, apakah benar akan mengantarkan manusia pada kesadaran untuk berhenti saling membunuh? Tidak juga. Di negeri seberang, di mana kudengar demokrasi diberikan begitu leluasa, malah kejahatan, pembunuhan, pemerkosaan terhadap perempuan, saling fitnah, saling rebut kekuasaan hampir terjadi setiap hari."

Kisah Mahabharata yang ada di buku ini mengambil sisi yang tak semua orang bisa punya pikiran ke arah sana. Kisah ini mencakup kisah humanis yang mencakup sisi seorang perempuan. Bagaimana perempuan direndahkan dan mencoba untuk setia sampai ke titik jenuh yang terdalam. Bagaimana seorang ksatria maupun dewa, masih punya pemikiran yang mengacu pada kesejahteraan umat manusia yang ada di bawah mereka, meski keseharian mereka diliputi hidup mewah, serba ada, dan makmur. Semua kisah ini seperti kisah nyata yang terjadi di sekitar kita, hanya saja mengambil penokohan dari pewayangan. Karena saya bisa membuat beberapa bagian cerita kalau harus menjelaskannya secara keseluruhan, lebih baik mencari bukunya sendiri karena buku ini recommended untuk dibaca oleh berbagai kalangan usia. [Ayu]


Judul: Gandamayu
Penulis: Putu Fajar Arcana
Penerbit: Kompas
Tahun Terbit: 2012
ISBN: 978-979-709-622-9
Halaman: 189 hlm + xv
Harga: Rp 35.000 - Rp 45.000 (lupa harganya)
Rating: 5/5
Review: http://www.goodreads.com/book/show/13484683-gandamayu

Hai Perempuan, Hidup Adalah Perjalanan

$
0
0

Buku ini selesai dibaca dalam sehari. Sebenarnya dua hari, tapi beberapa jam dalam sehari saja waktu yang saya butuhkan untuk menghabiskan buku ini. Kalau dihitung-hitung, mungkin saya membaca cuma 5 jam, lebih sedikit.

Cover buku
Buku ini sederhana, sesederhana kisah yang dituliskan penulis dalam buku. Kisah seorang perempuan patah hati yang mencoba untuk move on dan melupakan semua perasaan sakit yang dia alami, karena sang lelaki tertangkap berselingkuh di depan mata dengan klien sendiri. Oke, ini adalah kejadian patah hati yang cukup mainstream dan kerap terjadi dalam kehidupan sosial-percintaan. Saya sendiri tidak menganggap kisah patah hati sebagai kisah yang 'wow-gue-harus-salto' melainkan hanya maklum, karena hal seperti itu, saya pun pernah merasakan.

Yang digarisbawahi dalam buku ini adalah bagaimana seorang perempuan kota pada umumnya, mencoba melupakan kesakitan hati dengan tiba-tiba saja terjun ke dalam kondisi sosial yang serba berbeda dengan Jakarta. Diawali dengan tugasnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur, perempuan ini mencoba melebur jadi satu dengan anak-anak tak beruntung di camp pengungsi. Ditemani seorang pemuda berjiwa sosial tinggi, Dionysius Alexander, perempuan ini menyelami lika-liku kehidupan Timur yang tak tersentuh manusia di kota sana.

Berbagai kejadian dan pengalaman, mendewasakan Damai--perempuan yang kerap disapa "Ibu Guru Bunga" oleh para muridnya ini. Maka, tugas kantor pun tak bisa lagi menghalanginya untuk berpikir, bahwa Sekolah Damai dan murid-murid nakalnya telah berhasil mencuri hatinya. Menenggalamkan luka lama dan merasa bahwa bukan hanya dirinya seorang yang tidak beruntung. Masih banyak orang yang lebih tidak beruntung dibanding dirinya, yang hanya sekedar kehilangan pacar.

Seiring berjalan waktu, tugas kantor pun selesai dan sudah waktunya ia kembali menapaki Jakarta, kota bising yang tak bertegur sapa. Siapa sangka, kepergiannya yang berhasil membuat ia lupa masalahnya, malah mengembalikan kehidupan lamanya. Jambrong, kekasih yang mengkhianatinya, kembali di saat ia sudah bisa memaafkan. Dan untuk kali ini, dia harus memilih untuk mengarungi hidupnya tanpa Jambrong. Keputusan final sudah diberikan, dan semua pun lega.

Beberapa waktu setelah berbagai kejadian, Damai sudah kembali berada di Kupang. Menyerahkan seluruh hidup demi sosial. Melepas beban dan sepenuhnya belajar akan arti keikhlasan dan melepaskan. Damai sudah menjadi damai, di Sekolah Damai.

Dan kisah ini sangat keren kalau dijadikan sequel. Melihat Dion kembali dari studi sosialnya dan merengkuh Damai di Kupang, dalam pondok-pondok daun lontar penuh sapa, yang tak didapat di kota. [Ayu]

Judul: Istoria da Paz: Perempuan dalam Perjalanan
Penulis: Okke 'Sepatumerah'
Penerbit: Gagasmedia
Tahun Terbit: 2007
ISBN: 9797802078
Halaman: 218 
Harga: Rp 30.000-an (lupa harga aslinya, karena saya beli di bazaar murah :D) 
Rating: 3.5/5 
Review: http://www.goodreads.com/book/show/2945267-istoria-da-paz

Partikel dan Penasaran

$
0
0

Setelah gagal mendapatkan edisi Partikel gratis dari Leksika Kalibata City, saya mencoba untuk tidak penasaran dengan seri ke-4 dari serial Supernova ini. Saya membentuk benteng dalam kepala juga saku celana saya, agar tidak kebobolan dan wajib-fardu a'in untuk membeli buku ini. Nyatanya, godaan sebagai manusia selalu saja ada.

Supernova 4 - Partikel
Menemukan teman membeli buku ini, membuat darah saya mendidih. Saya memberangusnya dengan tatapan mengiba agar dipinjami buku, dan sukseslah buku ini saya perawani karena teman saya bahkan belum beres membaca seri satu sampai tiga dan belum sempat melucuti bungkus si buku sendiri.

Hari Minggu saya baca, awal cerita Partikel yang masih mulus bagai tol. Kemudian, bumbu-bumbu mulai disebar secara merata. Oh, buku yang pedas isinya! Pedas dan padat. Ibarat makanan, buku ini mengenyangkan dan memuaskan saya. Saya menyelesaikan santapan seberat ini hanya dalam dua hari. Kecepatan membaca saya tiba-tiba saja muncul, dan habislah buku ini dengan menyisakan segudang pertanyaan yang belum terjawab. Di mana ayah Zarah? Bagaimana kisah Zarah dan Paul? Bagaimana kisah Sarah--orangutan di Kalimantan? Dan rentetan 'Apa' juga 'Bagaimana' yang lainnya.

Secara keseluruhan, kisah bertumpu pada Zarah. Kisah penuh kejutan yang dialami Zarah, gadis muda biasa saja yang mendapat tugas tak biasa--menyelamatkan satu-satunya penyeimbang ekosistem bumi, yang diteliti ayahnya di Bukit Jambul.

Berbagai kejadian pun dialami Zarah, dalam upaya pencarian ayahnya. Semakin ia berlari, mencari, semakin ia jauh menelusup misteri. Dan dari begitu banyak kejadian, pada akhirnya, ia kembali ke Indonesia, ke 'rumah' yang tak ia temukan dalam pelarian.

Namun, sampai akhir cerita, ayahnya belum juga ditemukan. Di situlah saya mengakhiri bacaan saya. Masih menyisakan tanya. Menurut saya, secara garis besar, buku ini mampu menikam sekaligus menyihir pembaca untuk mendapatkan suatu pemahaman 'kalau-nggak-beres-baca-hari-ini-bisa-panas-dingin'. Begitulah kira-kira.

Sementara Elektra dan Bodhi dipertemukan, saya dibuat kesal setengah mati oleh Mbak Dee, yang membuat saya harus menunggu beberapa waktu lamanya sampai Supernova Gelombang, mencuat ke permukaan. Semoga tak lama. [Ayu]

Judul: Supernova 4 - Partikel
Penulis: Dewi 'Dee' Lestari
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2012
ISBN: 978-602-881-174-3
Halaman: 508 
Harga: Rp 79.000,- 
Rating: 5/5 

Kemamang: Antara Sci-Fi dan Mitos Daerah

$
0
0
Cover Kemamang
Akhirnya, setelah perjuangan berat untuk menyelesaikan buku yang tidak begitu tebal, kemarin malam saya berhasil menyelesaikan buku berjudul Kemamang, karya Koen Setyawan. Entah kenapa, fase membaca buku ini terlampau lama. Saya kira bisa selesai dalam sehari, tapi ternyata saya merasa cepat bosan dengan buku ini. Padahal, pembahasan buku ini hampir sama seperti Partikel-nya Dewi Lestari yang lebih tebal dan bisa saya selesaikan hanya dalam empatbelas jam saja. Buku yang memuat tentang UFO dan evolusi makhluk prehistorik yang berkembang secara tidak terkontrol sebagai hewan riset, malah membuat saya bosan. Di mana letak kesalahannya?

Buku ini saya dapatkan di basement Blok M Square, di mana kita bisa mendapat buku-buku murah dengan beragam jenis. Hehehehe. Sama halnya seperti Kwitang atau Senen, di Blok M kita bisa mendapatkan buku apa saja. Ketika sedang mengantar teman membeli kamus, tiba-tiba saja saya melihat buku ini di antara tumpukan buku lain. Tanpa pikir panjang, saya membelinya dan berniat membacanya setelah menyelesaikan Partikel.

Selesai membaca Partikel, saya segera membukanya. Namun, entah kenapa saya merasa kehilangan semangat ketika membaca kisah bagian tengah. Bagian awal masih bisa ditolerir. Saya menyukai kegiatan ekspedisi hutan dan dengan sukses bagian awalnya membawa saya ke bagian berikutnya. 

Mulai di tengah cerita, agaknya kisah pencarian Harimau Jawa yang dilakukan oleh dua orang mahasiswa, malah lari kemana-mana. Sebenarnya, kisah utama memang tentang UFO. Tapi, sebaiknya cerita tengan Harimau Jawa, tidak perlu diekspos begitu jauh, karena nantinya malah akan kehilangan jejak kalau tiba-tiba dua mahasiswa itu malah mengungkap misteri UFO dan melupakan pencarian Harimau Jawa.

Koen Setyawan dengan background buku pertamanya:
Giganto: Primata Raksasa di Jantung Borneo
Konflik dimulai dari tengah, ketika dua orang mahasiswa itu melihat cahaya di sekitar Danau Bakalan, lereng Gunung Lawu. Mereka melihat cahaya dan merasa kehilangan waktu. Keesokan harinya, mereka mendapati diri mereka tertidur di rumah singgah yang disediakan oleh Kades. Mereka pun merasa aneh dan memutuskan untuk kembali ke danau itu. Ketika kembali, mereka mendapati hal lain. Warga desa sedang gencar-gencarnya ronda karena banyak hewan ternak dan anak-anak kecil yang hilang. Maka, dua mahasiswa yang bernama Hari dan Panji ini, ikut warga mencari anak-anak.

Tak lama, mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Hari meyakini bahwa Kemamang cahaya itu adalah UFO yang hendak melindungi mereka dari bahaya sebenarnya. Belakangan, diketahui Hari dari Kemamang UFO itu, bahwa Danau Bakalan telah menjadi habitat hewan prehistorik yang sedang dikembangkan oleh para UFO dan terjadi mutasi yang tidak terhenti.

Singkat cerita, para hewan itu mulai berevolusi menjadi makhluk yang lebih besar dengan kepintaran luar biasa. Para "Kemamang" atau UFO, melakukan berbagai cara untuk menghalaunya. Hari dan Panji berada dalam suasana genting, antara menyelamatkan nyawa sendiri atau nyawa seisi desa. Dan ketika banyak korban yang sudah bergelimpangan, akhir cerita buku ini sangat tidak sesuai dengan ekspektasi saya.

Ending buku ini seperti menukik tajam. Tidak ada anti-klimaks dari konflik dan tiba-tiba saja, dengan tidak bisa diprediksi, si hewan mutasi yang buas itu tiba-tiba saja mati kaku di depan Hari, Panji, Pak Kades, Mijan, dan gadis kecil yang sempat diculik. Selesai membacanya, saya masih berpikir. Kok bisa? Kok gini? Kok gitu? Kok dan kok lainnya. Ya begitulah, akhir dari buku ini yang membuat saya masih bingung sampai sekarang. Hahahaha. Memang, dijelaskan oleh si UFO kalau hewan itu menghancurkan dirinya sendiri.

"Agupta chezeni menghancurkan dirinya sendiri."

Dan setelah itu, desa kembali aman tentram damai. Setelah sekian lama dibalut kengerian, kenapa bisa secara tiba-tiba jadi tenang. Sungguh tidak masuk akal sih. Tapi, secara keseluruhan, buku ini sudah secara berani mengungkap tentang fenonema "benda langit" yang tidak teridentifikasi sampai sekarang. Yaaaa, cukup menghibur lah buat saya. Bagi yang penasaran, sila beli bukunya di toko buku terdekat anda! Selamat membaca dan berekspektasi seperti saya! :D [Ayu]

Judul: Kemamang
Penulis: Koen Setyawan
Penerbit: Goodfaith
Tahun Terbit: 2009
ISBN: 9786029600001
Halaman: 317 
Harga: Rp 35.000-an (lupa harga aslinya, karena saya beli di bazaar murah :D) 
Rating: 3/5 
Review: http://www.goodreads.com/book/show/7405775-kemamang

Keajaiban di Pasar Senen

$
0
0
almarhum Misbach Yusa Biran
Kalau tidak salah ingat, saya pernah punya janji untuk mengisi blog ini lagi dengan ulasan buku. Dan kalau tidak salah ingat juga, saya pernah berjanji di tulisan sebelumnya kalau saya akan mengulas tentang buku yang memotret kehidupan seniman jadi-jadian di sekitar Pasar Senen, pada tahun 1950-an yang sudah lalu. Berhubung hari ini sedang ingin menulis, mungkin akan saya munculkan sedikit cerita tentang seniman Senen yang dipotret dalam tujuh belas cerpen garapan Misbach Yusa Biran.

Awalnya, tak banyak kisah yang diceritakan oleh Misbach Yusa Biran. Almarhum Misbach diminta menulis tentang kehidupan di Pasar Senen berikut senimannya atas usul seorang kawan dari sebuah majalah. Ketika tulisannya naik ke redaksi, ternyata tulisan itu hanya jadi semacam pengisi ruang kosong di majalah itu saja. Tapi, tanpa disangka-sangka, kisah yang ditertawai Misbach itu, rupanya ditertawai juga oleh para pembaca. Karena hal itulah, Misbach mulai giat memotret kisah para seniman Senen yang menamai diri mereka "Anak Senen" dalam cerita bersambung dalam suatu majalah.

Beberapa pembaca yang suka menginginkan cerpen itu dibukukan. HB. Jassin pun begitu. Jassin menginginkan tulisan Misbach menjadi sebuah buku yang utuh, dengan cerita-cerita pendek yang dikumpulkan dalam satu wadah. Tapi, karena belum sempat juga, akhirnya Ajip Rosidi yang mulai berinisiatif untuk mengumpulkan remahan cerpen Misbach dan sekarang sudah dicetak ulang dalam bendera KPG - Kepustakaan Populer Gramedia.

Cover cetakan baru oleh KPG
Kumpulan cerpen berjudul "Keajaiban di Pasar Senen" ini memotret kehidupan sederhana dari para pemuda yang memberi label diri mereka sebagai seniman. Entah karena memang seniman atau hanya karena ikut-ikutan saja. Meski begitu, para seniman dan seniman gadungan ini memang sudah membentuk atmosfir yang berbeda di Senen. Tempat mangkal mereka yang utama ada di sudut-sudut terminal, di rumah makan Padang "Ismail Merapi", di kedai kopi kecil "Tjau An", di bioskop Grand, dan di tukang kue putu dekat pangkalan bensin.

Seniman-seniman ini seringkali berkumpul, mengobrol sampai pagi hanya untuk berbagi kopi kecil. Banyak juga dilema yang terjadi di antara seniman, mulai dari dilema percintaan sampai kurangnya uang untuk makan. Misbach Yusa Biran menggambarkan kisah mereka secara nyata, penuh humor dan juga romantisme. Sebagai contoh saja, kisah seorang seniman yang belum juga mendapat honor atas karyanya, minta ditraktir kawan yang juga seniman dan sama-sama seadanya, pada sebuah cerpen berjudul "13 Kopi Kecil dan Asap Rokok." Jadilah, si seniman kurang uang ini seharian hanya minum kopi kecil dan memasukkan asap ke kerongkongan dan paru-paru hingga keesokan harinya, perutnya mulas tak karuan.

Ada juga kisah tentang seorang tukang cukur yang terlalu sering nongkrong bersama seniman, sampai membuat model rambut yang tidak-tidak. Dia berkata, "Aku sudah memilih, aku harus mencipta dalam bidang yang aku geluti, ya. Cukur rambut!" Dan dia berhasil membuat tokoh "aku" dalam cerpen berkata, "Andaikata jumpa pacar saya, tolonglah!" Kisah seniman satu ini ada dalam cerpen berjudul sama, "Andaikata jumpa pacar saya...tolonglah!"

Banyak juga kisah seniman-seniman lainnya. Seperti seorang Rebin yang bersikeras ingin menjual lukisan abstraknya yang tak bernilai seni sama sekali. Kisah tentang seniman yang membutuhkan uang sampai harus memeras kepala redaksinya dengan pintar sekali dan kisah-kisah lainnya.

Yang jelas, tujuh belas cerpen dalam buku ini telah membuat saya tertawa sekaligus menerbangkan imaji ke tahun 1950-an dimana Pasar Senen masih menjadi pusat seniman yang sangat nyaman, sebelum akhirnya Ali Sadikin memindahkan geliatnya ke Taman Ismail Marzuki.

Yang disayangkan, kalau saat ini kita pergi ke Senen, mungkin sudah tak kita dapati lagi sisa-sisa romantisme para seniman itu, karena mereka pun sudah tak terdengar lagi kabarnya. Sudah hilang, digerus waktu dan zaman. Jakarta sudah tak seromantis dulu. Maka, jika ada yang berminat menyesap sedikit saja aroma kopi kecil dan kue putu langganan para seniman Senen tahun 50-an, ada baiknya membaca pelan-pelan tujuh belas cerpen dalam buku ini. Niscaya, kerinduan akan Jakarta yang romantis, akan terobati (walau hanya sementara saja). [Ayu]

Judul: Keajaiban di Pasar Senen
Penulis: Misbach Yusa Biran
Penerbit: Pustaka Jaya
Tahun Terbit: 1971 (cetak ulang 2008)
ISBN: 9789799101297
Halaman: 177 
Harga: Rp 40.000 
Rating: 4/5 
Review: http://www.goodreads.com/book/show/5465395-keajaiban-di-pasar-senen

Kubah, Gagasan Besar Rekonsiliasi Pasca 1965

$
0
0
Ahmad Tohari
Baru-baru ini, saya menyelesaikan sebuah buku yang entah kenapa bisa menarik hati saya waktu itu. Buku ini adalah hadiah, bersama dengan satu buku lain yang mengangkat tentang feodalisme Jawa. Ketika itu, saya bingung memilih buku, sehingga orang yang bersama saya menawarkan saya untuk membeli keduanya. Ini sudah jelas traktiran, traktiran buku. Hehehe.

Buku hadiah yang pertama saya buka adalah buku Kubah karya Ahmad Tohari. Buku yang sempat mendapatkan penghargaan di tahun 1981 ini rupanya telah dicetak ulang oleh Gramedia. Dan saya membaca buku ini di cetakan baru. Saya rasa tidak banyak perubahan, selain tata bahasa yang disusun mengikuti zaman.

Kisah yang dihadirkan dalam Kubah bukan kisah baru yang berbeda. Ahmad Tohari menggambarkan kisah seorang kader komunis dengan mengambil beberapa kejadian sosial yang ada di desa-desa tak tersentuh. Seperti Ronggeng Dukuh Paruk yang mengambil kisah seorang Ronggeng, Kubah pun mengambil latar di sebuah desa dengan kondisi sosial dan agama yang harmonis namun kadang penuh kepalsuan. Seorang Karman, lelaki yang dibesarkan dalam kondisi sosial ekonomi yang kurang, nyatanya harus bergelut dalam kehidupan, antara dendam dan pilihan. 

Kisah dalam buku dibuka dengan perjalanan Karman menuju Pegaten, pulang dari pengasingan di Pulau Buru. Satu per satu bingkai hidup mulai tertata dengan sendirinya, Pegaten sudah banyak berubah. Namun, keraguan Karman untuk kembali ke kampung halaman yang membesarkannya itu tidak berubah sama sekali.

Dari situ, bab berikutnya mundur ke masa awal di mana Karman masih kecil. Hidup Karman tanpa ayah dan harus menjalani segalanya dengan sulit. Sampai Karman dewasa, Karman malah menjadi salah satu pemuda yang dilirik oleh partai komunis saat itu. Karman menjadi calon komunis, kader komunis. Semua pemahaman Karman akan strata sosial makin menjadi ketika Haji Bakir menolak Karman jadi menantu. Ini menambah dendam Karman dan dari bab ke bab, kita bisa membaca bagaimana proses Karman menjadi seorang komunis.

Kubah dan Kopi Kecil :D
Menuju akhir kisah, alur kembali maju. Setelah berjalan pada masa lalu dan penangkapan Karman untuk diasingkan ke pulau Buru, kisah kembali pada awal ketika Karman sedang melangkah keluar dari dinding beton di pengasingan. Karman kembali ke kampung halaman dan keluarga sudah menyambut. Akan diadakan syukuran kecil-kecilan, di mana Karman harus menempuh realita bawah istri Karman sudah dipinang lagi oleh lelaki lain. Karman sedih, meski tak seharusnya. Dan kisah pun berakhir dengan martabat Karman yang sudah kembali. Orang Pegaten mendapatkan Karman kembali, komunis tak ada lagi.

Kira-kira, buku ini cocok bagi mereka yang mau melihat seluk beluk sisa-sisa komunis. Bagaimana mereka orang komunis yang terasing, harus mengembalikan martabat mereka. Komunis-komunis itu pada awalnya pernah memiliki keyakinan yang satu terhadap Tuhan, sebelum akhirnya menjadi kader partai dan disusupi pemahaman yang menjauhkan dirinya dari rahmat. Dan buku ini cocok untuk mengembalikan pemahaman bahwa tak selamanya komunis itu buruk, demikian pula sebaliknya. Tak selamanya tuan tanah itu selalu jahat, karena ada pertimbangan-pertimbangan yang mengharuskan mereka melakukan hal itu, setidaknya itulah yang tertanam dalam buku ini. Masalah bagaimana kondisi tuan tanah di luar sana, itu urusan yang berbeda. [Ayu]

Judul: Kubah
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1980 (cetak ulang 2005)
ISBN: 9789796051762
Halaman: 189
Harga: Rp 38.000 
Rating: 4/5 
Review: http://www.goodreads.com/book/show/2851991-kubah

Arsip Novel Pertama, Tujuh Divisi Untuk #PSA2

$
0
0
Yeay!

Akhirnya, perencanaan novel Tujuh Divisi sejak bulan Desember 2011, bisa selesai di tahun ini. Dengan banyak pertimbangan dan edit sana-sini, akhirnya saya menyelesaikan draft novel pertama saya. 

Berhubung saat ini, Grasindo sedang membuka event kepenulisan, pertama-tama saya akan mencoba peruntungan untuk draft novel ini di acara Grasindo yang ini, yaitu Grasindo "Publishers Searching for Author 2" atau yang biasa disingkat #PSA2. 

Setelah sukses dengan event #PSA1, maka Grasindo mengadakan lagi acara yang sama, dengan tema "Novel Rasa Indonesia". Nah, selengkapnya ada di gambar berikut:


GRASINDO PSA2

Nah, setelah menyelesaikan penggarapan naskah selama setahun lewat, akhirnya saya benar-benar menyelesaikannya di hari ini, lengkap dengan sinopsisnya. Dan rasanya campur aduk. Rupanya begitu ya rasanya jadi penulis, sehari-hari curi waktu menulis di kala kerja, atau mengambil waktu tidur untuk menulis. Atau bahkan, menulis saat makan siang. Pokoknya, menulis terus sehingga tak ada celah untuk serangan writer's block. Hehe. Sebab, rasanya kalau sedang WB itu, ide lari entah ke mana.

Tapi, dengan semangat dari Abang (cieeee), saya akhirnya melanjutkan novel ini. Dan hari ini, saya menyelesaikannya dengan mendapatkan 163 halaman, 48.427 kata. 

capture novel :D

Sebenarnya, target penulisan itu ingin saya tembus sampai 50.000 kata, seperti yang seharusnya dilakukan oleh novel ini pada #J50K, event Kampung Fiksi yang saya ikuti pada Januari 2012. Tapi, memang tidak berjodoh dengan 50K, maka saya putuskan untuk melanjutkan novel ini sampai benar-benar menemui ending. Tak jadi soal berapa jumlah katanya, saya tetap tutup seperti yang saya lakukan saat ini.

Dan inilah hasilnya, jabang bayi yang kelak lahir, dengan doa. Dan bantulah saya berdoa, agar naskah ini lolos dan bisa lahir ke dunia.

Amin.



Fantasmagoria dari Naga yang Berbicara

$
0
0
Sumber Gambar
Saya menulis ini di media blackberry. Gila bukan? Atau biasa saja? Ya, saya tidak menuliskan ini di komputer, laptop, dan semacamnya karena sampai saya mengirim ini ke khalayak maya, saya tidak sedang berada di depan komputer kesayangan saya. Hasrat untuk bercerita tentang buku yang mengubah hidup sangatlah kuat, sehingga saya harus segera menuliskannya sebelum hal itu menghilang dari benak. Setidaknya, esok pagi saya masih bisa membereskan tulisan yang berantakan di kantor.

Buku pertama yang jadi segalanya adalah salah satu buku yang ditemukan secara tak sengaja di kedai kopi yang merangkap rumah buku mini. Buku ini mungkin sudah terabaikan begitu lama. Tak tersentuh. Niat saya waktu itu memang mencari buku Ayu Utami, namun saya seperti terhipnotis ketika membaca sisi buku yang berjudul "Cala Ibi". Buku yang sampulnya abstrak dan tidak jelas bergambar apa, seperti memanggil saya dan meminta pertolongan. Dia memanggil, dan saya mengambil.

Buku ini semacam perjalanan. Saya berjalan untuk membaca dan paham akan isinya yang "di luar nalar" namun berhias diksi puitik. Pun dengan tokoh utama bernama Maya Amanita, yang kerap kali berjalan di alam bawah sadar, mengunjungi rumahnya nun jauh di sana, di Halmahera. Dalam perjalannya, Maya menunggangi seekor naga yang berbicara, yang bercerita tentang sejarah tempat lahirnya. Saya berjalan tertatih, sementara Maya terbang dengan naga.

Dalam perjalanan itu, saya ikut masuk ke dalam dunia mimpi Maya, yang bias antara maya juga nyata. Tapi, sesungguhnya pada saat itu yang saya lakukan bukanlah berjalan membaca, melainkan beberapa kali diam untuk memaknai isi pesan-pesan tersirat dari tiap diksi puitik Nukila Amal--sang penulis. Saya berusaha memahami apa yang hendak disampaikan olehnya, meski pada akhirnya saya pun gagal memaknainya.

Nukila Amal sukses membuat saya menari-nari dalam kepala Maya Amanita, atau malah tokoh fiktif itu yang menari di dalam kepala saya? Saya sungguh tak habis pikir, benarkah ada kehidupan "yang mati dan yang fana"di dalam diri tiap manusia? Benarkah bisa sebegitu hebatnya fantasi sebuah mimpi? Saya pun jadi de javu, sebab saya pernah menemukan sejarah hidup yang lahir bukan dari fakta, melainkan dari dalam sebuah mimpi asali yang benar-benar tak jelas batas antara keaslian atau kefanaannya. Tapi, berkat Nukila Amal, saya jadi mengamini, bahwa tak ada yang benar-benar bisa membagi antara batas maya atau nyata. Di sini, Cala Ibi--nama sang naga--membawa kita pada eksistensi diri kita sendiri, melalui mimpi asali. Bahkan, kesendirian yang saya rasakan di ibukota, seperti dijelma dari kesendirian Maya Amanita. Mereka yang sendiri, mereka yang kerap mimpi.

Perjalanan saya dengan Cala, sang naga yang berbicara rupanya tak sampai di situ. Di tengah-tengah perjalanan, saya menemukan pilihan. Ke mana saya harus melanjutkan perjalanan? Apakah pulang dan menerima eksistensi saya sebagai seorang anak dari seorang ibu dan ayah ataukah melanjutkan hidup di belantara kota? Di sini Cala membingungkan saya, sama seperti Maya atau Maia atau siapalah itu namanya. Dan ketika pilihan sudah saya temukan, saya malah tak benar-benar menemukan pilihan nyata, karena sekali lagi, semuanya bias.

Ketika saya mengerucutkan pilihan, rupanya sang naga yang menjadi tuhan dalam cerita, membawa saya ke kenyataan yang lain. Dia malah dengan berani menasehati saya, "Cerita selalu bisa berubah", katanya berkali-kali. Dan dia malah menasehati saya dengan teori-teorinya yang jelas tak saya mengerti. Dia malah berkata, "Kau tak usah berkutat menceritakan kenyataan, karena... realisme menyesaki yang nyata, penuh dengan kata-kata nyata, dengan bahasa yang menuding-nuding hidung realita. Yang nyata berubah dalam penceritaan." (hal. 73).

Maka bukan saya yang menuding realita dan labirin hidup, melainkan Cala yang menuding hidung saya. Tak perlu berkelindan dalam labirin karena katanya frustasi lebih mudah muncul jika kita memaknai buku ini secara rasional, mencari yang ada, atau bahkan mencari yang tak ada. Selebihnya biarkan Cala membawa saya, atau mungkin kita, untuk ikut berjalan-jalan. Sejenak duduk di atas punggungnya tak masalah, anggap saja seperti naik kuda. Dan sampai akhir cerita, saya bahkan ingin mengulang perjalanan, kalau bisa. Saya ingin berada di atas punggung Cala lagi, berkeliling Indonesia dalam mimpi asali yang membawa saya ke sebuah masa lalu. Masa lalu yang mungkin benar, atau bahkan tidak benar. Atau bahkan... saya yang akan mempertanyakan eksistensi saya sendiri. Apakah saya yang membaca Cala Ibi adalah MAYA? Ataukah saya adalah jelmaan Maia yang bias antara kenyataan dan kefanaan?

Entah... 

Kesendirian ini, rupanya sangat penuh... jika hari-hari dibiarkan mengalir, bagai duduk di punggung naga yang bercerita. Seperti melayang pada fantasmagoria. Mimpi asali, fantasi khayali.

Notes, Teman Terbaik Dalam Genggaman

$
0
0
Saya ingat ketika SD, saya tak begitu populer. Bergaya tomboy dengan mulut yang selalu menggonggong. Terlebih lagi, tulisan saya tak indah seperti tulisan perempuan lain di kelas. Meski begitu, Ibu Guru sering berkata, kalau saya kelak akan lebih menonjol dari yang lain. Lebih cerdas. Dan saya terus mengamini itu dalam hati, meskipun tak banyak anak seusia itu yang mengerti apa artinya 'amin' dan apa artinya berdoa.

Yang saya mengerti, berdoa dan mengamini selalu saya tuliskan dalam buku kecil, pemberian Ibu sewaktu saya memenangkan lomba calistung dan IPS tingkat SD. Saya senang bukan main, sebab bukunya tak begitu banyak ornamen. Buku kecil saya tak seperti buku-buku anak perempuan lain, yang kertasnya warna-warni dan sayang sekali jika dicoreti dengan tulisan tangan saya yang berantakan. Tapi, dari sana saya belajar bersyukur, berdoa, dan mengamini. Sebab, di setiap tulisan jelek saya, ada teman yang menemani. Entah spirit apa yang bertengger di kedua bahu saya, sehingga ketika saya menulis sesuatu, tulisan itu seperti hidup. Mungkin ini fantasi, mungkin ini tipuan alam bawah sadar. Tapi, siapa yang peduli? Toh, saya hanya anak kecil yang senang menulis. Tak tahu apakah tulisan itu bisa menjelma jadi sesosok gajah, ketika saya menulis gajah. Dan mungkin menjadi harimau yang kelak memakan teman-teman saya, ketika saya menulis deskripsi, "Harimau itu kelak marah dan memakan teman-teman yang mengucilkan si gadis rambut jagung di pojok kelas." 

Begitulah saya bermain dengan sisi paling maya dalam hidup saya. Memulainya sejak SD, menulis apa saja dari buku kecil pemberian Ibu. Buku kecil inilah yang kelak sampai saat ini menjadi teman terbaik yang bisa selalu saya genggam. Ketika di suatu tempat, ketika berpergian, bahkan ketika saya sedang tak melakukan apa-apa. Buku kecil ini selalu setia. Saya menamainya notes saja. Ya, si notes, seperti yang penulis-penulis sukses biasa lakukan. Seperti Jack Kerouac yang menuliskan catatan perjalanannya ketika musik Jazz berkembang di kalangan kulit hitam, yang membantunya melahirkan 'On the Road'. Juga seperti Soe Hok Gie, yang kelak menjadikan 'Catatan Harian Demonstran' sebagai buku yang inspiratif, padahal ia menulisnya secara reguler, di dalam sebuah buku catatan tua yang lusuh.

Saya ingin begitu. Saya mudah lupa dan reaktif. Seperti tak ada teman bicara kalau sendiri. Maka, saya berbicara pada buku kecil itu. Sudah berlembar-lembar. Sudah lusuh dan perlu teman baru. Maka, sampai saat ini, saya malah mengkoleksi macam-macam notes mini. Berbagai ukuran, berbagai ketebalan dan multifungsi. Saya tak melulu mengisinya. Kadang, saya hanya mencorat-coret badan notes saya. Kadang, saya membuat gambar dan kadang hanya menulis abjad. Dalam notes ini pulalah lahir kerangka-kerangka ketika saya sedang berkontemplasi, karena kadang, ide-ide tak mau mengerti apa yang namanya teknologi. Maka, sejenak saya tinggalkan blackberry dan notes yang ada pada Shakira saya, lalu beralih pada notes yang sebenarnya. Notes dengan wajah biasa saja, namun dapat menampung seluruh keluh kesah saya tanpa mengeluh. Ya, tanpa keluh, tanpa peluh.

Saya senang, notes pun tersenyum. Ia merasa penuh. Saya yakin kalau ia makhluk yang hidup, ia akan merasa penuh. Seluruh...

Di dalam notes saya, selalu tertulis pesan yang digenggam juga oleh orang lainnya yang gemar menulis dan membaca. Pesan seorang Pramoedya. Beliau berkata, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Dari sana saya selalu berusaha untuk menuliskan sekecil apapun kejadian ke dalam notes. Biasanya, saya hanya membawa satu notes utama yang berfungsi untuk penulisan kejadian-kejadian kecil. Rasanya masih tak familiar kalau harus menulis detail seperti itu di sebuah smartphone yang nyatanya tidak pintar-pintar amat. Alasan hang atau alasan 'kehilangan momen' adalah resiko yang bisa saya dapatkan jika saya melupakan si notes dan kawan-kawannya. Penulisan konvensional, bagi saya masih menjadi barang yang paling favorit. Jadi, saya selalu membawa teman saya di genggaman.

Dan dari sanalah saya belajar membaca. Saya tak hanya menulis, tapi juga membaca. Membaca kisah masa lalu yang bahkan saya sendiri sering melupakannya. Namun, notes telah menjadi teman yang mengingatkan saya, bahwa saya pernah mengalami kondisi tertentu.

Maka, memang benar adanya kalau saya bekerja untuk keabadian. Keabadian memori yang saya tulis sendiri, yang mungkin kelak akan terpatri pula di benak tiap-tiap orang. Kita tak pernah tahu bukan, kapan kita menjadi seseorang yang berpengaruh seperti para penulis-penulis itu? Dan kita tak pernah tahu juga, bisa saja notes sederhana kita lah yang jadi penentu sebuah sejarah. Sebab di sana, tulisan kita selalu jujur, tak mengada-ada.

[Ayu]


Kontemplasi Dua Kartini Masa Kini

$
0
0
Saya tak pernah bertemu buku yang isinya santai, tapi pembahasan yang ia munculkan begitu penuh. Mungkin, penulisnya menerapkan ilmu padi, bahwa semakin berisi ia, maka akan semakin merunduk. Bahasa yang disuguhkan Sammaria, dalam bukunya yang tak begitu terdengar di telinga para pembaca, sesungguhnya telah membuat saya mengamini, kalau pembahasan serius bisa juga hadir dari humor-humor kecil dan pembahasan sederhana.

pic from JBC
Buku ini berjudul "Kartini Nggak Sampai Eropa". Saya pernah menuliskan ulasannya di situs Jakartabeat.Net, dengan judul yang sama. Saya merasa, buku ini seperti representasi Kartini, ketika berkirim surat dengan kawannya di Eropa sana. Bedanya, dua tokoh sentral dalam buku ini berkirim surat melalui surel atau surat elektronik yang lebih kita kenal dengan sebutan email. Dan dua tokoh ini sempat menjejakkan kaki di Eropa, yang mana tidak dilakukan Kartini karena budaya keluarga ningratnya. Maka dari itu, saya mengambil kesimpulan bahwa buku ini hendak mengupas sisi pemikir Kartini lewat tokoh Anti dan Tesa, dua tokoh anti-tesis yang sangat cocok untuk disandingkan sebagai sahabat.

Ibarat Anti dan Tesa, saya juga banyak mempertanyakan apa saja. Baik masalah moral--moral mana yang dipertanyakan? Baik masalah agama, sosial, pemerintahan busuk, dan lain sebagainya. Lewat buku ini, saya seperti berdialog dengan kedua tokoh itu. Saya mencoba untuk berdiskusi dengan mereka berdua, lewat media ini. Ya, mungkin ini adalah buku lainnya yang membuat saya berpikir, "Apakah tokoh dalam buku itu sebenarnya hidup juga di dunianya?"

Ingat kan? Bagaimana Sophie dalam Dunia Sophie mencoba berpikir dan terus mempertanyakan eksistensinya? Bedanya, saya mempertanyakan eksistensi dua tokoh ini, di dalam buku. Dan saya akan sangat berbahagia jika keduanya bisa hidup dalam dunia nyata.

Betapa tidak, di usia yang begitu muda, mereka berdua berusaha memberikan kontribusi pada negara mereka pasca kepulangan mereka dari Eropa. Tesa mencoba untuk berkontribusi di bidang arsitektur, membuat arsitektur yang ramah pada manusia kota, baik yang berada di kelas bawah sampai kelas atas. Dan Anti, saat ini sedang berusaha menyelesaikan studinya di Perancis.

Keduanya banyak bertanya dan keduanya memperkaya pengetahuan saya tentang apa saja. Di balik pertanyaan mereka yang mungkin tak akan pernah terjawab, mereka sebenarnya ingin memberitahu apa yang mereka ketahui, pada para pembaca termasuk saya. Saya pun ikut dalam penjelajahan mereka di Eropa, sambil mempertanyakan apa saja yang ingin dipertanyakan. Dan dari sana, saya maklum, saya mengerti alasan Sammaria memberi judul novel ini dengan embel-embel Kartini. Sesungguhnya, isi buku ini memang gambaran Kartini abad 21 yang gemar bertanya.

Sayang sekali, penjelajahan saya harus terhenti tatkala penulis bertindak sebagai Tuhan. Ia mematikan tokoh Tesa dalam bom Bali 2008, sehingga hanya menyisakan tangis Anti yang tetap berada di Eropa. Berkirim surat sendiri, tak ada teman. Andai saya bisa berada di dalamnya, mungkin akan saya lanjutkan balasan surat yang tersisa.

[Ayu]


Bolehkah Saya Jadi Bojonya Brojo?

$
0
0
Kalau ada yang bisa membuat saya punya suami dua, mungkin Arswendo-lah biang keroknya! Pasalnya, saya terdoktrin, bukan didoktrin. Hahaha!

gambar dari sini
Buku ini mungkin sebagai sebuah media bagi Arswendo untuk menyalurkan hobinya ketika di penjara. Banyak penulis yang bisa dengan santai menikmati situasi di dalam penjara, berikut preman-preman dan kroco-kroconya yang kadang mencuri makan siangmu, lalu menghajarmu hingga babak belur padahal bukan kau yang salah. Kira-kira, hal seperti inilah yang coba ditepis oleh Arswendo Atmowiloto ketika novel ini lahir.

Projo dan Brojo menceritakan dua orang yang bertukar posisi, di mana Projo adalah terduga koruptor yang sedang berusaha membersihkan nama, sedangkan Brojo adalah seorang tambal ban yang berusaha menghidupi istrinya di desa.

Sungguh lucu! Ketika Arswendo membawa saya pada kehidupan politik nan puitik, penuh intrik. Saya awalnya tak tahu, bagaimana sebenarnya rupa para penjahat kerah putih itu, dan bagaimana kehidupan kekeluargaan mereka. Ternyata, di balik kerah baju yang selalu rapi disetrika, masih ada sedikit noda dan kusutnya. Arswendo mencoba memunculkan sisi humor sebuah penjara, ketika penjara bukan lagi menjadi tempat yang menakutkan, melainkan seperti kamar kost perempuan simpanan. Si Projo bisa keluar masuk dengan senang hati, sementara Brojo berada di dalam untuk menggantikannya ketika Projo terakhir kali keluar.

Dan semuanya disuguhkan dengan begitu mengalir. Bahasanya tak susah. Buat tukang tambal ban ya bahasa mereka saja. Dan buat penjahat kelas kakap, ya bahasanya harus yang sepadan. Kira-kira, seperti itulah Arswendo mencoba bercerita. Lucu, saya nyaris terjungkal karena mendapati beberapa kisah epic dalam buku.

Rupanya, kelindan kehidupan Bapak-Bapak kerah putih itu tidak melulu enak. Rupanya, perempuan simpanan bukan perhiasan, melainkan hanya pemanis buatan. Hahaha! Saya saja bingung, Projo bisa-bisanya malah senang dengan istri orang--istri Brojo--hanya karena menilai keluguannya. Tapi memang sang istri orang desa, makanya Arswendo menampilkan istri Brojo dengan apa adanya. Biar lugu, tapi jujur! Kira-kira begitulah Arswendo memunculkan tokoh-tokoh.

Makanya, buku ini jadi satu-satunya buku yang membuat saya menginginkan sosok Brojo, pun Projo. Kalau saya jadi istrinya Brojo, mungkin saya akan melakukan hal yang sama. Saya menemani Projo tanpa melakukan apa-apa, karena sesungguhnya suami saya adalah Brojo. Tapi, di sisi lain saya menemani Projo untuk mempertanyakan langsung, "mengapa Bapak korupsi?" Begitulah kira-kira pertanyaan lugu saya pada Projo. Setengah mati Projo berkelit kalau dirinya itu bersih, ia hanya dijebak dan ia tidak memakai uang kotor. Benarkah? Istrinya Brojo yang lugu senang saja bertanya seperti itu, makanya ia betah. Saya pun betah menjadi seorang perempuan yang dilema, apakah memilih Brojo yang menipu untuk menghidupi istri, atau memilih Projo yang sudah jelas-jelas kaya tapi menipu juga untuk mendapatkan kebenaran. Kira-kira, pilih yang mana?

Ah, sialan! Projo dan Brojo sama-sama tukang tipu, tapi memikat! :D

[ayu]


Coretan Kasar Novel - Tujuh Divisi

$
0
0
gambar dari sini

Sebelum mengakhiri tahun 2011 ini dan memulai tahun 2012 dengan posting blog dalam rangka J50K, saya akan memberikan sedikit gambaran tentang novel yang saya ikutsertakan dalam event ini. Anggaplah ini sebagai coretan kasar atau sekedar kerangka yang menggambarkan secara singkat, padat, dan jelas mengenai seluk-beluk novel saya ini. Baiklah, ini dia coretan novel yang saya ikutsertakan dalam J50K.

Judul: Tujuh Divisi
Genre: Petualangan 
Tema: Persahabatan, misteri, petualangan

Gitta, adalah seorang mahasiswa yang sudah tinggal menunggu DO karena dirinya terlalu sibuk dalam dunia SAR dan pecinta alam. Gitta adalah seorang perempuan mandiri yang senang memanjat tebing. Dia kerap kali mengikuti perlombaan rock climbing dan wall climbing yang diadakan oleh beberapa yayasan pendakian dan yayasan pecinta alam yang cukup ternama di Indonesia. Meskipun perempuan, dia sudah sangat ahli memanjat tebing. Tidak pernah dia sekalipun memikirkan untuk bergabung dalam suatu ekspedisi, sampai sebuah surat misterius disisipkan dalam kotak pos di rumahnya.

Ichan, seorang wirausahawan yang membuka sebuah reklame dan tempat percetakan yang sudah mengubur dalam-dalam impiannya akan mountaineering, karena pernah mengalami cedera yang cukup serius di bagian tangan dan kakinya. Dia tidak pernah lagi membuka mata akan dunia mountaineering dan trauma akan kehilangan sahabat kesayangan saat pendakian Ciremai membuatnya ingin benar-benar keluar dari dunia itu. Sayangnya, semua itu harus terpatahkan ketika seorang bapak misterius meninggalkan sebuah buku yang menyertakan surat untuknya. Dia tidak kenal lelaki itu. Dirinya limbung saat membuka buku tersebut, karena namanya tercetak besar-besar dalam surat itu dan sebuah dunia yang dia hindari malah menghampirinya.

Tom, pekerja di sebuah perusahaan IT yang cepat bosan. Dia tidak pernah merasa bahagia. Tidak seperti masa-masa ketika dia kuliah dulu. Semuanya bisa dia lihat. Dunia luas di sana bisa dia jelajahi. Dia memang berdarah petualang. Ayahnya adalah seorang arkeolog dan ibunya adalah seorang backpacker sejati. Sampai sebuah tragedi harus menyebabkan dia kehilangan kedua orang tua dan mau tidak mau, Tom harus bisa berjuang dalam kehidupannya yang sangat kaku, dengan paman dan bibinya yang menjamin kehidupannya sampai sekarang dia menjadi robot pekerja . Ketika melewati sebuah gedung tua, Tom melihat pengumuman ekspedisi yang membuat dia meninggalkan seluruh pekerjaannya dan bergabung dalam ekspedisi itu.

Ambar, Dom, Bima, dan Salman adalah orang-orang yang baru saja lulus dari diklat SAR sebuah yayasan pecinta alam dan SAR. Mereka adalah orang yang tidak tahu menahu, mengapa mereka bisa ada dalam ekspedisi yang melibatkan mereka dan ketiga orang yang belum pernah mereka kenal sama sekali. Mereka berpikiran kalau semua itu terjadi karena mereka memang diajak untuk bergabung dalam tim SAR. Nyatanya, mereka telah salah menilai.

Tujuh orang yang entah beruntung atau sial itu dipertemukan dalam satu ekspedisi yang akan mengubah roda kehidupan mereka seketika. Mereka terbagi menjadi tujuh divisi dalam satu tim, dengan tugas masing-masing. Ada divisi mountaineering, climbing, penyeberangan, navigasi, survival, shelter*, dan P3K. Berbagai kejadian menegangkan dan misteri-misteri mulai bermunculan. Ketika tim ekspedisi itu mulai solid, satu per satu dari mereka mulai disesaki tragedi. Mereka harus terpaksa untuk memilih, kehilangan satu orang atau satu tim. Perjalanan mereka pada akhirnya tidak seindah dan semulus rencana pada awalnya. 

Akankah mereka bertahan? Akankah mereka bisa kembali utuh saat pulang?

catatan kaki:


*shelter: sebuah divisi dalam dunia pecinta alam, yang berhubungan dengan tali temali dan pembuatan bivoac atau tenda

(News) Mengecap Petualangan Rasa Baru di Novel 7 Divisi

$
0
0
cover depan

... 7 hari. 7 pribadi. 7 alasan. 7 kemampuan: 7 Divisi ...

Surat-surat perekrutan misterius menghampiri tujuh anak manusia dengan latar belakang berbeda. Surat tersebut datang kepada mereka masing-masing dengan cara yang tak sama. Gitta, Ichan, Tom, Ambar, Dom, Bima, dan Salman. Tujuh orang ini tak pernah menyangka akan dipertemukan dalam suatu ekspedisi besar, dengan divisi sesuai kemampuan mereka masing-masing.

Pertemuan yang mengubah segalanya. Mengubah ritme hidup, mengembalikan masa lalu, dan menghilangkan yang lain. Berbagai kejadian menegangkan dan misteri-misteri mulai bermunculan ketika mereka mencoba menaklukkan sebuah gunung keramat. Rupanya, ada seorang lelaki misterius di balik ekspedisi besar itu. Dan ketika mereka menyadari sesuatu sedang terjadi, mereka sudah terlambat.

Ketika tim ekspedisi ini mulai solid, satu per satu dari mereka mulai disesaki tragedi. Mereka terpaksa dihadapkan pada pilihan pelik; kehilangan satu orang... atau satu tim sekaligus.

Dapatkah mereka menuntaskan ekspedisi ini? Dan akankah mereka tetap kembali utuh saat pulang?

***

Segera dapatkan novel terbaru saya di toko buku terdekat. :)

Jangan lupa kritik dan sarannya! Hehe. 

Seruak: Novel Psychothriller Garapan Mojang Bandung

$
0
0
Bandung memang memiliki daya tarik luar biasa. Selain pemusik-pemusik jenius, Bandung melahirkan juga entertain muda dengan bakat yang sedemikian rupa. Bandung juga yang melahirkan penulis-penulis berbakat, yang bisa apa saja. (kalo sulap? bisa nggak) Hehehe. Nah, berikut ini adalah salah satu novel garapan Mojang Bandung, yang akan saya ulas. Mohon maaf sebelumnya, ulasan ini saya copy-paste dari posting Kaskus dan Goodreads saya. Soalnya, saya kadung malas untuk menulis yang lain. Lagipula, toh isinya pasti akan sama saja. Masa iya saya berubah pikiran? (kecuali kalau saya memang agak terganggu). *lalu ketawa sendiri*

***



Judul: Seruak
Penulis: Vinca Callista
Penerbit: Grasindo
Genre: thriller-suspense
Tahun Terbit: 2014
Tebal: 440 halaman
ISBN: 978 602 251 428 2
Harga: Rp 65.000,-
Rating: 4/5

Well, akhirnya saya menyelesaikan novel setebal 440 halaman ini dalam jangka waktu satu minggu. Ini bisa dibilang waktu tercepat, dibandingkan dengan Amba yang saya baca dua minggu lebih dan Cantik Itu Luka, yang bahkan sampai sekarang belum sempat saya selesaikan. Lagipula, Seruak ini dipastikan bisa selesai lebih cepat jika saya tidak terlalu mengantuk pada bab awal buku, yang begitu banyak cerita berliku dan narasi njelimet. Saya agak tidak begitu suka pada novel yang terlalu banyak narasi, apalagi menggurui. Tapi, keseluruhan novel ini berhasil membuat saya berdecak gembira, dan berteriak, AWESOME! Nah, kalau se-awesome ini, pasti kalian bertanya-tanya kan, mengapa saya hanya memberi novel ini empat bintang saja?

Mari kita mulai dari sini...


Novel ini bercerita tentang kegiatan KKNM (Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa), yang dilakukan oleh sepuluh orang mahasiswa dari Universitas Palagan. Mereka kedapatan giliran untuk memberikan kontribusi pada sebuah desa yang jauuuuh sekali dari Bandung, bernama Desa Angsawengi dengan tiga dusun yang ada di dalamnya. Desa ini bisa dibilang tidak cukup populer, apalagi di kalangan mahasiswa. Maka, informasi yang ada tentang desa ini, sangatlah minim. Hal inilah yang membuat Faye--salah satu mahasiswa di dalam kelompok--banyak mempertanyakan tentang desa yang makin lama makin aneh ini.

Percayakan kalian pada teori the butterfly effect? Dewi Lestari alias Dee, sering mengulasnya di beberapa bukunya. Ia berpendapat bahwa, "Kepak sayap kupu-kupu pun kemungkinan akan menyebabkan badai di belahan bumi yang lain." Dan hal inilah yang berulang kali ingin ditunjukkan Vinca Callista dalam novel ini. Setiap manusia melakukan kegiatan alam sadar mereka dengan teratur. Meski begitu, alam bawah sadar mereka pun dapat mengontrol diri manusia, menjadi manusia lain yang membentuk pribadi baru. Hal ini juga dikarenakan, setiap manusia menjadi diri mereka sekarang karena pengaruh masa lalu. Ada orang yang jadi pembunuh dan psikopat, karena masa lalu mereka yang menyebabkan hal itu. Ada pula orang yang menjadi pendiam, karena rasa trauma masa lalu. Dan hal inilah yang benar-benar ditunjukkan oleh penulis, dari bab ke bab. Semua mahasiswa yang berada di dalam kelompok KKNM ini, rupanya saling terkait. Ada Mada, Arbil, Nina, Jiana, Faye, Chamae, India, Yanto, Fabyan dan Lula. Bukan kebetulan, kalau mereka ditempatkan dalam satu kelompok yang sama. Rupanya, ada satu hal yang membuat keterikatan mereka menjadi baik, atau menjadi buruk. Masing-masing orang memiliki masa lalu, dan masa lalu itu terkait dengan masa lalu orang lainnya, sehingga membentuk pribadi mereka saat ini. 

Uniknya, mengapa novel ini disebut psychothriller? Dari awal cerita, saya tidak menangkap perilaku menyimpang dari orang-orang di dalam cerita. Namun, menuju ke bagian tengah novel, saya mulai menemukan penyimpangan dari masing-masing tokoh. Selain masa lalu yang terkait, rupanya masing-masing tokoh memiliki perilaku menyimpang mereka masing-masing. Perilaku inilah yang merenggut psikis mereka dan membentuk diri mereka seperti sekarang. Dan saya beberapa kali berdecak kagum, ketika mendapati kebetulan yang bukan benar-benar kebetulan. Saya sampai berpikir, sepertinya Vinca telah membuat peta khusus mengenai tokoh-tokoh jelmaannya. Dan Vinca sukses membuat sepuluh orang ini saling terkait seperti film Identity. Pernah nonton kan? Bedanya, film Identity ini semua tokohnya adalah satu tokoh yang memiliki kepribadian ganda. Sedangkan, di dalam novel ini, hanya satu orang yang mengidap MPD alias multiple personality disorder. Saya tidak akan kasih tahu siapa yang mengidap MPD, karena nanti jadi spoiler. Haha. :p

Dan dari semua bab yang terkait, saya harus menjura pada Vinca, karena berhasil membuat saya betah duduk di sofa empuk sambil makan cemilan yang membuat saya gemuk, dan membuka lembar demi lembar novel ini tanpa lelah (kecuali kalau saya lapar, ngantuk, dan dipanggil bos, karena saya baca juga di kantor). Vinca juga sukses menjejali kepala saya dengan berbagai istilah psikologi yang menurut saya tidak rugi kalau ditelan bulat-bulat. Di samping mengalihkan tokoh fiksi buatannya untuk kita cintai, kita juga bisa mendapatkan pelajaran mengenai istilah psikologi. Beberapa istilah yang dikemukakan Sigmund Freud sebagai Bapak Psikologi pun berhasil saya cerna.

Lantas, apa yang membuat empat bintang bertengger di novel ini, Ayu?

Empat bintang saya berikan bukan karena kesalahan Vinca. Sebab, tidak ada yang salah darinya. Yang salah mungkin hanya kejelian editor yang kurang mantap, karena dia membiarkan novel ini terombang-ambing di antara dua bahasa. Ketika sampai pada beberapa narasi, saya mendapati kata-kata tak baku bersarang pada kata-kata yang justru baku sekali, banget malah. Seolah-olah, kata-kata tak baku ini tertangkap oleh prajurit kata baku, dan tak membiarkannya keluar. Mungkin, ini hanya luputnya editor saja, karena mungkin ia terlalu terpana menyaksikan berbagai kebetulan yang bukan kebetulan, di dalam novel Vinca. Mengapa kebetulan ini bukan kebetulan? Karena, kalau kalian membacanya pun, kalian akan menganggap kebetulan, padahal sebetulnya bukan. Novel ini sudah terkonsep, begitu pun dengan tokohnya yang sudah terpetakan dengan baik. Maka, saya tidak bisa berteriak, "Wah, ternyata si ini tuh dulunya itunya si anu yah? Oh gitu yah! Kebetulan banget!" Ini bukan kebetulan, dan ini terkonsep. Seperti Desa Angsawengi yang terkonsep.

Lalu, apalagi Yu, yang mengecoh dirimu?

Kalian mau tahu? Sungguh??? 

Ada hal yang benar-benar mengecoh saya, sampai saya berkata, "Sialan! Gue ditipu!" Hal ini adalah teknis penulisan sudut pandang. Sudut pandang ini adalah sudut pandang pertama, namun di lain pihak, si 'saya' dalam novel ini, menceritakan tokoh-tokoh seperti ia bisa melihat segalanya dan menjelma jadi sudut pandang orang ketiga. Sialan! Saya benar-benar tertipu. Saya luput dari seorang tokoh dalam novel yang mengidap MPD. Dia bisa saja bercerita dengan 'dia', dan 'saya'. Maka, sekali lagi, saya tidak akan menceritakan siapakah 'dia' yang 'saya' itu. :)))) *ketawa setan*

Dan satu hal yang membuat saya pusing, ada beberapa narasi yang mengantar cerita lewat bundaran HI. Seperti supir busway yang masuk bundaran HI lalu berputar-putar mempermainkan penumpang dengan sengaja, seperti seorang psikopat. Narasi ini semacam itulah! Pemikiran psikopat yang njelimet mencoba memasuki alam bawah sadar saya, sehingga saya cepat mengantuk ketika membaca narasi tersebut. Dan oke, saya harus minta maaf pada Vinca, karena saya melewatkan banyak sekali narasi untuk sampai pada bagian yang benar-benar ingin saya baca.

Dan kalau dibilang thriller, adegan bunuh-bunuhan masih kurang mantap di sini. Tidak seperti thriller lainnya yang cukup mempertontonkan disturbing content, saya rasa Vinca masih harus masuk jadi psikopat yang sebenar-benarnya. Hehe.

Oh ya, ada satu hal lagi yang membuat saya geram. Sedikit ilmu holistik yang dikeluarkan pada bagian akhir buku, mengenai unsur bumi yang menyebabkan bumi jadi seimbang, yaitu unsur api, tanah, air, dan udara (kayak avatar). Unsur ini hanya disinggung sekali saja. Saya pikir, unsur ini juga akan mengambil porsi besar dalam novel. Ternyata, unsur-unsur holistik itu hanya numpang lewat saja sambil dadah-dadah. Sayang sekali, padahal kalau unsur itu dieksplorasi lebih jauh sejak awal novel, akan jadi lebih menarik hasilnya. Dan twist Jiana Aryon yang tiba-tiba jadi villain dalam cerita--ups spoiler--rasanya kok aneh ya? Ini semacam ujug-ujug yang disengaja, begitu? 

Dan terlalu banyaknya tokoh, dengan deskripsi macam-macam, misalnya, si anu itu begini, si ono itu begitu, dan lain sebagainya, membuat saya tidak mudah mengingat tokoh apa saja yang bicara, kecuali tokoh 'saya' yang sudah pasti saya ketahui. Jadi, saya kadang tidak peduli kalau tokoh lainnya bicara, karena saya hanya mengingat beberapa tokoh saja. (coba tebak, siapa si 'saya'). :P

Akhir kata, saya cuma bisa bilang, kalau saya senang membaca ini seharian, karena kavernya manis dan isinya pun manis meski mencekam! Ingatlah, bahwa masa lalu akan membentuk pribadi anda sekarang! Haha. *ketawa setan lagi*

P.S. Untuk penerbit dan mas layout, tolong lain kali hurufnya diperbesar. Jangan merasa bakalan hambur kertas dan jangan pelit kertas, karena novel ini layak untuk dikoleksi! Tapi, pembaca kan tidak semuanya senang baca novel berhuruf kecil-kecil! Maka, kalau tidak ingin dihantui pembaca, buatlah novel ini lebih nyaman dibaca, salah satunya dengan menambah point huruf agar tidak kecil-kecil. Hahahaha. *lalu pembaca pun jadi psikopat*

Untuk pembaca lainnya, selamat membaca! Selamat tertawa gila! \m/

[ayu]

[Media Archive] Ulasan 7 Divisi Dari Mbak Dewok BBI (Blogger Buku Indonesia)

$
0
0

Yang mengulas: Mbak Dewok BBI (Blogger Buku Indonesia)

screenshot blog Mbak Dewok
(klik untuk memperbesar)

***


7 Divisi

No: 079
Judul : 7 Divisi
Pengarang : Ayu Welirang
Penerbit : Grasindo
Tahun Terbit : Cet. 1; 2014
Tebal Buku : 202 hlm. ; 20 cm
Genre : Fiksi – Petualangan, Misteri
Rating : 4/5

Beberapa waktu yg lalu saya iseng-iseng mampir ke toko buku. Niat awal sih pengen nyari buku Divergent cover lama, sayang buku yg saya cari sudah kosong. Akhirnya setelah muterin rak demi rak di toko buku tersebut, pilihan saya jatuh pada buku 7 Divisi karya Ayu Welirang. Alasan saya beli buku ini karena kenal sama penulisnya wkwkwkwkwk… alasan yg nggak banget ya.

… 7 hari. 7 pribadi. 7 alasan. 7 kemampuan: 7 Divisi …

Surat-surat perekrutan misterius menghampiri tujuh anak manusia dengan latar belakang berbeda. Surat tersebut datang kepada mereka masing-masing dengan cara yang tak sama. Gitta, Ichan, Tom, Ambar, Dom, Bima, dan Salman. Tujuh orang ini tak pernah menyangka akan dipertemukan dalam suatu ekspedisi besar, dengan divisi sesuai kemampuan mereka masing-masing.

Pertemuan yang mengubah segalanya. Mengubah ritme hidup, mengembalikan masa lalu, dan menghilangkan yang lain. Berbagai kejadian menegangkan dan misteri-misteri mulai bermunculan ketika mereka mencoba menaklukkan sebuah gunung keramat. Rupanya, ada seorang lelaki misterius di balik ekspedisi besar itu. Dan ketika mereka menyadari sesuatu sedang terjadi, mereka sudah terlambat.

Ketika tim ekspedisi ini mulai solid, satu per satu dari mereka mulai disesaki tragedi. Mereka terpaksa dihadapkan pada pilihan pelik; kehilangan satu orang… atau satu tim sekaligus.

Dapatkah mereka menuntaskan ekspedisi ini? Dan akankah mereka tetap kembali utuh saat pulang?

Sebagai orang awam banyak istilah PA di dalam buku ini yg tidak saya pahami. Untunglah Ayu menyematkan footnote yg menjelaskan istilah-istilah asing tersebut, jadi saya langsung tahu apa yg dimaksud dengan rapeling, belayer, webbing, dll. Coba saja penjelasan istilah tersebut adanya di bagian akhir buku, saya pasti malas membolak-balik halaman untuk mencari penjelasan sebuah kata.

Saya mencatat ada beberapa miss di dalam buku ini. Diantaranya adalah latar belakang keluarga Tuan Henk. Pada halaman 48 *CMIIW* penulis menjelaskan jika laki-laki tersebut masih memiliki darah bangsawan dan menikah dengan noni Belanda. Namun beberapa paragraf kemudian disebutkan bahwa istri Tuan Henk bernama Setyorini, nama yg sangat “njawani”. Saya sempat beberapa kali membaca buku ini untuk memastikan sebenarnya siapa sih yg berdarah Jawa dan masih keturunan bangsawan?

Miss kedua yg juga mengganggu saya adalah latar belakang pertemanan Ichan dan Tom. Dari awal cerita saya mendapatkan pemahaman kalau Ichan dan Tom ini tidak saling kenal. Sekali-kalinya mereka ketemu itu waktu Tom marah-marah di kios Ichan. Tapi, ada saat dimana Ichan dan Tom duduk bersama dan membicarakan seorang gadis bernama Mia. Lho… jadi mereka ini sebenernya kawan lama atau bagaimana sih? Btw, saya sempat menanyakan hal ini kepada Ayu, dan dijawab oleh Ayu kalau mereka itu memang nggak kenal tapi saling tahu aja. Ih… si Ayu emang pinter ngeles kayak bajaj wkwkwkwkwkw…..

Miss ketiga adalah soal perjalanan Ambar, Dom, Bima dan Salman dari Stasiun Kiara Condong dengan menumpang kereta api. Disebutkan bahwa selama kurang lebih tiga jam mereka akan disuguhi pemandangan *kalimat tepatnya saya lupa* tapi kalau tidak salah inget ada kata pesisir. Memangnya jalur kereta dari Kiara Condong ke Jakarta lewat pesisir pantai ya? Help… saya butuh pencerahan disini secara sudah lama nggak naek kereta.

Selain ketiga miss diatas dan 2 atau 3 kata yg salah ketik, nggak ada kesulitan berarti yg saya temui selama membaca buku ini. Alur yg cenderung maju bergulir cukup cepat, dan kalau nggak melihat tagline buku ini saya nggak akan tahu kalau perjalanan mereka berlangsung selama 7 hari. Plotnya menarik dan nggak membosankan, bagian cinta-cintaan menurut saya kurang smooth. Nggak pake bumbu cinta pun, saya rasa ceritanya bakalan tetep bagus kok karena banyak hal lain di dalam buku ini yg bisa diangkat.

Rekor saya 2 hari langsung beres baca buku ini. :D

Saya juga suka cover buku ini, gambar gunung dan areal perbukitan. Warna hijau yg menyegarkan mata dan sedikit berkabut menambah kesan mistis. Penulisan judul buku dengan bingkai frame warna putih yg melambangkan lembaran surat yg terbuka *sok teu ih* ditambah aksen kompas diatasnya cukup menarik. Sayangnya latar belakang putih pada nama penulis membuat kesan kurang menyatu dengan latar belakang. Kesannya lupa ngasi nama penulis trus bikin pake kertas putih yg ditempel pake selotip. :(

Secara keseluruhan saya suka dengan novel ini. 7 Divisi adalah sebuah novel petualangan tentang pendakian gunung yg dibalut aroma misteri dan supranatural. Melalui buku ini sedikit banyak saya jadi tahu dunia PA. selama ini saya cuma bertanya-tanya ngapain aja sih mereka itu di gunung, kok tiap pulang dari gunung keliatan tambah item, kusem, kucel dan kumel *no offense lo ya buat yg suka nanjak. Ayu, QQ sama Selpikkk peace ah…* Saya juga nambah ilmu tentang sejarah kerajaan Bali, karena saya pikir Watugelgel itu kerajaan fiktif eh ternyata ada toh.



You Give Me Something

$
0
0
Cerita bermula ketika aku baru saja pulang dari siaran di radio tempatku bekerja sekarang dan menemukan sesuatu yang mungkin bisa disebut sebagai perubahan. Waktu itu, aku harus mengisi siaran di radio cabang yang berada di daerah Bodmin, Inggris, dan pada jam ini, aku seharusnya memang naik subway saja untuk kembali ke Newquay, beristirahat di apartemen kecil milikku. Yah, meskipun harus berputar agar sampai ke stasiun terakhir, tapi kupikir naik subway akan lebih aman daripada aku harus naik Double Decker yang seringkali ditumpangi oleh para pemuda yang tidak memiliki kesadaran.

“You wanna stay with me in the morning, you only hold me when I sleep….” sayup-sayup kudengar suara dari ujung tangga pintu keluar stasiun Newquay Rail Station. Aku pikir mungkin yang menyanyi itu hanya pengamen yang sering aku temui seperti biasanya. Aku pun melangkah dengan gontai di tangga stasiun karena kelewat lelah bekerja. Ya, entahlah. Aku memang hobi menyusahkan diri sendiri.

Sampai di ujung tangga, Cliff Road sudah terlihat dan aku merasa kalau langkahku terhalang kerumunan orang. Hei! Kenapa semua orang begitu banyak? Apa yang mereka lihat? Apa yang mereka tonton di pinggir trotoar yang basah terhujani seperti ini?


Aku pun memberanikan diri untuk bertanya pada seorang Bapak tua yang menghentakkan kakinya dan tongkat berjalannya, “Maaf Sir, sedang ada apa ya?”

Bapak tua itu menoleh dan mendekatkan kacamatanya padaku, sambil berkata, “Ha?”

Sepertinya aku salah telah bertanya padanya, karena kulihat Bapak itu menggunakan alat bantu dengar. Sekali lagi aku bertanya, “Sedang ada acara apa?”

“Ooohh, hmm, just listen….” kata Bapak tua itu sambil menunjuk ke arah—lelaki gondrong—maksudku seorang penyanyi jalanan yang berdiri di bawah lampu trotoar Cliff Road.

What a jazzy voice and he is so hand—,” batinku ketika mendengarnya menyanyikan lagu—entah lagu siapa. Gitar akustik yang sekilas tampak seperti model Gibson hollow body itu terlihat cocok dimainkan oleh lelaki yang, ehm, tampan—maksudku maskulin.

Ah, aku ini kenapa!

Dan aku sangat merinding saat dia menyanyikan bagian yang kupikir adalah refrain.

You give me something and make me scare allright. This could be nothing but I’m willing to give it a try. Please give me….” teriak lelaki itu saat memasuki bagian akhir lagu yang kudengar memang naik satu oktaf. Ah lelaki ini. Apa benar lelaki seperti ini adalah seorang penyanyi jalanan? Dan aku tak sadar, sama sekali tak sadar ketika lelaki itu memperhatikan aku yang masih berdiri mematung di trotoar Cliff Road, terkesima dengan dia yang ternyata sudah menyelesaikan lagunya.

What are you looking at?” tanya lelaki itu padaku.

Aku terkesiap dan dengan bodohnya hanya berkata, “Apa? Ha?”

Dia tersenyum kecil sambil membereskan gitarnya dan memasukannya ke dalam hard case. Lalu dia mendekati aku dan menyodorkan tangannya, “James. James Catchpole.”

Aku masih setengah tidak sadarkan diri karena terlalu terkesima dengan dia—maksudku lagunya—dan aku pun meraih telapak tangannya sambil memperkenalkan diri, “Alexa Woodford.”

“Alexa Woodford? Maksudmu, kau Alex si penyiar itu? Yang ada di Irish Corner Bristol Radio?!” tanya lelaki itu setengah terkejut.

“Yeah. Itu aku,” kataku sambil mengumpulkan seluruh nyawaku yang tersedot ke dalam jazzy voice miliknya itu.

Lelaki itu—yang ternyata bernama James Catchpole—menyalami aku sambil terus berkata bahwa dia adalah penggemar berat suaraku dan semua hal tentangku yang bisa dia cerna kala aku sedang siaran. Dan seketika saja, kami akrab! Mungkin, karena sama-sama berasal dari Rugby, desa kecil di Warwickshire yang dulu sempat jatuh miskin sampai anak-anak di sana sakit. Dan karena hal itulah aku juga lelaki ini hijrah ke kota lain untuk mencari peruntungan. Ternyata, aku bertemu dengan orang yang satu kampung halaman denganku, dan orang itu adalah seorang penyanyi jalanan.

“Jadi, pekerjaanmu sehari-hari hanya mengamen seperti ini, James?” tanyaku padanya sambil menikmati cheeseburger yang tadi kubeli di sekitar The Crescent.

“Yah, kadang aku jadi penulis lagu. Kau tahu? Lagu-lagu yang kubawakan untuk mengamen, semua lagu-laguku, Alex,” katanya sambil menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam.

It sounds good! Kenapa kau tidak membuat demo saja dan menyebarkan lewat radio?” tanyaku padanya dan membuat dia berhenti melangkah barang sejenak.

“Alex… Idemu brilian sekali! Aku tidak pernah terpikir untuk melakukan hal itu!” teriaknya padaku dan menarik tanganku untuk berlari-lari kecil. Dia terlihat bahagia, seperti menang lotre. Aku tak menyangka ekspresinya seperti ini. Apa memang, kota kecil seperti Newquay membuat semua orang jadi naif ya?

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam ketika aku sampai di Mount Wise. Sebenarnya, lewat Berry Road, aku bisa lebih cepat sampai. Tapi, tadi James mengajakku melihat tempat dia bersama anak-anak terlantar bernyanyi bersama. Sebuah gereja tua yang sudah tidak berpenghuni, dia jadikan aula untuk menyanyi dan latihan paduan suara. Sungguh, baru kali ini aku menemukan hal itu di Newquay. Pinggiran Inggris Raya setahuku tidak pernah bergumam saat Natal, apalagi Newquay. Semua orang lebih memilih ke kota, mungkin Bristol, Watergate Bay, atau Newport. Bahkan, mereka kadang berlalu dari sini menuju London. Newquay sepi kala Natal dan ternyata, orang yang tidak ingin kesepian saat Natal, berkumpul di sini. Itu yang dikatakan James.

“Jadi, kita berpisah di sini ya, Alex? Aku harus kembali mengurus anak-anak terlantar itu,” katanya padaku sambil melambai dan membiarkan aku masuk ke apartemen yang lebih pantas kusebut boarding house di Mount Wise. Aku hanya tersenyum dan tanganku kumasukkan ke saku jaketku, karena cuaca memang sedang tidak bersahabat. Aku melihat punggung James yang berlalu dengan gitar yang dia jinjing dalam hard case. Ini pertemuan singkat dan aku tahu, mungkin nanti kami bertemu lagi.

***

Siang yang mendung di Newquay dan aku sengaja berjalan-jalan ke pesisir Newquay, tepatnya menyusuri Headland Road untuk sekedar mencari angin segar atau mungkin berkunjung ke gereja tempat anak-anak jalanan Newquay berkumpul. Ketika sampai di sana, aku tidak mendapati James. Anak-anak bilang, dia tidak pergi mengamen di NRS atau di pinggiran Cliff Road. Sejak pagi, James sudah pergi, entah kemana. Kata salah satu anak, dia ke Wellington, untuk mencoba merekam demo lagu, lewat uang yang dia kumpulkan dari hasil mengamen.

Aku tidak lantas berpikiran untuk menyusulnya ke Wellington. Aku memutuskan untuk duduk-duduk di pinggiran The Crescent, memberi makan burung-burung laut yang kelaparan dan melamun—sedikit. Sekitar pukul lima sore, aku kembali ke apartemenku dengan kondisi yang agak sedikit kecewa karena tidak bertemu James dan ketika melewati The Griffin Bar, aku melihat James di bawah lampu temaram di seberang bar itu.

“James, kau kenapa?” tanyaku padanya yang terlihat lesu, bersandar pada lampu jalan yang sendu sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Hei, Alex. Tak apa, aku hanya….” kata-katanya tercekat di ujung kerongkongan.

“Kenapa?” tanyaku makin penasaran.

James semakin menunduk dan mulai berkata, “Aku hanya kecewa karena demo ini tidak begitu bagus, menurut mereka.”

“Memangnya kau kirimkan lagumu ke mana? Siapa yang bilang lagumu tidak bagus?” tanyaku lagi.

“Treviglas Community,” katanya datar.

Aku hanya tercekat dan mengingat komunitas musik jazz, blues, soul, dan funk—pokoknya semua genre—yang terkenal se-Inggris Raya. Ya, aku bisa maklum. Komunitas itu dominan oleh orang-orang berpengaruh yang memiliki uang berlimpah. Hampir semuanya berasal dari keluarga kaya. Wajar kalau James tidak bisa memasukkan demonya ke sana. Tapi, apakah sejahat itu mereka? Lagu James kan tidak terlalu buruk.

Aku duduk di samping James dan mulai menghiburnya, “Sudahlah. Lagumu bagus dan orang-orang di Cliff Road pasti senang mendengarnya. Mana demonya?”

Dia menoleh ke arahku sambil melempar rokoknya ke jalanan dan berkata, “Demonya mau kau apakan, Alex?”

“Irish Corner kan selalu butuh lagu-lagu baru untuk disajikan. Kau lupa ya kalau aku penyiar?” kataku sambil tersenyum dan masih menengadahkan tanganku padanya.

Dia tersenyum dan memberikan sebuah compact disc demonya. Kami pun berlalu dari The Griffin dan segera berjalan menuju rumah masing-masing.

***

You already waited up for hours. Just to spend a little time alone with me. And I can say I've never bought you flowers. I can't work out what they mean. I never thought that I'd love someone. That was someone else's dream….” sayup-sayup lagu yang kuputar dari sebuah disc yang James berikan.

“Ya pendengar Irish Corner sekalian, lagu yang baru saja anda dengar adalah lagu seorang penyanyi jalanan yang berpotensi sebagai penyanyi jazz Inggris. Bisakah? Ya, kita tunggu lagu lainnya!” kataku sambil menutup acara siaran hari itu.

Aku pun keluar dari ruang siaran dan James tersenyum lebar. Kami pun pulang bersama dan saat sampai di Newquay, penyanyi jalanan di Cliffroad sudah mulai berubah. Kira-kira, sampai hari ini, aku sudah mengenal James selama sebulan kurang.

Pada suatu malam, kami duduk-duduk di sebuah bangku yang sengaja diletakkan di depan The Beach Nightclub. Dan saat itu, aku merasa bahwa James sudah mulai berubah, entahlah.

“Sepertinya aku akan pindah ke Derby, Alex,” kata James padaku saat itu.

“Derbyshire maksudmu? Kenapa jauh sekali?” tanyaku sambil menghentikan kegiatan meminum soda yang sejak setengah jam lalu aku lakukan.

“Ya, aku mencoba peruntungan di sana. Mungkin, dengan menjadi penyanyi di café, demoku bisa tersebar lebih luas,” katanya menjelaskan, dan aku, yang sekarang sudah menjadi sahabat terbaiknya, tidak rela dia pergi.

“Kalau kau memang mau pergi, silakan. Tapi, jangan pernah lupa dengan orang lain yang pernah membantumu ketika kau terkenal nanti,” kataku sambil berlalu dari tempat itu dan berjalan gontai menuju apartemenku.

***

Sudah tidak ada kabar lagi tentang James. Kira-kira dua bulan lebih aku tidak berbicara lagi dengannya. Ya memang. Pertemuan singkat akan menjadi perpisahan yang singkat juga. Aku masih mengudara di Bristol Radio dan pulang saat lewat petang ke Newquay, mampir ke gereja anak jalanan dan begitulah kegiatanku setiap hari. Sampai ketika aku diminta untuk menghadiri talk show seputar pergerakan independen di Inggris, aku mendengar kabar yang entah menggembirakan atau menyedihkan buatku. Aku diminta pergi ke Derby bersama beberapa teman dari Bristol Radio dan menjadi narasumber di sebuah Irish Bar bernama “Ryan’s”. Kalau aku tidak salah, tempat itulah bar di mana James bekerja sebagai penyanyi.

Setelah selesai menjadi narasumber aku mendatangi meja reservasi dan bertanya, “Permisi. Apa kau kenal James?”

“James? Ah ya, James Catchpole maksud Nona?” tanya lelaki yang ada di meja reservasi itu.

“Iya betul. Kau kenal?” tanyaku penasaran, berharap menemukan James di bar elegan itu.

“Aku kenal Nona. Tapi, James sudah tidak bekerja di sini lagi. Terakhir kali dia bermain di sini saat dia bertemu seorang produser musik bernama Kev Andrews. Tuan Kev melihat potensinya untuk menjadi solois jazz dan benar saja, Keesokan harinya, dia sudah tanda tangan kontrak,” kata lelaki resepsionis itu menjelaskan.

Aku hanya bisa tertegun dan entah harus berbicara apa. Entah harus senang atau sedih. James tidak mengabari aku dan adik-adiknya di panti sosial tentang demonya yang akan dirilis oleh produser ternama seperti Kev Andrews. Aku bahkan tidak pernah bisa memanggil orang itu untuk wawancara di Bristol dan sekarang, orang itu mengajak James ke dapur rekaman? Roda memang bisa berputar ke segala arah, tidak terduga.

***

Dan seperti itulah cerita tentang pertemuanku dengan idolaku sekarang. Ya memang. Sejak bertemu di trotoar Cliff Road, aku sudah kagum dengan suaranya yang begitu jazzy, mengingat aku memang bekerja di dunia permusikan. Aku kini berada di sebuah bangku di pinggiran pantai Newquay, menikmati hari terakhirku di Newquay sebelum akhirnya aku bertolak ke kampung halaman, Warwickshire.

Aku duduk di pinggiran pantai yang paling romantis di Newquay. Reklame besar dengan tinggi sekitar limabelas meter, ada di sebelah kiri dari tempatku duduk. Foto James ada di sana. Sangat besar dengan gitar akustik hollow body kesayangannya. Dia bernama James Morrison sekarang. Nama tengah yang sengaja dia gunakan untuk nama diri saat dia tenar. James Morrison Catchpole, memang nama aslinya. Dan entahlah, atas dasar apa dia hanya menggunakan Morrison, tanpa Catchpole.

Reklame itu bergambar dirinya dengan seorang penyanyi latin terkenal, Nelly Furtado. Ini adalah akhir tahun 2006 dan James akan merilis single duet berjudul “Broken Strings” yang akan dinyanyikan bersama dengan Nelly Furtado. Ah James, lupakah kau pada sahabatmu ini?

Seseorang baru saja melemparkan sebungkus cheeseburger kesukaanku saat aku hendak melamun lebih jauh. Aku masih heran, siapa yang dengan isengnya melempar makanan kesukaanku ini.

“Hei, sudah lama ya?” kata seseorang dari arah reklame besar itu, dan bayangannya perlahan berjalan mendekat ke arahku.

“James?!” pekikku. Aku tercekat dan sekaligus tidak percaya. Orang setenar dia sekarang, masih mau mengunjungi daerah sekecil Newquay. Memang, Newquay sekarang sudah tidak sesepi dulu. Sejak orang-orang tahu, bahwa seorang James Morrison—solois jazz yang sudah meraih banyak penghargaan untuk single-single yang bermelodi indah—itu ternyata berasal dari sebuah kota tertinggal Newquay, pembangunan di sini jadi semakin pesat. Dalam kurun waktu kurang dari sebulan saja, di dekat The Crescent, sudah ada golf park. Dan bukan hanya ini alasan aku ingin pulang ke Rugby, Warwickshire. Aku ingin pulang karena rindu orang tuaku dan kampung halaman. Aku pun sedang ambil cuti siaran selama sebulan.

“Apa kabarmu, Alex? Aku sudah seminggu tidak mendengar kau siaran,” katanya padaku.

“Aku cuti selama sebulan dan aku akan pulang kampung, James,” kataku sedikit terkekeh.

“Pulang ke Warwickshire maksudmu? Hmm, mungkin setelah promo dan tour single Broken Strings selesai, aku juga akan pulang,” katanya padaku sambil menerawang ke arah reklame besar itu dan mulai duduk.

“Haha. Itu lama sekali. Mungkin, aku sudah kembali ke Bristol saat kau ada di Rugby, James,” kataku sambil tertawa melihat dirinya yang sudah cukup berubah.

James hanya menatap pantai dengan nanar dan dia mulai menghisap rokoknya. Rokok yang sama, tidak pernah berubah sejak dulu.

“Banyak yang berubah di sini, Alex.”

“Begitu juga dirimu. Tapi, rokokmu tidak berubah kan?” kataku menyindir.

“Kau pun tidak berubah. Masih menyenangkan seperti dulu,” katanya padaku sambil terus menerawang ke arah pantai.

Aku dan James akhirnya dihadapkan pada satu kebisuan. Kebisuan yang tidak pernah kami harapkan selama kami menjadi sahabat. Aku tahu, dia hanya fans lamaku sebagai penyiar dan sekarang, malah aku yang mengidolakannya sebagai penyanyi. Hidup memang roda dan akan selalu begitu.


Newquay, December 2006

*cerita ini hanya fiktif belaka dari seorang yang mengidolakan James Morrison

Cerita ini pernah dimuat di situs kemudian.com saya pada tanggal 6 Desember 2011, dengan pseudoname jayhawkerz. Untuk membaca versi kemudian.com, silakan kunjungi tautan berikut.

[Media Archive] 7 Divisi di Kaskus Serapium (Review Oleh Selviana Rahayu)

$
0
0
tampilan di kaskus serapium - review oleh kak Selvi


7 Divisi
Ayu Welirang, 3rd March 2014
Gramedia Pustaka Utama, 202 pages


7 Divisi merupakan salah satu novel pemenang PSA (Publisher Searching for Authors) yang digelar oleh Gradien beberapa waktu lalu. Novel ini bergenre petualangan dan misteri. Membaca novel ini mengingatkan saya kepada momen-momen ketika dulu saya mendaki gunung di Jawa Barat bersama teman-teman kuliah saya. Mungkin bedanya, dulu kami adalah pendaki dadakan. Alias sekumpulan orang yang mengaku-aku mencintai alam tanpa melewatkan pelatihan khusus sebelumnya. Kalau di buku ini, ketujuh tokohnya digambarkan sebagai pemuda-pemudi yang terlatih. Ada yang memang anggota pecinta alam di sekolah atau kampus bahkan sampai ada yang sudah menjadi anggota Walagri (saya rasa ini plesetan dari Wanadri).

7 orang tersebut adalah Gitta, Ichan, Tom, Dom, Ambar, Salman, dan Bima. Setiap dari mereka mewakili satu divisi yang biasanya terbentuk jika sekelompok orang ingin mendaki gunung sebagai sebuah tim. 

Gitta – Climbing
Ichan – Mountaineering
Salman – P3K
Bima – Navigasi
Tom – Penyebrangan
Dom – Shelter
Ambar - Survival

Mereka direkrut dengan cara yang misterius oleh seseorang bernama Rudolf untuk melakukan sebuah ekspedisi yang ternyata tanpa mereka sadari membawa petaka bagi mereka semua.


Buku ini seolah diciptakan khusus bagi siapa saja yang menyukai kegiatan mendaki (seperti halnya sang penulis juga). Semua istilah yang biasa digunakan komunitas pecinta alam disisipkan dan diberi footnote dengan baik, membuat pembaca tidak bingung. Buku ini benar-benar memberikan pengetahuan tentang mountaineering dan sebagainya dan saya jamin tidak menyesatkan. Semakin pro mendaki, mereka justru semakin memikirkan keselamatan jiwa mereka. Bukannya malah semakin tidak peduli terhadap peralatan mendaki dan obat-obatan. Saya juga senang mendapati novel ini ternyata menyinggung masalah budaya nasional dan sedikit sejarah.

Saya juga tidak heran dengan Ichan yang dalam beberapa hari saja sudah bisa menyukai Gitta. Karena memang biasanya kalau di gunung, kita tidak perlu waktu lama untuk mengenal seseorang. Bahkan katanya hanya butuh 3 hari mendaki bersama untuk mengenal kepribadian seseorang dibandingkan dengan mereka yang sudah kenal bertahun-tahun tapi tidak pernah mendaki. 

Sebenarnya saya bisa saja memberi buku ini 5 bintang. Tapi sayangnya banyak hal-hal kecil yang sukses mrmbuat penilaian saya drop. Seperti misalnya deskripsi 7 divisi yang tidak ditulis secara explicit oleh penulis. Pembaca diminta memikirkan sendiri kira-kira apa saja 7 divisi itu. Juga ketika tiba-tiba Ichan menjadi ketua tim. Kapan dipilihnya? Tidak dijabarkan. Belakangan saya tahu bahwa karena Ichan berdiri di atas divisi mountaineering, di mana divisi inilah yang membawahi seluruh divisi. Tapi tetap saja, lebih baik dikasih tahu ketimbang disuruh mikir. Iya tho?

Juga waktu awal mereka ditawari melakukan ekspedisi ini. Kayaknya saya ga menemukan penjelasan mereka dibayar berapa sehingga mereka bahkan rela mempertaruhkan nyawa mereka demi ekspedisi ini. 

Kalau soal typo, sudahlah saya tidak mau komentar banyak. Sebab di semua buku pastilah kecacatan ini terjadi. Di buku ini pun tidak banyak typo yang mengganggu. Tapi saya kurang sreg dengan kata “haha” atau “hehe” sebagai ungkapan ekepresi tawa alih-alih dijelaskan dengan kalimat “Ia tertawa” atau “Mereka terbahak-bahak”. Untungnya tidak ada “Wkwkwk” ditulis di buku ini.

Menurut saya masih banyak logika yang missed. Namun sebagai debut di dunia kepenulisan dengan penerbit mayor, pemikiran Ayu Welirang patut diacungkan jempol. Penulis berani dan mampu menghadirkan genre baru di tengah ramainya genre romance yang makin hari makin membuat jidat saya mengkerut lantaran sering berjengit heran. Saya harap ke depannya tulisan Ayu bisa lebih rapi. Sebab sayang sekali kalau konsep ceritanya sudah sedemikian fresh namun tidak melalui proses pengeditan yang baik jatuhnya akan jadi buku yang biasa-biasa saja. 

Buku dengan sampul warna hijau daun ini (suaraaa dengarkanlah akuuu) mungkin bisa jadi salah satu alasan kenapa buku ini menarik untuk dibaca. Plus cara penulisan judulnya “7 divisi” yang mengingatkan saya pada acara televisi petualangan “Jelajah” dan “Jejak Petualang”. Sangat pas! Hanya saja ukuran buku ini agak sedikit tidak lazim dengan bentuk yang lebih panjang dari buku-buku pada umumnya. Sehingga membuat pembaca tertahan lebih lama pada satu halaman karena lebarnya space yang disesaki oleh kalimat-kalimat dalam cerita, memberi kesan penuh. Entahlah mungkin buku ini ingin menghemat biaya produksi atau bagaimana saya kurang tahu. Yang jelas, saya sebagai pembaca merasa kurang nyaman dengan ukuran buku ini. 

Akhir kata, 3 dari 5 bintang untuk buku ini. Semoga ke depannya, buku Ayu bisa lebih rapi lagi. Selamat!

[Media Archive] Ulasan 7 Divisi oleh Agita Violy - Penulis Antologi Rumah Adalah Di Mana Pun

$
0
0
7 Divisi di Menuju Jauh



... 7 hari. 7 pribadi. 7 alasan. 7 kemampuan:
7 Divisi ...

Judul : 7 Divisi
Pengarang : Ayu Welirang
Penerbit : Grasindo
Tahun Terbit : Cet. 1; 2014
Tebal Buku : 202 hlm. ; 20 cm
Genre : Fiksi – Petualangan, Misteri

Novel 7 Divisi tulisan Ayu Welirang ini merupakan salah satu pemenang lomba PSA (Publisher Searching for Authors). Awalnya saya mengira bahwa novel ini terinspirasi dari 5 Cm, tentang lima orang sahabat yang mendadak naik gunung. Habis, judulnya sama-sama pakai angka. Covernya juga bergambar gunung dan arah mata angin. Namun saya teringat kalimat, "Don't judge a book from its cover", jadilah saya membeli dan membacanya dengan rekor tiga jam tanpa nafas saja.

Pembuka novel diawali dengan latar belakang masing-masing tokoh, kemudian satu per satu diundang oleh Lembaga misterius untuk melakukan ekspedisi di Gunung Arcawana, Jawa Timur. Mereka adalah Ichsan (Divisi Mountaineering), Gitta (Divisi Climbing), Tom (Divisi Penyeberangan), Ambar (Divisi Survival), Dom (Divisi Navigasi), Bima (Divisi Shelter) dan Salman (Divisi P3K). Kebayang nggak, kalau petualangan pendakian mereka ini safety procedure banget? Berbeda dengan saya dan pendaki kebanyakan (sebut saja Pendaki 5 Cm) yang naik gunung dengan perlengkapan seadanya. Yang penting bisa sampai puncak, foto-foto, haha-hihi, terus pulang. 7 Divisi membuat saya tersadar, semakin mereka terlatih dalam pendakian, justru semakin mementingkan keselamatan jiwa mereka.


Satu per satu konflik bermunculan dengan alur cerita yang menarik untuk dibaca. Tidak membosankan dan tidak membuat saya mengantuk karena perjalanan mereka ini adalah untuk sebuah misi rahasia. Saya terus penasaran membacanya hingga selesai walaupun endingnya agak nyebelin karena si biang kerok Rudolf nggak mati. Tapi secara keseluruhan, menurut saya buku ini keren. Penulis pandai menyelipkan bagian-bagian yang sering kita temui saat pendakian, dari mulai hypotermia, badai di gunung, mendaki di saat status gunung sedang waspada, hingga bagaimana bila bertemu 'ayam hutan' atau makhluk ghaib lainnya. Tak jarang kan kita bertemu dengan hal-hal seperti itu? Saya jadi membayangkan bagaimana bila novel ini difilmkan, akan repot sekali membuat efek lahar mengalir dan membuat candi yang runtuh di tengah gunung.

Btw, mengingat jalur pendakian yang ada jalur sirathal mustaqim mengingatkan saya pada Gunung Raung, deh. Gunung Arcawana di cerita ini benar ada atau enggak sih? Barangkali saja pembaca 7 Divisi yang lain berminat untuk mendakinya (seperti novel 5 Cm. Heuheuheu).

Saya jarang berkomentar, tapi lebih sering promosi. Hahaha. Buat saya, novel 7 Divisi ini patut diacungi jempol dan recommended untuk para pendaki gunung. Di awal buku saja penulis mempersembahkan novel ini dengan kalimat, "Untuk mereka yang mencintai alam..." Jadi kalau kamu ngaku cinta alam, mending beli dan baca sendiri! Karena, ada sesuatu yang membanggakan ketika kamu dikenal dengan Pendaki 7 Divisi daripada disebut Pendaki 5 Senti :)))))

Ingatlah pribahasa;
Di mana langit dijunjung,
di situlah bumi dipijak.
Kalian mengerti?
-7 Divisi-

Better Man

$
0
0
*pssst, semacam curhat, tapi bukan deng. fiksi biasa aja kok.

***
Better Man
Oleh: Ayu Welirang


Waitin', watchin' the clock, it's four o'clock, it's got to stop
Tell him, take no more, she practices her speech

Sudah tidak terhitung, berapa kali aku melirik ke jam meja sambil memutar lagu Pearl Jam yang beberapa hari terakhir aku putar di telepon genggam busuk milikku satu-satunya. Jam di atas meja mungil di samping kasur yang sudah tak terasa lagi, apakah kapuk atau kasur batu. Selesai menyeterika, lalu melipat pakaianku dan pakaiannya, aku cukup lelah. Aku ingin ditemani olehnya, namun sampai jam 4 pagi, dia belum kembali. Ku pikir, ya sudahlah, aku tidak boleh menjadi perempuan yang egois. Mungkin dia memang harus bekerja semalaman sampai menjelang pagi, mencari nafkah untukku dan masa depan kami berdua. Aku tidak  bisa tidur. Aku lelah dan aku tidak ingin tertidur karena menjaga pintu agar dia dapat masuk ketika pulang. Kalau aku tertidur, aku khawatir dia akan tidur di luar atau di jalanan. 

Sayup-sayup, di tengah kesadaran antara tertidur dan tidak, aku mendengar langkah kaki menaiki tangga kontrakan yang seperti rumah susun ini. Sebuah kontrakan bersusun yang tidak bisa disebut rumah susun, di pinggiran kota Jakarta. Langkah kaki itu cukup pelan, sabar, dan terkesan berhati-hati. Itu dia. Dia pulang. Aku sedikit menitikkan air mata dan aku memaksa diriku untuk berpura-pura tertidur, memaksa diriku untuk tegar, telah tegar menunggunya pulang. Di telingaku masih tertempel headset dari telepon genggamku yang juga masih memutar satu lagu yang daritadi ku putar. Aku masih menangis. Tangisanku samar, karena lampu bilik depan yang kecil dan berfungsi untuk ruang tamu, aku matikan, sehingga hanya menyisakan lampu yang ada di tengah bilik antara dapur seadanya dan kamarku yang hanya sebatas papan saja dengan dapur itu. Aku tidur menghadap tembok kamar, memunggungi dirinya.

As he opens the door, she rolls over...
Pretends to sleep as he looks her over
She lies and says she's in love with him, can't find a better man...
She dreams in color, she dreams in red, can't find a better man...

Aku terisak dan dia mendengar tangisku yang terputus-putus dengan nafas lelahku. Entah dia melakukan apa, aku tidak melihatnya. Suara kompor dinyalakan. Rupanya, dia memasak air hangat. Dari suara, aku bisa tahu kalau dia menuangkan air, mengaduk. Wangi kopi hitam pekat pun tercium. Masih dalam keadaan menangis terisak, ada yang memeluk diriku dari belakang. Memeluk dan bernafas lelah, sama sepertiku. Mencium bahuku dan berbisik. Bisikan menenangkan.


"Neng, maaf pulangnya kemaleman. Tadi pas mau pulang, udah jalan mau ke sini, Cipta malah sms. Dia digebukin sama anak ormas yang pegang parkiran," katanya padaku.

Aku tidak menjawabnya. Aku melepas headset dan berdiam diri lagi. Kemalaman? Dia bilang ini malam? Apa dia tidak tahu kalau ini pagi? Ah ya, aku baru ingat kalau dia memang tidak pernah mengerti tentang waktu dan kegiatan menunggu. Aku pun akhirnya hanya mencoba menghentikan perasaan sensitif yang membuat aku menangis setiap kali menunggunya pulang. Aku sebenarnya ingin bilang kalau aku lelah menunggu. Aku tidak suka menunggu. Tapi, aku buang jauh perasaan itu dan mencoba membuka mata dan berbalik menyambut dirinya pulang.

"Jangan marah ya Neng," katanya lagi, sambil mengusap kepalaku dan mencium pelipis kananku. 

Aku menarik tangan kanannya ke perutku. Masih membelakanginya. Dia memeluk diriku erat. Mengelus perutku dengan tenang dan sabar. Aku sangat tenang. Dia menenangkanku. Kekhawatiran saat menunggunya pulang, hilang seketika.

Dia mencium perutku dan berkata, "Dede kita apa kabar Neng? Sehat kan? Maaf ya dede, babehnya pulang pagi terus. Cari uang buat kita semua, biar dede kuat kaya babehnya."

Aku tersenyum dan mengusap rambutnya yang berantakan tidak tersisir rapi. Aku berkata, "Dedenya daritadi nunggu babehnya. Kangen sama babeh katanya."

Dia kembali ke posisinya. Di sampingku dan dia berbisik lagi, "Dede apa mamanya yang kangen?"

"A, kapan kita pulang ketemu Mama? Biar udah menikah, kalo belum direstui, nggak enak juga," kataku.

Dia mencium keningku dan berkata, "Sabar ya Neng. Aa kumpulin uang dulu buat kita. Aa pengen tunjukin ke orang tua kita berdua, kalo aa bisa membahagiakan Neng dengan segenap usaha. Nanti kalo uangnya udah banyak, kita pulang. Biar nggak ada yang memandang hubungan kita sebelah mata lagi."

Aku tersenyum dan membaringkan diriku di bahu kirinya. Mendekapnya seolah tidak ada lagi esok lusa. Aku menangis bahagia. Aku harus menerima dia apa adanya dan tidak meragukan apapun dari dirinya. Meskipun dia adalah orang yang hidup keras di Jakarta, aku tahu, dia pasti akan pulang juga ke sini. Ke rumahku, rumah kami berdua. Rumah kami yang kelak akan bahagia. Hanya tinggal menunggu waktu sampai nanti semuanya terwujud.

Aku pun berkata lagi sambil mengelus perutku, "A, besok kalo ada uang lebih dari markir, beli kasur baru ya. Kasur ini udah keras. Nanti dede kasian."

"Pasti Neng. Doakan aja ya, supaya semuanya lancar," jawabnya dengan sabar.

Alunan lagu ku putar dalam memoriku. Tak ada lagi keraguan dan egoisme yang aku tunjukkan. Semua akan ada masanya, semua pasti akan menuju bahagia. Tinggal menunggu waktu saja. Tuhan pasti memberi bahagia...

Talkin' to herself, there's no one else who needs to know...
She tells herself, oh...
Memories back when she was bold and strong
And waiting for the world to come along...
Swears she knew it, now she swears he's gone
She lies and says she's in love with him, can't find a better man...
She dreams in color, she dreams in red, can't find a better man...
Can't find a better...man...

Cerpen: Hari Ini Tak Ada Dosa

$
0
0
Semua kita butuh jeda. Kita bukan kuda. Kita bukan kerbau yang tahan dibebat tali kekang. Dan dengan jeda, akan berkurang satu dosa. Jeda untuk meraba keping-keping dosa yang kadang tak terasa.
Semua perlu jeda, agar tak menabrak penyangga. Agar selalu mendapat sangga. Agar berkurang satu dosa dalam setiap renungan per kata. Jeda, seperti koma yang menghentikan untaian kata agar tak terasa hambar didengar dan dilihat mata. Aku rasa, semua butuh jeda, termasuk kita.

Aku berpikir, kita terlalu lama berkubang dalam dosa. Semu dalam cinta. Aku pikir, jiwa ini sudah tak lagi mampu menahan rindu yang menyeruak mesra dan menjelma untaian kata menggoda. Tak sedikit dosa yang kita punya, yang kita bentuk dari tiap rindu tercipta. Ini yang perlu dijeda dan ditahan sampai beberapa masa. Ketika waktu yang tepat tiba, maka jeda itu akan terlepas dan berubah menjadi cinta dan kita yang nyata. Selama ini, rindu yang mencekik leher dan juga hatiku hanyalah sebentuk perasaan maya. Tak bisa utuh aku memilikinya, hanya bisa ku sentuh dalam bayangan maya. Untuk itu, rindu dan dosa perlu dijeda. Apakah kita harus mencipta jeda?

Aku rasa, tak ada yang perlu ditanya atau bertanya. Semua ini jelas menggerogoti jiwa. Pelan-pelan tanpa bisa tahan kuasa. Rindu begitu kuat membebat, sampai hati merasa tersekat. Aku tak ingin disiksa rindu, aku tak ingin disiksa dosa. Hari ini tak ada dosa, dan hari ini kita memulai jeda.

/* stock lama, ceritanya pindahan blog
/* sapu-sapu
Viewing all 246 articles
Browse latest View live