Quantcast
Channel: An Official Site of Ayu Welirang
Viewing all 246 articles
Browse latest View live

Sedang di Kudus? Sempatkan Mencoba Soto Kerbau

$
0
0
Pada perjalanan menuju Muria bulan lalu, berangkat dari Tayu Jepara, saya pulang dari Kudus. Sampai terminal angkot di daerah pabrik-pabrik rokok yang sudah menjadi trademark kota Kudus itu, rombongan saya langsung menyewa sebuah angkutan untuk berkeliling Kudus. Yaaa, hitung-hitung sekalian ke pangkalan bis Nusantara yang nantinya akan membawa kami semua ke Semarang, sebelum dilanjut ke stasiun Semarang Poncol.

Nah, singkat kata, kami menyewa angkutan ini dengan harga seratus lima puluh ribu rupiah saja. Berkeliling Kudus, melihat kearifan kotanya dan tak lupa, mencoba kulinernya. (yummy)

Jadi, kuliner apa nih yang wajib dicoba di Kudus? :D
yummy! :9

Seorang teman yang satu rombongan menawarkan saya untuk mencoba soto kerbau. Hah? Kerbau? Agak gimanaaa gitu ya, kalau membayangkan daging kerbau bisa dikonsumsi. Sebenarnya tidak haram dong. Lagipula, kerbau kan masih satu jenis dengan sapi. Tapi, tetap saja bayangan saya akan hewan yang suka membajak sawah ini agak mengerikan. Hehehehe. Saya membayangkan kerbau yang suka berkubang di lumpur sawah. Yah, jadinya, saya malah membayangkan daging babi. Hehehehe. Tapi, akhirnya saya mencoba juga soto ini.

Waktu mencari lokasi soto kerbau yang paling enak di Kudus, teman saya meminta supir angkutan kami untuk mengantar ke lokasi soto kerbau di dekat alun-alun saja. "Kalau nggak salah, soto kerbau Bu Dibyo Pak!" begitu kata teman saya. Tapi, entah karena Bapak supir yang memang tak kenal Bu Dibyo, atau beliau ada rujukan lain untuk memakan soto kerbau. 

Soto Kerbau Karo Karsi
Setelah berputar-putar sampai ke jalan utama yang terpisah sungai di tengahnya, supir angkutan membawa kami ke lokasi soto kerbau "Karso Karsi". Melihat dari bentuk bangunan yang besar, dengan beberapa mobil terparkir di depannya, saya mengira kalau soto kerbau ini pastinya sudah terkenal di Kudus. Nah, kami semua turun dan bersiap memesan.

Menunggu soto kerbau yang tak kunjung datang, saya tak sadar kalau saya sudah menghabiskan dua bungkus gendar. Apa sih gendar? Itu lho, makanan khas orang kampung. Hehehe. Saya tinggal di kampung. Jadi, ketika nenek atau ibu saya menawarkan gendar, saya memakannya seperti memakan keripik singkong atau lays yang ada di sevel. Pokoknya, gendar itu makanan dari nasi, yang digepengkan, dijemur, lalu digoreng. Jadi, kita seperti makan nasi dalam bentuk kerupuk gituuu. :D

lapar
Teman saya sudah menghabiskan dua teh botol, sementara soto kerbaunya belum diantarkan. Perut sudah mulai meminta jatah hariannya. Apalagi, sejak turun dari gunung Muria yang jalannya berliku-liku seperti itu, cacing di perut saya sepertinya sudah terlanjur melahirkan. Jadinya, saya sudah tak sabar ingin mencoba soto kerbau sembari mengobati rasa lapar saya. :9

Nah! Soto kerbaunya dataaaaaaaang. "Duh, semoga bisa makan soto ini. Amin," gumam Mbak Suci yang saat itu duduk di depan saya dan makan kerupuk raksasa bersama saya. Hehehehe. Setelah pesanan datang, kami semua makan dengan lahap.

Nah. Kenapa sih di Kudus ini malah memakan soto kerbau bukannya sapi?

Begini ceritanya...

Ketika zaman penyebaran Islam di pulau Jawa khususnya Jawa Tengah oleh Wali Songo, mayoritas masyarakat di Kudus pada saat itu masih beragama Hindu. Dalam agama Hindu, tentu saja kita tahu bahwa sapi adalah hewan yang dimuliakan atau disembah. Jadi, untuk menghormati pemeluk agama Hindu, Wali Songo memperbolehkan masyarakat Kudus untuk mengkonsumsi daging kerbau. Nah, sejak saat itulah soto kerbau menjadi ciri khas kota Kudus, selain rokoknya. Dan sampai sekarang, kepercayaan yang sudah mengakar menjadi budaya itu, tetap ada sampai sekarang. Tentunya, kalau nggak ada soto kerbau dan rokok, Kudus nggak akan jadi seperti sekarang bukan? Hehehe.

Kalo tanduk, bayar lagi yaaa! :D
Menikmati soto kerbau

Soto Karso Karsi - Jalan Ahmad Yani

Kira-kira, begitulah kisah singkatnya. Nah, jadi tunggu apalagi! Sedikit ulasan saya, daging kerbau ituuuu ternyata kayak daging bebek yah! Dagingnya agak kasar namun berserat. Kalau mampir Kudus, jangan lupa ya sempatkan diri untuk mampir menikmati soto kerbau! Untuk lokasi, susuri saja sepanjang Jalan Ahmad Yani Kudus, nanti di sebelah kiri akan kita lihat soto kerbau "Karso Karsi" dengan gambar semar di sisi kanan dan kirinya. Hehehe. Selamat jajaaaaan! :D

[Ayu]

Belajar Memahami Batas - Sebuah Ulasan Film

$
0
0
Dalam kejenuhan yang luar biasa, saya iseng mencari film yang sekiranya bisa saya unduh. Hehehe. Maklum lah, mengaku pecinta film, tapi nggak mau sisakan cost lebih untuk beli DVD original. Mental saya agak-agak mental gratisan.

Keisengan saya membuahkan hasil. Sebuah film tahun 2011 besutan Rudi Soedjarwo menarik hati saya. Sejak dulu, saya memang suka sekali dengan film-film yang dibuat oleh Rudi Soedjarwo, di samping saya menyukai film-film Riri Riza. Ya, tak pikir panjang, saya mengunduhnya. Beruntung, data film tersebut belum dihapus oleh pihak penyedia jasa unduh tersebab hak cipta selalu menyebabkan data-data film itu dihapus. Hehehe. Unduh deeeeeeh. :D

Film Rudi Soedjarwo kali ini berlatar di Borneo, alias Kalimantan, tepatnya agak ke sananya Pontianak gitu kalau tidak salah. Film ini mengisahkan tentang seorang perempuan yang ditugaskan untuk melihat apa yang terjadi pada program CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahannya. Tiap kali perusahaannya mengirim relawan untuk mengajar, selalu pulang dalam jangka waktu yang bisa dibilang tak lama. Maka, atas perintah bosnya (Amoroso Katamsi), perempuan yang bernama Jaleswari (Marcella Zalianty) berangkat menuju Kalimantan.

Film ini tidak bertele-tele, sebab di awal film dimulai, sudah disuguhkan dengan bentangan alam Kalimantan. Awal kisahnya, menggambarkan perempuan lain--yang belakangan diketahui bernama Ubuh--berlari kencang dikejar dua orang pria. Ubuh (Ardina Rasti), berlari dan terjatuh. Namun, ia jatuh di lokasi yang tepat, di titik perbatasan antara Kalimantan dan Malaysia, sehingga ia segera ditolong oleh aparat yang menjaga perbatasan tersebut, salah satunya adalah Arip (Arifin Putra).

Kembali ke Jaleswari. Sesampainya di Kalimantan, Jales bertemu Arif, ketika mobil yang akan membawanya ke pangkalan kelotok (perahu yang biasa dipakai untuk lintas daerah), mogok karena ban mobilnya bocor. Arif datang dengan teman-temannya dari perbatasan. Setelah ban mobil diperbaiki, Jales pun melanjutkan perjalanan. Setelah menaiki perahu beberapa jam, Jales sampai di desa yang dituju. Desa yang asri, dengan budaya Dayak yang masih kental. Sesampainya di sana, Jales disambut oleh salah satu murid Adeus. Jales langsung diantar untuk menghadap kepala suku, atau orang yang dituakan secara adat. Kepala suku Panglima Adayak (Piet Pagau), menyambut Jales dengan sukacita. Penyambutan dengan meminum alkohol khas Kalimantan dan daging rusa pun tak luput dari hari pertama Jales berada di sana. Seorang anak bernama Borneo pun menyambut Jales dengan mengambil telepon selulernya dan mencoba berbicara dari sana. Padahal, telepon itu tak bisa digunakan karena tanah tersebut kesulitan sinyal. Tapi, Jales tidak marah, malah tertawa dan mencoba memahami Borneo (Alifyandra).

Dan hari-hari pun dijalani Jales dengan penuh kebingungan. Anak-anak tak suka belajar, seolah ada sesuatu atau seseorang yang menyuruh mereka untuk tak sekolah. Namun, Panglima kemudian memberitahu Jales, bahwa untuk bisa menyatu dengan anak-anak itu, maka Jales harus berbicara dengan bahasa mereka, bahasa Borneo, bahasa alam. Dan Jales pun berpikir keras. Ketika ia menemukan solusi dan meminta bantuan Adeus (Marcell Domits), Jales malah tidak mendapat dukungan karena Adeus diancam oleh seseorang yang membangun desa itu dengan bantuan luar. Orang itu adalah seorang pemilik toko kelontong bernama Otig, perantau negeri seberang yang tinggal di desa beradat Dayak itu.

salah satu adegan dalam film "Batas"
Makin hari, Jales makin tertarik dengan Kalimantan. Jales yang berhasil memahami bahasa alam, bahasa hutan, akhirnya bisa kembali mengajar anak-anak. Namun, keberadaan Jales yang mengancam suatu pihak membuatnya terus diteror. Di tengah kalutnya Jales dan keinginannya untuk pulang, keramahan hati masyarakat desa juga Panglima Adayak dan Bunda Nawara (Jajang C. Noer). Meski teror terus berniat menghancurkan mereka, tapi Jales dan yang lainnya tak gentar. Jales terus mencoba menguak rahasia yang ada di balik kegilaan Ubuh dan dipulangkannya guru-guru dari program CSR.

Film ini memang tak hanya menyajikan bentangan alam. Film ini menyajikan pula kearifan Kalimantan. Ada beberapa yang menarik dalam film ini, seperti kata-kata Jales yang mengutuk para konglomerat kota, yang menguras terus kekayaan alam Kalimantan. Film ini juga menyajikan satu hal yang paling penting, yaitu bagaimana seorang pendatang seperti Jales bisa berakulturasi dengan budaya sekitar, dan bagaimana para penghuni desa itu bisa bertahan dalam lingkungan mereka yang jauh dari globalisasi. Rupanya, orang-orang desa harus bertahan dari batas-batas. Mereka harus bertahan hidup di antara keinginan dan kenyataan. Keinginan bahwa mereka harus menyekolahkan anak-anak sampai sarjana, tapi terhempas kenyataan bahwa mereka berada di daerah terpencil yang tak tersentuh dunia. Dan dengan kehidupan seperti ini, Jales mencoba bertahan.

Seperti film-film Rudi Soedjarwo lainnya yang juga sukses besar, saya menganggap bahwa film ini jadi salah satu masterpiece Rudi Soedjarwo meski ada celah di beberapa titik, seperti yang dijelaskan di sini. Ya meskipun banyak juga karya lainnya yang lebih hebat, namun saya paling suka yang ini. Hehehe. Meski tak begitu booming, saya yakin kalau film ini diputar di luar, pasti sangatlah laku. Sayang memang, animo masyarakat Indonesia akan film berkualitas masih jauh di bawah rata-rata. Ya, jadinya saya bercerita di sini pun, mungkin tak banyak yang peduli atau ingin menonton.

Kira-kira begitulah sedikit ulasan saya tentang film ini. Maaf tak saya ceritakan detil, takutnya spoiler, nanti teman-teman jadi nggak mau nonton deh. :D


Semalen dan Masa Kecil

$
0
0
Pulang ke kampung halaman memang selalu berhasil menerbangkan memori yang nyaris hilang. Melewati jalan raya, pematang sawah, atau bahkan toko mainan favorit kala kita kecil adalah salah satu hal yang paling membuat saya melamun di dalam mobil. Seperti tradisi mudik tahun ini, yang saya lewati dengan mobil keluarga, melewati Bandung di lingkung gunung, transit di Tegal sebelum akhirnya sampai di Semalen dan rumah masa kecil.

Semalen sekarang sudah berbeda. Jalanan batu kali yang besar-besar kini sudah berganti jadi jalan aspal dan tak lagi bersahabat seperti dulu. Anak-anak kecil yang berangkat sekolah dengan berjalan kaki sudah dipastikan akan jarang ditemui. Sebab, sekarang jalanan di depan rumah kecil saya sudah berubah menjadi jalur alternatif ke arah Purworejo dan Yogyakarta. Yah, apa mau dikata. Makin mengglobal, kebutuhan manusia akan alat transportasi pun makin tak karuan. Mobil dan motor bisa ditemukan di mana saja. Seolah-olah, saat ini sangat mudah memiliki motor. Tanpa memikirkan akan jadi apa bumi yang terpolusi, manusia tetap menumpuk kendaraan penghasil polusi. Dan tahun ini, lebaran ini, kendaraan berpolusi itu berpindah dari kota besar ke daerah kecil tempat saya besar.

Lalu lalang mobil di depan jalan rumah nenek seperti tak mengindahkan nafas hidup damai para penghuni desa. Saya duduk di beranda rumah Bude, mencoba tak menggubris kendaraan-kendaraan itu. Duduk sambil melihat sepupu saya yang masih kecil bermain petasan. Cahaya berpendar ke langit Semalen, dan masa kecil saya pun kembali berputar dalam ingatan.

Esok harinya, saya berniat menyusuri sebagian masa kecil saya yang banyak dihabiskan di kebun belakang rumah nenek. Memanjat pohon kopi, mencari salak yang ditanam sendiri, atau menunggui durian jatuh dari pohon sambil bermain kartu remi. Ya seperti itulah masa kecil saya di Semalen, sebuah desa harmonis di bagian utara Magelang. Dan di usia saya yang sudah kepala dua, saya ingin kembali merasakan udara segar yang pernah saya rasakan pada masa kecil. Maka, sore-sore setelah mencuci pakaian selama mudik, saya bergegas untuk menyusuri kebun.

Banyak yang berubah, terutama sawah yang luas di belakang rumah. Sawah itu kini perlahan tergantikan beton-beton, mengubah bentuknya jadi terasering perumahan, bukan lagi sawah. Kebun kopi yang ada di sebelan wetan, kini sudah berkurang  dan tak terurus. Saya bisa pastikan, kini pepohonan itu dihuni oleh berjenis-jenis serangga dan ular. Daun jatuh yang rimbun sangat cocok jadi tempat persembunyian ular kebun. Yah, saya mengurungkan niat untuk memanjat pohon dan meneruskan perjalanan menyusuri kebun bambu sebelum sampai di kebun pohon jarak dan sawah yang tinggal sisa.

"Nanti, sawahnya ini bakal jadi perumahan lagi Mbak Ayu," gumam sepupu saya. Saya pun terduduk di antara pohon yang masih anak-anak, yang ketika dewasa nanti, kayunya akan sangat mahal sekalli harganya. Melihat sekeliling yang sejuk, sepertinya pada tahun-tahun yang akan datang, tak akan lagi bisa didapatkan. Sedih juga. Ternyata para kapitalis pemakan nuansa hijau mulai bergerak ke pinggiran kota, menuju desa dan mengambil apa yang mungkin diambil. Sedih memang, tapi itu mungkin sudah jadi hukum alam. Dan yang bisa saya lakukan hanya menikmati apa yang masih tersisa dari kampung halaman.

"Mbak ayo cari ikan kecil!" Nafis, sepupu saya yang masih SD lalu berlari melewati kebun jagung, mencari-cari ikan kecil di dekat kebun jagung. Sawah yang sepertinya baru ditanami itu masih berair. Banyak ikan-ikan kecil di sana. Saya tertawa.

Sudah berkeliling, duduk di tepi sawah sambil mengamati perumahan yang akan dibangun secara utuh sampai beberapa tahun ke depan. Sementara itu, Nafis menuju pohon jagung dan mengambil beberapa jagung tua. Kapan lagi bisa memakan hasil bumi sendiri tanpa membeli? Ya saya rasa, di kota tak mungkin mendapatkan hal seperti itu, sebab tak ada lagi yang bisa ditanami di kota. Betapa masa kecil saya di Semalen penuh keceriaan, tak seperti masa tua yang dihabiskan pada lautan robot pekerja di belantara beton.

Empat buah jagung sudah dibawa pulang dan hari pun menjelang malam. Kelak, memori masa kecil saya mungkin akan benar-benar hilang, seperti hilangnya sawah-sawah masa kecil saya. Semua akan terhapus seperti terhapusnya lahan hijau di belakang rumah nenek saya dan berganti sawah-sawah beton dengan pagar tinggi yang dingin dan angkuh. Kalau bisa saya meminta... Kota... Tolong jangan datang ke desa, cukuplah kalian hancurkan kota, tak perlu mengambil seluruh desa masa kecil saya. Kalau bisa... :')

Ya, ini saatnya pulang, kembali ke rumah lempung nenek, menikmati daging entog yang disembelih sendiri, menikmati jagung bakar yang dipetik sendiri, menikmati sayuran segar dari kebun sendiri dan menikmati sisa liburan pada rumah masa kecil yang entah akan jadi apa di masa depan nanti.

Sekilas Tentang Ultralight Hiking

$
0
0
Merasa keren bawa tas carrier seukuran kulkas ke gunung? Merasa kuat? Merasa hebat? Tapi, apa dampak yang terjadi ketika membawa tas sebesar itu dengan perlengkapan kelewat berat dalam pendakian yang hanya memakan waktu dua hari satu malam? Tentunya, encok saudara-saudara! Hehe.

model: Bang Djal GM :p

Nah, kali ini, saya ingin sharing mengenai keajaiban packing yang lebih ringkas, namun tetap mendapatkan seluruh fungsi dari peralatan yang akan kita bawa ketika melakukan pendakian. Kapan kita membutuhkan packing yang ringan? Nah, ini yang kadang jadi perdebatan. Tentunya, kita baru bisa mengaplikasikan teknik packing seperti ini setelah mengatur perencanaan untuk pendakian. berapa hari kita akan melakukan pendakian dan apa saja makanan yang nantinya akan menjadi persediaan atau ransum kita selama pendakian, dari naik sampai turun lagi dengan selamat. Setelah merencanakan hal tersebut, barulah kita dapat mengaplikasikan teknik packing kita. Nggak lucu kan kalau kita ke gunung selama dua hari tapi kayak bawa kulkas terus menghambat kita dan malah memungkinkan kita untuk membuang logistik? Nah, kita harus benar-benar sangat selektif ketika melakukan perencanaan sehingga semua benda dan logistik yang kita bawa, akan menjadi tepat guna.

Keajaiban packing ringkas nan ringan kali ini ceritanya akan diaplikasikan dalam pendakian standar. Packing seperti ini sering disebut sebagai ultralight hiking/backpacking. Nah, apa sih yang dimaksud dengan ultralight hiking. Berikut ini penjelasan seadanya dari saya, mengenai ultralight.

Ultralight backpacking is a style of backpacking that emphasizes carrying the lightest and simplest kit safely possible for a given trip. Base pack weight (the weight of a backpack plus the gear inside, excluding consumables such as food, water, and fuel, which vary depending on the duration and style of trip) is reduced as much as safely possible, though reduction of the weight of consumables is also applied.
The terms light and ultralight commonly refer to base pack weights below 20 pounds (9.1 kg) and 10 pounds (4.5 kg) respectively. Traditional backpacking often results in base pack weights above 30 pounds (14 kg), and sometimes up to 60 pounds (27 kg) or more. Enthusiasts of ultralight backpacking sometimes attempt super-ultralight backpacking (SUL) in which the base pack weight is below 5 pounds (2.3 kg) and extreme-ultralight backpacking (XUL) in which the base pack weight is below 3 pounds (1.4 kg). *wikipedia

Seperti yang sudah dijelaskan, ultralight backpacking adalah teknik packing yang menekankan kita untuk membawa kit atau gear yang ringan namun tetap aman dan tidak mengurangi kebutuhan benda pada saat akan melakukan perjalanan atau pendakian. Packing ringan ini termasuk ke dalam tas (backpack), berikut gear yang dibutuhkan, juga makanan, air, bahan bakar, dan perintilan kecil. Biasanya ultralight mengacu pada berat atau bobot packing kita yang (kalau bisa) tidak lebih dari 27 kilogram. Bahkan, beberapa penggiat alam terbuka yang menyukai ultralight backpacking ini biasanya mengurangi packing mereka sehingga hanya berkisar 14 kilogram ke bawah. Tidak terlalu berat bukan? Resiko encok juga berkurangnya efektifitas selama melakukan pendakian pun dapat lebih diminimalisir. Jadi, mendaki gunung pun akan lebih menyenangkan dan kita bisa lebih banyak melakukan eksplorasi alam daripada mengeluh kelelahan atau keberatan dengan beban yang dibawa.

Dulu, sejarahnya ultralight, dipopulerkan oleh Ray Jardine, seorang pemanjat tebing yang menulis buku pedoman bagi para hiker di tahun 1992, dan kemudian berganti judul menjadi Beyond Backpacking pada tahun 1999. Buku ini merangkum dasar-dasar bagi para ultralight hiker, sebagai pedoman bagi teknik ultralight yang banyak digunakan sampai saat ini.

Beberapa inti dari ultralight hiking ini adalah mengurangi bobot benda. Apa saja benda yang bobotnya harus dikurangi itu? Nah, di sini kita hanya melihat tiga barang utama. Pelindung dari cuaca (utamanya hujan), sleeping system, dan ransel adalah tiga item utama yang dibawa oleh hikers atau backpackers. Mengurangi berat tiga benda ini tentu saja akan berpengaruh dan akan mengurangi keseluruhan packing yang kita lakukan.

1. Packing besar (carrier dan isinya kegedean) | kira-kira bisa tebak bobotnya?
2. Packing lebih kecil namun semua fungsi benda ada | bobot nggak sampai 15kg
3. Lebih kecil dari nomer 1, semua isinya ada (meski bukan kategori UL soalnya masih berat :p)

Shelter / Tempat Perlindungan


Bagian yang utama tentu saja tempat perlindungan untuk kita di alam terbuka. Biasanya, yang umum tentu saja tenda, tapi tenda relatif berat. Kita bisa memilih tenda ultralight yang berkisar antara 1.5 kg sampai 2 kg, dan ini masih bisa diminimalisir. Karena perintilan tenda dome yang banyak, maka disarankan penggunaan tenda bisa dengan yang model ultralight atau diganti dengan terpal sederhana atau bivy, dari flysheet yang tentunya tahan air. Untuk dikondisikan saat badai, tentu saja kita harus memasangnya dengan kuat agar tak terbang ketika hujan angin. Perlu sedikit teknik menyimpul tali saat mengaplikasikannya sebagai pengganti tenda untuk tempat tidur kita. Dan penggunaan lain, tentu saja melalui tidur elevasi, yang sekarang ini sedang marak. Kita bisa menggunakan teknologi hammock yang dirancang sedemikian rupa agar tahan dalam cuaca dingin. Dan ada juga teknologi lain yang tentunya bisa dieksplorasi untuk mengurangi beban tenda.

~ Sleeping System

Bagian kedua dari the big three, adalah sistem tidur kita di alam terbuka. Biasanya bagaimana? Sudah pasti banyak yang memilih menggunakan sleeping bag dan matras untuk tidur. Ini yang umumnya terjadi. Kita membawa gulungan matras tentara dan sleeping bag tebal berbahan dakron yang kesannya hangat. Padahal, selain bobotnya yang berlebih dan memberatkan packing kita, SB berbahan dakron ini tingkat insulasinya terhadap dingin masih kurang. Dan untuk matras tentara, sebaiknya diganti dengan matras beralaskan aluminium dengan busa styrofoam tipis, yang tentu saja bisa dilipat dan tidak perlu kita bawa-bawa ketika akan pergi ke alam terbuka. Nah, mengganti dua jenis sistem tidur ini saja sudah bisa mengurangi beban kita di pundak nanti. Dan bentuk lainnya, kita bisa memakai jaket dengan insulasi tinggi, seperti yang berbahan down, atau bulu angsa. Untuk kaki, tentu saja bisa memakai sarung. Dengan menempel ke kulit, insulasi pori-pori terhadap dingin, lebih terjaga. Alami bukan? Bisa dicoba. :D

~ Ransel

Dan poin yang ketiga, nampak sederhana namun menjadi inti dari ultralight hiking / backpacking, adalah ransel. Ransel yang biasanya dipakai untuk ultralight hiking adalah ransel yang kuat namun ringan. Ransel ini biasanya bisa membawa beban sampai 11 kilogram, namun berbahan kuat. Biasanya, ransel ini dibuat dalam paket tanpa frame (biasanya beberapa merek ransel ada bingkai besinya), bahannya nilon ripstop, silnilon, atau Dyneema dengan batas membawa barang sampai 11 kilogram. Dan kadang, ada beberapa penggila ultralight hiking yang membuat gears mereka sendiri. Biasanya mereka membuat ransel yang bisa membawa beban sampai sepuluh kilogram. Untuk ransel, silakan memilih sendiri bagaimana yang enak dipakai di pundak kita namun tetap ringan dan nyaman saat dibawa berlari. Seperti itulah kira-kira. Hehe.


Nah, itulah sekilas tentang ultralight hiking dari klasifikasi umum, sebagai pengantar. Untuk ke depannya, mungkin saya akan memberikan beberapa tips packing yang ringan untuk berkegiatan alam terbuka, sudah termasuk tiga item utama di sini ditambah dengan beberapa perlengkapan lainnya, seperti jaket, pakaian, logistik atau makanan, alat masak dan makan, juga perintilan lainnya. Kira-kira bagaimana mengaturnya agar tetap ringan? Tetap simak di blog ini ya!

Oh ya, ada beberapa referensi juga yang bisa dikunjungi untuk memahami seputar ultralight hiking / backpacking. Silakan mampir di sini:




[Ayu]

Jurnal Pendakian: Gunung Prau dan Romantisme Langit (30 Agustus - 01 September 2013)

$
0
0

Sebenarnya, waktu itu belum gajian dan saya seharusnya ada di kampus untuk mengikuti perkuliahan. Tapi, seorang teman kuliah mengkonfirmasi kalau hari Sabtu, 31 Agustus, kegiatan perkuliahan ditiadakan dan digeser ke Sabtu yang berikutnya. Wah, ingin kemana ya? Bingung juga. Yah maklum lah, pekerja. Kalau gajian belum keluar kan ribet. Hehehe. Tapi tapi tapi... Gajian bukanlah penghalang kaki yang gatal untuk pergi menghilang! Ya, kaki gatal jadi pedoman saya selama ini. Kalau sudah nggak betah, itu artinya saya harus pergi, entah ke gunung, pantai, pasar kaget, museum atau ke mana saja. Dan kali ini, pilihan jatuh ke salah satu gunung yang berada di dataran tinggi Dieng, tepat berada di tiga kabupaten sekaligus karena letaknya yang berada di tengah-tengah perbatasan antara Kabupaten Kendal, Wonosobo, dan Batang. Ya kondisinya seperti gunung Muria yang juga ada di perbatasan para kabupaten di utara Jawa Tengah.

Kali ini, saya berangkat bersama ke dua puluh delapan orang lainnya. Agak lupa sih jumlahnya berapa. Yang pasti, sekitar itulah. Jum'at malam, 30 Agustus, saya dan Abang mulai bersiap (nggak usah tanya abang yang mana ya!). Pulang kerja, langsung menuju kost untuk mengambil ransel berikut perabotan lenong yang sudah saya packing. Hehehe. Langsung ke depan Menara Jamsostek untuk naik Kopaja 66 trayek Manggarai - Blok M via Sudirman. Nanti, rencananya saya akan turun di Gelora Bung Karno, untuk kemudian berjalan kaki sampai ke depan Hotel Mulia. Di sanalah bus pariwisata berjumlah 32 seat sudah terparkir. Saya kira, saya yang terakhir datang. Rupanya, masih ada satu orang yang ditunggu, yaitu Mbak Tiaaaa. Hehehe. Nah, setelah datang, barulah bus benar-benar bertolak dari seberang Hotel Mulia, untuk kemudian ikut berjejalan di jalanan Sudirman yang macet, masuk tol Lingkar Dalam dan bermacet-macet ria sampai nanti keluar tol Cikampek.

Nah, singkatnya (berhubung saya tidur sepanjang perjalanan), hari Sabtu 31 Agustus, bus sampai di Wonosobo terlalu siang. Entah karena supirnya yang penakut atau memang sangat hati-hati, pada saat memasuki Garung, bus sudah mulai tidak stabil. Beberapa kali bus pariwisata kami disalip oleh angkutan-angkutan elf yang menguasai daerah tersebut. Sampai akhirnya, di suatu tanjakan menuju dataran tinggi Dieng, supir bus kami sudah angkat tangan. Bendera putih diterbangkan, dan satu per satu dari kami turun dari bus beserta ransel-ransel kami yang super berat (mau piknik soalnya), dan kami pun memindahkannya ke dua elf yang disewa sampai dataran tinggi Dieng.

Sampai di lokasi wisata, beberapa orang mencari kamar mandi untuk bersih-bersih, beberapa makan, dan sisanya duduk-duduk santai tidak melakukan apa-apa. Hehe. Saya sendiri hanya packing ulang untuk mengecek perlengkapan dan membagi beban bersama dengan Abang. Nah, sambil menunggu Abang selesai makan, saya jalan-jalan keliling, melihat-lihat siapa tahu ada yang menarik. Hehehe.

packing ulang dulu yaaaa

Sekitar pukul setengah dua siang, kami mulai berkumpul untuk naik. Cuaca cukup cerah berawan, sehingga tidak begitu panas ketika naik. Menurut perkiraan dan menurut orang yang sudah pernah naik, katanya untuk mencapai lokasi camp hanya akan memakan waktu tiga jam. Jadi, kami memutuskan naik siang dengan asumsi akan sampai lokasi camp sebelum petang datang dan membuat saya tidak konsen berjalan. Hehehe. Maklum lah, saya agak malas kalau naik malam, sebab saya malas untuk melihat kaki saya sendiri karena terlalu takut melihat sekitar. Oke, abaikan yang ini karena saya hanya berlebihan saja. :p

Pemandangan yang disuguhkan sepanjang jalan menuju campsite memang menakjubkan. Meski gunung ini ada di titik elevasi 2565 mdpl saja, namun karena letaknya yang berada di dataran tinggi membuatnya jadi lebih tinggi dari titik elevasinya sendiri. Kabupaten Wonosobo dengan hiasan Telaga Warna bisa kita lihat di sepanjang perjalanan, belum lagi ketika berhenti di tiap pos. Di pos-pos yang sudah disediakan pihak gunung Prau, kita dapat melihat ke arah Sindoro-Sumbing yang menjadi siluet cantik ketika sore. Awan-awan putih seperti bulu domba terlihat menghiasi langit Wonosobo hari itu. Saya jadi tidak sabar mencapai campsite. Mencuri dengar, katanya lokasi campsite terdiri dari undakan sabana yang luas, seperti bukit teletubbies dan dari sana kita bisa melihat pemandangan yang lebih kaya.

awan bulu domba dan perbukitan
view Telaga Warna dan sekitar
tugu perbatasan Wonosobo - Batang | sayang ada vandalisme :(

Saya berjalan di kloter pertama, agak terpisah dari Abang yang menjadi sweeper pada hari itu. Saya sampai di titik terakhir yang akan membawa kita berjalan santai sampai ke campsite, yaitu sebuah lokasi terbuka dengan tower atau BTS. Di sini, angin cukup kencang, sehingga membuat saya bergidik. Dan satu per satu rombongan lain pun datang. Waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul setengah lima lewat, sehingga semua harus bergerak cepat agar sampai di campsite sebelum petang. Setelah berfoto dengan awan-awan yang manis di bawah kaki, kami pun bertolak lagi untuk berjalan santai di jalur landai menuju bukit teletubbies.

salah satu papan di dinding BTS yang terpagar
batas daerah Wonosobo - Kendal
sempetin foto BTS, padahal udah menggigil

Sekitar satu jam, mulut masih ternganga saja. Jalan menuju bukit teletubbies pun disuguhi pemandangan magis. Awan-awan belum mau beranjak namun langit merah muda bersemu jingga sudah ikut meramaikan sore. Saya ingin menangis, ingin teriak, ingin melakukan apa ya, sampai bingung sendiri. Keindahan Tuhan memang sukar diungkap sebatas kata. Karena, kalau jadi kata ya hanya seperti tulisan ini saja. Hehehe. Hanya mata yang bisa menangkap keindahan, merekamnya, dan hanya alat khusus pembaca pikiran saja yang bisa mengeluarkan imaji itu, tidak dengan foto secanggih apapun karena hasilnya tetap beda. Tapi, bagaimanapun, saya ingin membaginya lewat tulisan ini. Jadi, kalau ternyata berminat, silakan teman-teman berangkat ke sana juga ya! Hehe.

awan lari-lari :p
berjalan di atas senja

Nah, beberapa menit setelah petang, akhirnya suara-suara pun terdengar. Ah, rombongan kami terlambat datang rupanya. Lokasi campsite sudah penuh dengan hiruk-pikuk manusia. Saya agak kecewa juga sih, karena niatan saya untuk menyepi-meditasi harus diabaikan karena suara-suara itu. Tapi tak apa. Toh, esensi berjalan kan bukan hanya untuk memenuhi ego diri sendiri, tapi untuk meleburnya bersama ego lain. Jadi, saya duduk, menunggu aba-aba lokasi mana yang bisa digunakan untuk membangun tenda, dan setelah mandat tiba, saya dan Abang mulai membangun tenda kami. Angin kencang tak menghalangi tangan menggigil saya yang tetap semangat menancapkan pasak tenda ke tanah. Maklum, semangat karena ingin cepat-cepat menghangatkan diri. Hahaha.

Sudah memasang tenda, saya berganti pakaian dengan yang kering dan mulai eksperimen! Apa lagi kalau bukan memasak! Hehehe. Kali ini, seperti biasa saya akan masak omelet dengan roti panggang. Wah, rupanya masakan saya dan Abang laku juga. Buka warung enak kali ya? :P

Tak banyak yang bisa saya ceritakan pada malam hari, karena masing-masing kami masuk tenda dan tertidur. Kondisi cuaca agak kurang baik. Cerah memang, tapi angin sangat kencang. Hanya suara gitar dan nada-nada beberapa orang saja yang masih terdengar. Kulit mereka mungkin kulit badak, sehingga mereka kuat menyanyi di tengah angin kencang seperti itu. Kalau saya sih, ah mending selimutan di tenda.

Pagi harinya, Minggu 01 September, saya mendapati pemandangan romantis lainnya. Ah, saya suka sekali berada di ketinggian. Sebab, dari sinilah saya bisa melihat awan terbang di bawah kaki. Seperti lagu Vina Panduwinata, awal September ini dilewati dengan ceria. Orang-orang terlihat senang, gembira, sejenak melupakan rutinitas hidup yang membosankan. Semuanya seolah bingung, bagaimana cara terbaik untuk mengabadikan momen tersebut dan membaginya dengan orang lain. Berbekal kamera seadanya, saya pun mencoba untuk mengambil momen-momen penting yang akan dibagikan pada tulisan kali ini.

langit pagi, Sindoro-Sumbing (kanan), Merbabu - Merapi (kiri) | disapa gunung :D
Haiiiii matahariiii! :D
let's jump! :D

Siklus matahari yang muncul pagi hari selalu ditunggu. Semua bersiap untuk menunggu kelahiran putra pagi ini. Dan setelah itu semua berakhir, matahari seperti biasa saja, berada di atas kepala. Panas, menyengat, namun tanpa saya duga, kondisi gunung Prau yang sedikit pohon menyisakan beberapa siluet pohon di beberapa titik dan itu membuat semuanya jadi lebih romantis. Saya berkeliling untuk mengambil foto, dengan catatan harus kembali untuk masak, beres-beres tenda juga, karena rombongan akan turun dari Desa Patak Banteng dengan target turun pukul sepuluh.

bonus... numpang prewed sebelum turun. :p

Puas mengambil foto, saya masak untuk sarapan dan beres-beres untuk turun. Sekitar pukul sepuluh pagi, saya benar-benar turun dengan yang lain. Jalan turun ini cukup curam, sehingga jalur agak macet karena antrian manusia yang turun dengan hati-hati. Saya menyempatkan diri untuk memotret lagi. Singkatnya, sampai di perkebunan warga sekitar pukul dua belas siang, dan rombongan saya langsung menuju rumah salah satu kerabat untuk bersih-bersih dan menuju jalan pulang.

Perjalanan kali ini menyisakan kesan mendalam bagi saya. Mengenal orang-orang baru yang belum pernah saya tahu sebelumnya dan berbagi keindahan bersama mereka. Rasanya, tak ada lagi romantisme pagi seperti yang ada pada waktu itu. Entahlah, mungkin saya akan menunggu perjalanan berikutnya yang lebih berkesan. Mungkin...

Salam.

[Ayu]

Langit Indonesia Masih Tetap Ramah

$
0
0
Rasanya sudah lama tidak naik gunung. Mulai naik lagi dan setelah turun, kaki rasanya kebas, mati rasa. Pulang dari Prau, saya bahkan tak bisa menekuk lutut. Harus selalu lurus. Tapi, memang harganya bersusah-susah itu pasti ada, seperti keindahan yang tak terungkap kata. Cahaya dan langit yang membias merah muda, romantis membayangkannya. Itulah alasannya kenapa saya lebih suka berada di ketinggian daripada di lokasi nol meter DPL. Saya suka pantai memang, tapi tak bisa mengalahkan rasa suka saya terhadap gunung-gunung yang masih bisa dieksplorasi di Indonesia. Untuk itu, saya akan terus berjalan. Tidak untuk mengeksploitasi mereka, hanya untuk bergumam bahwa, "Tuhan sungguh baik. Tuhan sungguh tak pernah lupa untuk menyisakan sedikit rasa surga di dunia." Apakah surga seperti pemandangan semesta yang saya lihat tempo hari? Ah, berandai-andai hanya membuat saya terus tersenyum saja. Langit Indonesia masih ramah dan romantis seperti biasanya. Kalau saya tidak mendapatkannya di Jakarta, mungkin bukan Indonesia yang salah, tapi lebih kepada Jakarta yang tak mencerminkan identitas Indonesia. Ya maklum, bangsa kita yang besar ini sedang dilanda krisis identitas. Well, ini sedikit pecahan memori di Gunung Prau kemarin, beberapa hasil foto yang sempat saya rekam di mata dan di kamera. Selamat menikmati!

"...If once we had decided to forget, then we alone can decide to remember. We all started the same journey. This had been an illusion of a journey, for it didn't have a start and didn't have an end." (*)



Once, in a dream... I saw you, telling me that you've traveled in the dark just to find that little spot, how you settled for a light in the vastness of the night. And I saw some tears were coming from your eyes. As you said you'd found your paradise and I began to ask you, "Why you have to cry?"


Saya mengakui, saya kadang pongah dengan alam. Menganggap bahwa gunung kecil kadang tak sepadan dengan pemandangan yang disuguhkan. Tapi, setelah mencapai lokasi Gunung Prau, saya jadi yakin bahwa apapun ekspektasi yang saya lempar terhadap sesuatu, bisa salah juga. Gunung ini ibarat miniatur Semeru, dengan bukit-bukit berundak, savana yang luas, dan ada juga tanjakan savana yang merupa tanjakan cinta. Yah, saya betah di sini, meski saya akui, panas begitu menyengat dan ketika malam, angin dingin menusuk. Inilah gunung yang menyuguhkan keindahan perbukitan di sekitarnya, berada di gugusan Dieng Plateau.




a few morning dew

"Have We not made the earth a resting place? And the mountains as stakes?"
(An-Naba: 6-7)

going home...
Lihat? Bagaimana langit Wonosobo membias sempurna. Merah muda yang tumbuh karena matahari menghias siluet pepohonan yang seadanya di Gunung Prau. Sebab lokasi Gunung Prau yang dominan dengan savana luas, pepohonan yang ada jadi lebih cantik dilihat. Kala malam, bulan yang menerangi savana membuat pepohonan rimbun itu jadi bersahabat. Tak ada rasa takut, tak ada gentar. Saya patut berterima kasih, pada mereka yang masih setia mendaki gunung tanpa mengeksploitasi, karena dengan begitulah gunung-gunung ini masih tetap bisa ditafakuri. Coba, bayangkan saja bagaimana kalau Prau diambil kekayaannya, diubah menjadi sebongkah gugusan beton tanpa nyawa? Coba, bagaimanaaa? Yah... Berada di Prau membuat saya lupa sejenak terhadap kepenatan Jakarta. Semoga sampai nanti, kondisinya tetap begitu ya. Sampai jumpa lagi Prau!

(*) Dewi Lestari's song, Back to Heaven's Light

Kontemplasi Dini Hari: Ke(tidak)bahagiaan?

$
0
0
Minggu malam, ke Gramedia. Alih-alih mencari kebahagiaan dalam seteguk cappucino dingin sembari membaca buku yang baru saja saya beli di Gramedia Mall Ambassador, malah tak jadi. Saya ingin berada di keramaian meski sendirian. Ingin melihat-lihat manusia yang masih menggadaikan waktu tidur demi mencari setitik kebahagiaan di tengah pusat keramaian kota, sebuah Mall raksasa. Tapi, kedai kopi tutup dan tumben sekali, lokasi mall sudah sepi. Padahal, jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Ke mana manusia-manusia penggadai itu? Apakah sudah jenuh terhadap waktu?

Ah, dini hari ini hanya bisa berpikir tak terbatas. Semua bayangan dan pikiran, berlalu sekelebatan. Mereka bergantian, dan memenuhi kepala. Selain berpikir, saya pun sedang mencoba untuk membaca. Buku yang barusan saya beli, rupanya masih ada sangkut-pautnya dengan satu kata bernama 'kebahagiaan'. Baru membaca beberapa halaman depan saja sudah membuat saya tertawa geli. Tertawa pada hidup, tertawa pada sepi.

Kurang lebih, buku ini bercerita tentang sebuah perjalanan. Perjalanan yang tak bertumpu pada tujuan atau destinasi, melainkan pada bagaimana seseorang memaknai perjalanan sebagai proses untuk melihat hal-hal baru. Dalam rangka mencari tempat-tempat yang membahagiakan, rupanya seorang Eric Weiner pun menemukan hal-hal tak bahagia yang tetap bisa berdampingan dilewati pada penghuni tempat-tempat tersebut. 

Memang, saya mungkin sedang berada dalam tahap itu, "mencari kebahagiaan". Alih-alih untuk menjadi bahagia, saya malah lebih sering menemukan ketidakbahagiaan. Jadi, kesimpulannya, apakah batas antara kebahagiaan dan ketidakbahagiaan itu begitu tak kentara? Yah, saya jadi salah menafsir. Mungkin kebahagiaan itu memang didapat dengan cara-cara yang tidak biasa, atau bahkan tersembunyi di balik ketidakbahagiaan itu. Seperti ketika saya menumpang mandi di salah satu rumah warga di dataran Dieng, saya menemukan kebahagiaan di antara tungku dengan bara menyala, dan teh yang diseduh oleh seorang ibu tua.

"Monggo Mbak," jelas Ibu itu sembari tersenyum. Rumah sederhana yang beratap kayu, nyaris rubuh, masih tetap menyimpan keramah-tamahan sang Ibu tua. Saya menumpang mandi di kamar mandinya, satu-satunya ruangan yang berkeramik. Sambil menunggu giliran, Ibu itu menyodorkan saya opak. 

"Wah enak Bu!" 

Ibu itu hanya tersenyum dan menyodorkannya lagi. Di depan saya, seorang lelaki yang umurnya mungkin lebih tua dari saya, menunggui tungku. Sang Ibu rupanya sedang memasak. Saya tak enak duduk di atas, makanya saya pindah ke bawah. Pintu kamar mandi terbuka, dan giliran saya untuk membersihkan badan.

Rasanya, saya sudah lupa bagaimana caranya berinteraksi dengan penduduk sekitar di tempat tujuan saya. Saya hampir lupa, bahwa tujuan saya berjalan bukanlah semata-mata karena tempat, melainkan untuk melihat dan membaur dalam sebuah interaksi. Tapi, rasanya hal itu memang sudah lama tak saya temui dalam diri saya sendiri, hanya karena saya sibuk mencari apa artinya kebahagiaan dengan sebuah perjalanan yang nyaris tak pernah berhenti.

Yah, mungkin saya harus menumbuhkan sedikit kepekaan terhadap sesuatu yang bernama 'bahagia'. Karena, sampai saat ini saya belum tahu apakah esensi perjalanan saya. Apakah saya berjalan untuk bahagia, atau mencari kebahagiaan tersirat yang harus ditumbuhkan tanpa semata-mata melihat tujuan dan destinasi? Entahlah... Pikiran saya buntu, saya masih harus mencari tahu. [ayu]



Jakarta, 09 September 2013

[Video] Sunrise dan Ceceran Foto Gunung Prau

$
0
0
timeless seasons calling...

"We belong, we belong, we belong here. Where the vibes from our old songs returning. With the force of a longing heart we're here again..."

Ini video kompilasi dari beberapa foto yang sempat ditangkap oleh kamera saya dan Abang yang tidak begitu "wah" seperti kamera para fotografer wildlife atau nature. Foto-foto inilah yang merepresentasikan betapa penantian pagi di garis cakrawala, bisa sangat menyenangkan. Betah saya ada di ketinggian, tentunya dengan tak melupakan jalan pulang. Hehehe. Di bawah ini ada dua video, salah satunya ada video sunrise di Gunung Prau dan video lainnya adalah kompilasi foto yang saya maksud sebelumnya. Nah, selamat menikmati romantisme pagi di Dieng Plateau! :)


Back to Heaven's Light: Gunung Prau Memories
(Song by: Dee Lestari)
"...If once we had decided to forget, then we alone can decide to remember. 
We all started the same journey. This had been an illusion of a journey, 
for it didn't have a start and didn't have an end."


Song of Seasons
(Song by: Float)

We belong, we belong, we belong here
where the vibes from our old songs returning
With the force of a longing heart we're here again

Timeless seasons calling
Rain of reasons falling

We belong, we belong, we belong to you
And the memories yet to come soon
will lead us back to you again

Songs of seasons calling

#Featured: KPCI adalah Dua Orang Gila! Mengayuh Sepeda dan Mencumbu Indonesia

$
0
0
Web Kayuh Pedal Cumbu Indonesia

Rasanya, saya belum puas jalan-jalan kalau cerita saya jalan-jalan di dunia maya belum ditulis juga. Hehehe. Sebenarnya, saya meluangkan waktu untuk merekam orang-orang terdekat yang 'menulis' tentang catatan perjalanan mereka dengan cara-cara berbeda dan kali ini akan saya mulai dengan posting ini. 

Beberapa waktu ini, saya yang memang baru bergabung di sebuah komunitas online bagi para penggiat kegiatan alam terbuka, menemukan dua orang gila yang sedang no maden, berkeliling Indonesia hanya dengan mengayuh pedal sepeda mereka. Sebenarnya, siar kabar mengenai mereka sudah saya dengar sejak lama. Tanpa menaruh perhatian lebih, saya sempat mengacuhkannya. Tapi, sejak mendengar nama mereka beberapa bulan terakhir, saya baru mengerti apa arti perjalanan bagi mereka. Bagi dua orang gila yang sekarang saya panggil Mamang (sebutan Paman di tanah Sunda), perjalanan adalah bagaimana kita berinteraksi dengan penduduk lokal, memahami kearifannya, bahkan ikut terjun di dalam kearifan itu untuk lebih melebur bersama mereka.

Saya jadi belajar, bagaimana memaknai perjalanan menjadi berbeda. Ternyata, perjalanan tak melulu bicara tentang destinasi, bagaimana keindahan itu dieksploitasi oleh mata dan kamera, melainkan bicara tentang proses. Perjalanan adalah proses. Bagaimana seseorang berproses untuk menjadi lebih dewasa, menjadi lebih arif dan bijak, serta memaknai bahwa setiap langkah yang dihitung adalah pengalaman dalam hidup. Hal ini saya kenal dari dua orang gila ini, Mamang Anto dan Mamang Cliff.

Kiri: Mamang Cliff lagi mulung botol :D
Kanan: Mamang Anto persiapan lebaran :P

Mereka berdua menamai perjalanan duet mereka sebagai Kayuh Pedal Cumbu Indonesia. Perjalanan selama dua tahun (menurut perencanaan mereka), berkeliling Indonesia, mencumbu sisi paling tepi dari Bumi Pertiwi, dengan mengayuh sepeda dan melakukan konservasi alam. Memulai perjalanan dari Bogor dengan sepeda, dan menyentuh Sabang sampai Merauke juga menepi di Ndana dan Miangas. Mereka berdua, sosok yang menginspirasi pejalan muda oleh proses, bukan hanya destinasi. Dari perjalanan ini, mereka berinteraksi dengan penduduk lokal, mencoba menyatu dengan kearifannya dan ikut menjunjung bumi yang mereka pijak. Di setiap kayuhan pedal sepeda, mereka kadang berhenti, sekedar memunguti sampah dan botol plastik yang merusak wajah destinasi dalam perjalanan mereka. Keduanya mencoba berkontribusi secara langsung untuk membersihkan wajah Indonesia yang terdiri dari gugusan pulau. Maka, cara terbaik untuk itu bukanlah menunggu pihak-pihak lain turun, melainkan turun sendiri dan merealisasikannya.

Mereka juga kerap kali bergabung dengan komunitas lokal di tempat mereka singgah, seperti Komunitas Pecinta Penyu dan Karang. Dengan KOMPPAK (begitu singkatannya), mereka ikut memperhatikan kesejahteraan biota laut, seperti terumbu karang yang nyaris rusak dan apapun yang ada di perairan tersebut. Mereka ikut turun dalam kegiatan konservasi di daerah-daerah terpencil, jauh dari peradaban namun memiliki semangat konservasi alam yang tinggi.

Saat ini, keduanya masih berjuang secara swadaya tanpa afiliasi organisasi manapun. Keduanya masih mencintai hidup, keindahan Indonesia, dan tetap bersepeda. Maka, untuk mencumbu Indonesia, satu-satunya cara yang mereka tempuh adalah perjalanan dengan sepeda. Betapa takjubnya saya, begitu juga dengan orang-orang lain. Nah, bagi teman-teman yang ingin menengok mereka atau sekedar berinteraksi, silakan mampir ke rumah maya mereka di cumbuindonesia.com, atau berkunjung ke akun-akun sosial media mereka di bawah ini,


Jadi, teman-teman ada yang tertarik untuk bertemu mereka? Siapa tahu ada yang sedang satu destinasi dengan mereka, silakan langsung hubungi akun sosmednya dan tanyakan dimana, ya?! :D

Jadi, tetaplah menjadi responsible traveller, tetap berjalan dan tetap mengagumi keindahan Indonesia dengan langkah konservasi.

Karena, "Lestari bukan sebatas 'Like This!',"kata Mamang Cliff Damora. :D

Salam!

(Ayu W)
Jakarta, 13 September 2013

Ingin Hidup Dengan 'Taste'? Mari Pakai Hammock!

$
0
0
Di era yang serba mikro ini, ternyata packing ketika naik gunung pun sudah beralih ke benda-benda mikro! Hahaha. Seperti yang sudah pernah saya tuliskan di pengantar tentang ultralight hiking, beberapa gears untuk naik gunung juga sudah mengalami evolusi, dari yang tadinya serba 'kulkas' menjadi serba minimalis. Salah satunya adalah shelter.

Sekarang, sedang marak penggunaan hammock atau yang lebih mudah disebut sebagai 'tempat tidur gantung'. Kalian tahu? Itu, tempat tidur yang biasa dipakai untuk membuat bayi tertidur, dengan mengayunkannya. Atau, yang lebih mudah dipahami, hammock ini biasanya ada di pantai, dengan bentuknya yang jaring-jaring, terikat di antara dua pohon dan biasa digunakan untuk bersantai. 

Nah, ternyata hammock ini sekarang juga sudah berevolusi, untuk digunakan di kegiatan outdoor yang lebih dari sekedar pantai, seperti gunung atau bahkan yang lebih ekstrim dari itu. Biasanya, mereka yang senang menggunakan prinsip ultralight, akan memakai hammock ini untuk tempat berlindung mereka, tentunya setelah dimodifikasi agar bisa bertahan dalam kondisi cuaca apapun.

Dan saya pun tertarik dengan benda satu ini, hammock. Bagaimana rasanya tidur di atas ayunan dalam ruang terbuka? Di hutan? Di rimba raya? Saya bergidik juga. Pasalnya, saya takut tiba-tiba terjadi hujan angin, atau badai yang benar-benar mengerikan. Semua pikiran negatif itu coba saya kesampingkan dan saya mulai berpikir untuk membawa hammock untuk sekedar bersantai di gunung nanti. Meskipun begitu, tetap saja saya harus ber-partner, supaya kalau saya rindu tidur di tenda, tendanya tetap ada yang membawakan. Gitu. :))

Nah, jadi kali ini saya tidak akan begitu banyak membahas teknis tentang pemakaian hammock di ruang terbuka seperti gunung dan semacamnya, tapi hanya akan memberi sedikit intermezzo saja. Mungkin, lain waktu akan saya beri penjelasan lebih tentang seni tidur-tiduran dalam hammock ini. :D

Adik saya bersantai dengan hammock
Lokasi: halaman belakang rumah nenek @Tegal, Jawa Tengah
Hammock Ultimate Outdoor Winter Series
Kiri: Om Maffers, Om Kitiw, Andre @Coban Rondo Malang, with Eno Singlenest Hammock
Kanan Atas: Andre & Om Bayu @Ranu Kumbolo, Semeru, Malang
Kanan Bawah: Andre @Pos 2 Wekas, Merbabu, with Ticket to The Moon Hammock
Pics source from Andre Hidayat
Om Bayu, Andre, Mamat Outdoor (yang lagi tiduran di Hammock)
Pics source from Allex Xorix (Mamat Outdoor)
Packing Hammock Eno
Rastaman Live Up! :D
gambar dari Andre

Jadi gimana? Tertarik untuk hammock-ing? :D

Salam!

Jakarta Sudah Habis: Sepenggal Kisah Menjelang Hari Raya

$
0
0
Jakarta sudah habis. Di atasnya berdiri bangunan-bangunan industri. Di sekitar bangunan bangunan itu, bangunin-bangunin memproduksi belatung...
Jakarta sudah habis. Warna tanahnya merah kecoklat-coklatan. Mirip dengan darah. Mirip dengan api. Mirip dengan air mata...  
(Iwan Fals - Lagu 2)

Hujan deras melanda Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Waktu di telepon genggam saya sudah menunjukkan pukul enam sore. Hujan itu hujan hari Sabtu, 12 Oktober dan saya menunggu seseorang.

Hari Sabtu itu, saya berniat untuk pulang ke rumah saya di Cimahi, Jawa Barat. Biasanya, seperti yang sudah-sudah, kalau pulang hari Sabtu kemungkinan tidak akan mengantri kendaraan menuju Bandung, untuk kemudian saya akan turun koboi di tengah jalan tol Samsat Cimareme. Namun, rupanya saya keliru. Sabtu itu, banyak para pengantri lainnya. Ah, saya lupa. Rupanya mereka akan ber-Idul Adha.

para penumpang sedang berteduh di depan loket

Hujan masih saja mengguyur terminal yang bisa dibilang jadi sentral untuk para perantau yang berdomisili di Jakarta Selatan. Pasalnya, Lebak Bulus adalah terminal yang bisa dibilang cukup besar dengan armada bus yang cukup lengkap. Mulai dari ujung barat pulau Jawa, sampai ujung timur. Bahkan, bus lintas pulau pun ada. Dan masalahnya dimulai dari sini, di antara hujan.


Terminal Lebak Bulus pada saat itu cukup ramai. Orang yang saya tunggu tak kunjung datang. Maka, daripada saya mati bosan, saya duduk di tepi terminal, di kursi tunggu penumpang. Sambil menghindari hujan, tak ada salahnya juga mengamati manusia yang hilir mudik, berebut kursi di dalam bus, menghardik orang, mendorong nenek tua, berdesakkan, mencari kesempatan dalam kesempitan, menjadi tega karena satu kata... PULANG.

Memang, sejak saya datang, bus yang ingin saya tumpangi sampai Cimahi tidak terlihat satu pun. Saya biasa menumpang Primajasa untuk sampai di Cimahi. Bis Garut, Tasikmalaya, Bandung, atau apapun yang melewati Samsat Cimareme, pasti saya tumpangi. Yang jadi masalah sekarang adalah, bus itu langka di hari-hari menjelang hari raya. Dan lautan manusia yang ingin menumpang bus itu, bukan hanya saya.

Duduk saya di kursi penumpang, sambil menunggu hujan dan mengamati mereka. Manusia yang beragam. Manusia yang merantau ke Jakarta, katanya untuk bekerja, mengais rezeki, mencangkul berlian, dan apapun yang bisa mereka lakukan di Jakarta. Di hari hujan begini, bukannya berada di rumah, di depan TV sambil bersantai dan minum kopi, tapi mereka semua ada di jalanan, di terminal, di sini bersama saya yang duduk di tepian terminal. Mereka semua terlihat sibuk, cemas, bahkan sedih. Saya bisa melihat hal itu di mata mereka. Ketika bus itu datang, mereka menjelma zombie, berlari menghampiri bus yang seolah berisi makanan dan darah segar bagi mereka. Padahal, bus belum berhenti. Oh, saya memang sudah sering mengalami hal seperti ini, berebut bus dengan para penumpang lain. Tapi, bedanya ini lebih membludak lagi. Saya jadi berpikir, darimana mereka datang? Kenapa zombie-zombie ini semakin bertambah? Rasanya, Jakarta yang sempit ini jadi makin sempit saja. Di tengah hujan, saya tertawa melihat mereka.

atas: hilir mudik manusia
bawah: berebut kursi bus Primajasa

Mereka tak berpayung, tak berjas hujan, tapi mereka rela terhujani di tengah terminal, demi menunggu bus yang mereka idam-idamkan datang. Dan ketika datang, pintu masuk yang belum dibuka, dipaksa untuk terbuka. Bahkan, ada yang rela menyakiti tangannya untuk mengetuk kaca pintu bus, padahal mereka tahu kalau itu memang tak akan dibuka sebelum bus berhenti. Supir dan kondektur yang kewalahan akhirnya mengalah. "Daripada bonyok atau kaca pecah," begitu gumam mereka.

Saya tertawa lagi. Sebenarnya, ini mau pulang kampung atau demonstrasi? Barbar sekali, pikir saya. Tapi, memang begitulah keadaannya. Lebak Bulus yang sebesar ini tampak kosong tanpa bus-bus kesayangan saya itu. Bus yang bagi sebagian warga perantauan sangat dinanti. Bukan karena apa-apa, tapi lebih kepada faktor ekonomi. Saya dan mereka sama-sama berada di kelas menengah, lebih suka menumpangi bus itu daripada travel atau pesawat. Maklum lah, namanya juga kantong perantau. Sebisa mungkin cari yang hemat. Hehe.

Singkatnya, hujan pun berhenti seiring dengan pemandangan lautan perantau yang mulai berkurang. Orang yang saya tunggu pun sudah datang. Kami menunggu sekitar dua jam sampai suasana kondusif (karena kami sedang lelah kalau harus ikut berhimpitan dengan lautan perantau). Pukul sembilan malam, akhirnya kami memilih naik Primajasa menuju Leuwi Panjang, Bandung, meski turunnya jadi lebih jauh dari daerah rumah saya. Kami menyerah dengan keadaan bus Garut yang belum juga ada solusinya. Rencananya, kami akan pergi ke Cimahi, untuk mengunjungi orang tua saya barang beberapa hari. Pasalnya, saya sudah lama tak pulang, sudah rindu. Tak jadi soal kalau saya harus ikut berdemonstrasi dalam hal rebutan kursi bus. Itu lebih pantas rasanya, daripada berdemonstrasi minta naik gaji seperti para buruh dan pengemis di Bandung. Hahaha. 

Yah, setidaknya, saat ini saya pun menulis dari sini, dari Cimahi. Rumah dan tempat saya pulang di kala rindu. Satu-satunya tempat berpijak di tanah, sebab kalau saya di Jakarta, saya seperti terbang. Waktu seperti tak kentara. Saya seperti berada di dimensi lain. Negeri zombie yang nyaris mati. Rasanya, sudah tak ada tempat lagi, bagi para bangunin-bangunin yang memproduksi belatung. 

Ah, Jakarta. Memang, cuma enak buat cari duit! Itu kata Iwan Fals. :)


Ayu Welirang
Cipageran, 15 Oktober 2013

Taman Hutan Raya Djuanda: Sisa Sejarah Tak Tentu Arah (Bagian 1)

$
0
0

Bagi mereka yang tinggal di Bandung dan sekitarnya, pasti sudah tak asing lagi dengan beberapa lokasi eksotis yang bisa ditempuh dengan menumpang angkutan kota. Bukan hanya lokasi perbelanjaan dan factory outlet saja yang terkenal di kalangan pendatang Bandung, tapi juga wisata alamnya.

Salah satu lokasi wisata yang bisa ditempuh dengan angkutan kota adalah Taman Hutan Raya Djuanda (Tahura). Lokasi Tahura sendiri berada di daerah Dago, ke sananya lagi Dago Pakar, sih. Masalahnya, dulu memang akses ke sana terbilang cukup jauh dan tak selalu ada kendaraan. Tapi, sekarang mungkin sudah bisa kita temukan mobil-mobil para borjuis memenuhi jalanan sempit menuju Tahura. Menggilas aspal yang dibuat sedemikian rupa oleh Pemda agar ramah terhadap para pejalan luar kota. Dulu mungkin gambaran jalan ini masih terdiri dari bebatuan kali yang kokoh dan harus tergantikan dengan aspal yang bisa seketika berlubang. Alasannya diganti, mungkin licin kali ya, juga (mungkin) bisa lebih ramah dengan kaki-kaki para borjuis. :p



Wilujeng Sumping yang artinya...
Selamat Datang!
Dan dari sanalah, para borjuis ibukota ikut memadati lokasi wisata ini. Mobil-mobil angkuh mereka menggilas aspal itu. Plat B apalagi. Saya mengerti, dengan mobil-mobil dan kunjungan mereka, kehidupan masyarakat di sekitar Tahura bisa tercukupi. Sayangnya, pemikiran orang-orang desa makin lama makin komersil juga. Jadinya, mereka memanfaatkan apa saja jadi peluang bisnis, termasuk lahan parkir kosong yang sudah jelas-jelas ketika awal masuk Tahura, kita membayar retribusi. Tapi kenyataannya, kita ditagih retribusi lagi. Yaaaa bukannya hitungan. Cuma, kok rasanya janggal saja. Tidak ada kontribusi dari pihak Pemda. Pasalnya, loket resmi Tahura selalu tutup. Berdebu dan tak terurus. Kesannya kok tidak ada urusannya sama Dinas Pariwisata, padahal kan harusnya lebih diperhatikan lagi.

Oke. Cukup dulu OOT-nya. 

Beralih ke kawasan Tahura lagi. Di sini, kita bisa mengunjungi beberapa situs wisata yang unik dan juga menantang. Kita bisa menjelajahi tiga curug atau air terjun yang letaknya saling berjauhan, sehingga kita harus trekking ringan, mendaki dan menuruni jalanan yang sudah didempul aspal. Tak jarang pula kita harus melewati jalanan sempit yang masih berupa bebatuan apung. Di sini, enak sekali kalau membuka sandal. Kaki yang langsung menyentuh bebatuan apung itu bisa memperlancar peredaran darah. Refleksi mungkin istilahnya.

Sayangnya, saya tidak bisa mencapai curug itu karena sampai di Tahura terlalu siang, sehingga waktu yang saya gunakan di Tahura hanyalah cukup untuk berkeliling situs yang lebih menantang lagi, yaitu situs goa peninggalan zaman Belanda dan Jepang. Suasananya cukup membuat saya bergidik ngeri. Dua goa ini pernah menjadi saksi bisu sejarah kelam Indonesia pada masa kolonial dan masa pendudukan Jepang. Saya memulainya dari Goa Belanda, dengan catatan agar saya bisa kembali sesuai jalur yang sudah disepakati bersama dengan Abang. Jadi, rutenya adalah sebagai berikut.
Peta, Lokasi Situs, dan Petunjuk Arah

Saya berniat untuk ke curug, karena sudah lama tak trekking dan melihat yang seger-seger (es campur kali seger). Nah, kebetulan ada yang bisa mengantar tanpa takut capek (cieee), saya lalu tancap saja. Berbekal trekking pole dan sendal jepit kesayangan, saya menginjakkan kaki di batu apung dan aspal yang licin pasca hujan. Kali ini saya masuk ke Tahura dari gerbang utama, sehingga kalau sudah melewati salah satu saluran PLTA Bengkok, belok ke kanan itu adalah jalur menuju gerbang III dan lurus terus mengikuti jalan menurun, saya akan sampai di Goa Belanda.

Mulanya, saya masih sinkron, masih bisa membaca petunjuk dan berbicara. Tapi, mencapai mulut goa yang tidak lain adalah gerbang utama sebuah penjara, saya mulai merasa aneh sendiri. Di sini, auranya memang berbeda. Seperti ketika saya sedang ada di depan Lawang Sewu pada suatu malam, sendirian pula. Untung Abang sudah sedia senter dan headlamp, karena memang sebenarnya tujuan kami bukan ke sini, tapi ke gunung. Masalahnya, entah kenapa sejak saya berangkat dan melihat kondisi Lebak Bulus yang seperti pasar kaget, saya jadi mendadak moody. Mood berubah jelek, dan berbagai pertanyaan tentang gunung yang akan saya daki itu malah muncul ke permukaan. Belum lagi ketika searching tentang itu, saya menemukan artikel yang tak diinginkan. Tak jadilah saya ke gunung itu dan berpindah lokasi ke Tahura ini.

Menghindar dari Bapak yang menawarkan senter dengan gigihnya, Abang keluarkan senter terra lux yang kekuatan lumens-nya bisa mencapai jarak puluhan meter. Hahaha! Maaf Pak, lagi kere soalnya, jadi belum perlu sewa senter! Hehe. Nah, dengan membaca Bismillah, saya pun masuk ke Goa Belanda dengan Abang, berdua saja. Baru masuk ke lorong satu, di mana sebelah kiri saya adalah sel tahanan, saya seperti mendengar suara bisikan. Grrrr... Sifat paranoid saya muncul lagi. Sial!

Dan angin pun berhembus. Bukan... Bukan angin dari gerbang di belakang saya, tapi angin dari samping kiri yang entah dari mana asalnya. Saya mau menengok, tapi sudah kadung takut. Jadi, saya hanya melihat ke bawah saja. Melihat jalur utama yang tidak begitu besar, berhias rail di tengahnya. Entah untuk apa rel itu, tapi sepertinya untuk kereta kecil, seperti kereta penambang yang ada di buku-buku dan film-film khas teori konspirasi. Seperti National Treasure. Bedanya, rel ini terputus di tengah jalur, dan di dalam pengantar Goa Belanda yang diletakkan di depan gerbang utama, tidak ada penjelasan mengenai rel-rel itu.

Angin dan suara itu datang lagi... Ah, saya sudah benar-benar tak berani menengok. Persis peserta uji nyali.

(bersambung)

Taman Hutan Raya Djuanda: Menyusuri Sejarah Goa Belanda (Bagian 2)

$
0
0
Dan angin pun berhembus. Bukan... Bukan angin dari gerbang di belakang saya, tapi angin dari samping kiri yang entah dari mana asalnya.  Saya mau menengok, tapi sudah kadung takut. Jadi, saya hanya melihat ke bawah saja. Melihat jalur utama yang tidak begitu besar, berhias rail di tengahnya. Entah untuk apa rel itu, tapi sepertinya untuk kereta kecil, seperti kereta penambang yang ada di buku-buku dan film-film khas teori konspirasi. Seperti National Treasure. Bedanya, rel ini terputus di tengah jalur, dan di dalam pengantar Goa Belanda yang diletakkan di depan gerbang utama, tidak ada penjelasan mengenai rel-rel itu.

Angin dan suara itu datang lagi... Ah, saya sudah benar-benar tak berani menengok. Persis peserta uji nyali.


Di Tahura (Taman Hutan Raya Djuanda), selain bisa melihat bagaimana kondisi Bandung di lingkung gunung, kita juga bisa menjelajahi sisa-sisa sejarah yang terlupakan. Sebuah situs tempat penjajah menyekap para pahlawan dan juga gerilyawan perang, tempat mereka mengatur strategi perang dan menyimpan logistik serta perlengkapan perang. Salah satunya adalah Goa Belanda. Goa di mana ketika saya masuk, hawa yang ditimbulkan adalah hawa yang cukup mistis. Dingin dan mencekam. Lumrah memang, karena goa yang satu ini digunakan Belanda untuk menyekap para tahanan perang pribumi. Diberi makan seadanya, bahkan berbagi dengan tikus-tikus pembawa epidemi Sampar. Bahkan, tak jarang dari tawanan itu yang mati di dalam lorong-lorong tahanan.


Lorong Hitam di Goa Belanda (lengkap dengan sisa jeruji besinya)


Goa Belanda dan Tahura di Zaman Kolonial

Goa Belanda dibangun pada tahun 1906 sebagai terowongan penyadapan aliran air sungai Cikapundung untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dibuat oleh BEM (Bandoengsche Electriciteit Maatschappij). Hal ini sepertinya tak lepas dari berkembangnya Bandung menjadi kotapraja (1906) dengan penduduk yang mencapai lebih dari 47.500 jiwa (Jakarta/Batavia 200.000 jiwa; Surabaya 150.000 jiwa; Semarang 90.000 jiwa). Namun, karena sebab yang belum diketahui, PLTA ini tidak lama berfungsi.

Pada tahun 1918, terowongan ini beralih fungsi untuk kepentingan militer dengan penambahan beberapa ruangan di sayap kiri dan kanan terowongan utama. Sementara itu, sistem PLTA dibangun kembali dengan perubahan jalur penyadapan yang tak lagi melalui Goa Belanda melainkan melalui saluran-saluran air bawah tanah hingga muncul kembali ke permukaan tanah di Pintu II Tahura dan ditampung di kolam tandon harian yang dikenal dengan "Kolam Pakar".


Dari Kolam Pakar, air disalurkan melalui pipa pesat ke PLTA Bengkok (difungsikan sekitar tahun 1923) yang sejak tahun 1921 dikelola GEBEO (Gemeenscaapelijk Electriciteit Bedrijf voor Bandoeng en Omstreken) dan di masa kemerdekaan menjadi PLN. Hal ini juga tak lepas dari adanya pembangunan berbagai instansi pemerintahan, kemiliteran, pendidikan, perdagangan, kesehatan, komunikasi dan lainnya pada masa itu.



Pada masa pendudukan Belanda, perbukitan Pakar ini sangat menarik bagi strategi militer, karena lokasi nya yang terlindung dan begitu dekat dengan pusat kota Bandung. Menjelang Perang Dunia ke II pada awal tahun 1941 kegiatan militer Belanda makin meningkat. Dalam terowongan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Bengkok sepanjang 144 meter dan lebar 1,8 meter dibangunlah jaringan goa sebanyak 15 lorong dan 2 pintu masuk se-tinggi 3,20 meter, luas pelataran yang dipakai goa seluas 0,6 hektar dan luas seluruh goa berikut lorong nya adalah 548 meter. Markas angkatan perang Hindia Belanda dan pusat komando militer tentara Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia dan New Zealand) ditempatkan di Bandung yang merupakan benteng pertahanan terakhir bagi Belanda. Pada masa ini, Belanda memperluas goa dan mendirikan stasiun radio komunikasi di sini sebagai pengganti Radio Malabar di Gunung Puntang yang berada di wilayah tak terlindung dari serangan udara.

Goa Belanda terdiri dari satu lorong sel pemeriksaan, empat lorong sel tahanan, satu pintu logistik di sebelah barat pintu utama. Pintu utama untuk masuk ke Goa Belanda hanya ada satu, dengan pintu keluar di sebelah utara goa. Di sebelah timur pintu utama, terdapat lorong-lorong yang menuju ke pintu ventilasi dan satu ruangan interogasi sentral yang berada jauh dari lorong tahanan, di mana di ruangan ini, teriakan para gerilyawan yang dilucuti informasinya oleh tentara Belanda akan menggema sampai ke pintu ventilasi.


ilustrasi lorong-lorong Goa Belanda
kiri: lorong utama dengan rel
kanan (dari atas ke bawah): ruang jaga, pintu keluar goa, lubang ventilasi yang tertutup belukar

Goa Belanda sendiri dibangun di kondisi geografis yang cukup unik. Berada di sebelah selatan patahan Lembang, dan berada di titik strategis dari sisa-sisa letusan Gunung Sunda yang meninggalkan banyak pecahan, dataran, juga gunung-gunung kecil seperti Burangrang dan Tangkuban Perahu. Tak heran, daerah sekitar Goa Belanda sangat subur dan dilewati dengan jalur sentral air yang menjadi penyangga kebutuhan air kota Bandung selama ini.

Goa Belanda juga merupakan salah satu dari beberapa jaringan goa yang dibangun di kota Bandung, khususnya dibangun di dalam perbukitan batu pasir tufaan. Batu pasir tufaan atau konglomerat tufaan merupakan batuan sedimen epiklastik yang terangkut juga di dalamnya komponen piroklastik seperti pumis (batu apung). Tak hanya menggambarkan bagaimana proses dibentuknya Goa Belanda oleh tangan manusia, tapi di awal masuk gerbang Goa Belanda, dituliskan juga bagaimana goa tersebut bisa terbentuk di dalam perbukitan tufaan. Hal ini masih terkait dengan bagaimana proses pembentukan ignimbrite atau sisa-sisa abu panas letusan Gunung Sunda.



Peta Geologi Gunung Api Sunda dan Penyebaran Letusan Gunung Sunda

Meskipun akhirnya belum terpakai secara optimal, namun pada awal Perang Dunia Ke II dari stasion radio komunikasi inilah Panglima Perang Hindia Belanda Letnan Jendral Ter Poorten melalui Laksamana Madya Helfrich dapat berhubungan dengan Panglima Armada Sekutu Laksamana Muda Karel Doorman untuk mencegah masuknya Angkatan Laut Kerajaan Jepang yang mengangkut pasukan dan akan mendarat di Pulau Jawa. Sayang sekali usaha ini gagal dan seluruh pasukan berhasil mendarat dengan selamat dibawah komando Letnan Jendral Hitosi Imamura.

Pada masa kemerdekaan Goa ini pernah dipakai atau dimanfaatkan sebagai gudang mesiu oleh tentara Indonesia. Goa Belanda saat ini dapat dimasuki dengan aman dan dijadikan sebagai tempat wisata yang penuh dengan nilai sejarah.


Kurang lebih begitulah sejarah Goa Belanda yang ada di kawasan Taman Hutan Raya Djuanda. Jika ingin menjelajah lorong-lorong di dalam Goa Belanda, sebaiknya bawalah senter pribadi, agar tidak perlu menyewa. Dan jangan lupa untuk bawa bekal makan siang, agar tak perlu beli di warung-warung, kalau sedang hemat. Hehehehe. Yah, intinya... Kalau hanya berdua atau malah sendirian, sebaiknya banyak-banyak berdoa karena kita tak tahu apa yang akan kita temukan secara tiba-tiba jika kita mengarahkan senter pada lorong-lorongnya. Hehe.



Bonus foto... "With Orbs"

Arsip Novel Pertama, Tujuh Divisi Untuk #PSA2

$
0
0
Yeay!

Akhirnya, perencanaan novel Tujuh Divisi sejak bulan Desember 2011, bisa selesai di tahun ini. Dengan banyak pertimbangan dan edit sana-sini, akhirnya saya menyelesaikan draft novel pertama saya. 

Berhubung saat ini, Grasindo sedang membuka event kepenulisan, pertama-tama saya akan mencoba peruntungan untuk draft novel ini di acara Grasindo yang ini, yaitu Grasindo "Publishers Searching for Author 2" atau yang biasa disingkat #PSA2. 

Setelah sukses dengan event #PSA1, maka Grasindo mengadakan lagi acara yang sama, dengan tema "Novel Rasa Indonesia". Nah, selengkapnya ada di gambar berikut:


GRASINDO PSA2

Nah, setelah menyelesaikan penggarapan naskah selama setahun lewat, akhirnya saya benar-benar menyelesaikannya di hari ini, lengkap dengan sinopsisnya. Dan rasanya campur aduk. Rupanya begitu ya rasanya jadi penulis, sehari-hari curi waktu menulis di kala kerja, atau mengambil waktu tidur untuk menulis. Atau bahkan, menulis saat makan siang. Pokoknya, menulis terus sehingga tak ada celah untuk serangan writer's block. Hehe. Sebab, rasanya kalau sedang WB itu, ide lari entah ke mana.

Tapi, dengan semangat dari Abang (cieeee), saya akhirnya melanjutkan novel ini. Dan hari ini, saya menyelesaikannya dengan mendapatkan 163 halaman, 48.427 kata. 

capture novel :D

Sebenarnya, target penulisan itu ingin saya tembus sampai 50.000 kata, seperti yang seharusnya dilakukan oleh novel ini pada #J50K, event Kampung Fiksi yang saya ikuti pada Januari 2012. Tapi, memang tidak berjodoh dengan 50K, maka saya putuskan untuk melanjutkan novel ini sampai benar-benar menemui ending. Tak jadi soal berapa jumlah katanya, saya tetap tutup seperti yang saya lakukan saat ini.

Dan inilah hasilnya, jabang bayi yang kelak lahir, dengan doa. Dan bantulah saya berdoa, agar naskah ini lolos dan bisa lahir ke dunia.

Amin.



Berselingkuh Di Malam Minggu

$
0
0
Sabtu lalu, tanggal 26 Oktober 2013, saya mencari hal yang berbeda untuk dihabiskan di malam Minggu. Bukan sekedar tidur pulas sampai Minggu siang, bukan nongkrong di kantor untuk menumpang internetan, atau mencuci dan menyeterika pakaian. Malam Minggu lalu, saya mencoba cari kegiatan baru, menonton teater.

Teater yang ini berbeda, sebab tidak seperti teater atau pementasan drama yang terakhir kali saya tonton di UIN Syarif Hidayatullah beberapa bulan lalu. Teater yang ini lebih serius, tentunya dengan tema yang serius pula. Maka, di malam Minggu ini, saya berselingkuh dengan teater sastra Universitas Indonesia. Saya berselingkuh dengannya dari malam Minggu saya yang biasanya saya habiskan untuk di depan komputer, mengulik kode atau deploy program di Linux. Saya berselingkuh dari mereka, hanya untuk melepas penat setelah seminggu bekerja, dengan menonton teater bertajuk "Multi-monolog Selingkuh"dari balkon Graha Bhakti Budaya, kursi nomor tiga.


Teater ini memperlihatkan tentang kehidupan urban. Tentang kehidupan perempuan Jakarta yang menikah dengan seorang lelaki, musisi yang sadomasokis. Kehidupan pernikahan mereka yang menyenangkan, penuh fantasi liar, lama-lama tergilas waktu dan pada titik itulah, sang perempuan yang bernama Ida, berselingkuh dengan pengusaha kaya, keturunan Batak yang menolak paribannya.

Parkiran Padat di GBB, Taman Ismail Marzuki

Namun, jangan salah sangka. Rupanya, kisah ini bukanlah drama percintaan yang romantis-manis. Kisah ini adalah kisah yang penuh dengan kelindan kehidupan dari berbagai sisi, dari berbagai sudut pandang. Dan uniknya, tokoh-tokoh yang berjumlah tujuh orang ini tidak saling berdialog, melainkan monolog. Mereka berbicara sendiri, dan potongan-potongan pembicaraan mereka akan dipertemukan hanya oleh alur cerita. Ide ini dikembangkan oleh sang sutradara, I. Yudhi Soenarto untuk menggambarkan betapa monolog telah menjadi camilan sehari-hari oleh masyarakat. Kelihatannya, kita memang berdialog. Padahal, dialog hanyalah pemanis kehidupan. Seperti basa-basi di pagi hari. Kenyataannya, manusia hanyalah bermonolog, karena dialog-dialog mereka seperti dialog pada cermin, yang tak mendapat pengertian atau balasan dari bayangan pada cermin.
curi-curi jepret para tokoh... :D

Tokoh-tokoh dalam kisah ini semakin menemui kebimbangan, ketika harus memilih cinta ataukah bias 'cinta buatan' yang terjadi dalam institusi pernikahan, di mana istri sudah sepatutnya diam dan menjadi seseorang yang submissive, atau penurut, sehingga dapat direpresi tubuhnya oleh suami. Istri bungkam, dan menerima apa saja yang dilakukan suami terhadapnya, meski diperlakukan menjadi mesin biologis, terlebih lagi oleh suami yang sadomasokis. Perempuan  yang terkungkung, berada dalam budaya masyarakat yang mengedepankan, 'kebahagiaan pasca pernikahan', membuat tokoh utama tetap berada pada jalurnya sebagai istri ideal, berusaha setia. Namun, perlahan cinta ia dan suami dikalahkan oleh waktu. Dan ketika mencari apa sebenarnya definisi cinta yang hilang dalam sebuah institusi bernama 'pernikahan', tokoh utama perempuan memilih berselingkuh. Ya, selingkuh yang indah mungkin, karena hanya di sisi si selingkuhan lah ia merasa nyaman. Tak ada kontak fisik, hanya ada tawa berderai dari lelucon si selingkuhan. Sungguh klise bukan? Tapi itulah adanya. Pencarian cinta yang hilang itu nyaris bermuara. Tapi, sutradara berkata lain. Sutradara selalu membuat chaos, apapun yang ia inginkan. Jika harus terjadi, maka terjadilah. Sutradara sedang beralih menjadi tuhan.

Pada akhirnya, kebimbangan menghilang. Semua tokoh menemui jalannya masing-masing. Mematikan nurani, saling membunuh demi menemukan arti terbaik atas cinta yang hilang kesakralan. Apa itu cinta? Bagaimana mewujudkan cinta yang menyenangkan kedua pihak? Apakah seksualitas itu cinta? Apa seks itu hanya konsumsi pernikahan, ataukah cinta?

Pada akhirnya, penonton dipaksa mengerti, bagaimana selingkuh bisa menjadi begitu kompleks. Bukan hanya sekedar berkata cinta, namun multi-monolog selingkuh ini menghadirkan selingkuh dari berbagai sudut pandang, di mana sutradara menghadirkan para tokoh-tokoh sampingan. Bukan cameo, namun tak utama, karena mereka hanya bertugas untuk memberi komentar dalam monolog mereka. Hukum. Media. Konspirasi Astral. Hak Asasi. Feminisme. Industri. Aturan. Dan pada akhirnya tak ada satupun yang bisa didefinisikan sebagai... CINTA.

Jakarta, 28 Oktober 2013


Ku Lari Ke Hutan, Kemudian Belok Ke Goa Jepang

$
0
0
Perjalanan naik motor, terus parkir, terus masuk kawasan hutan raya di Bandung, rupanya ke Goa Belanda masih harus menapaki jalanan berbatu. Enak sih jalannya, menurun. Yang jadi pe-er adalah jalan pulangnya. Karena jalan ini satu-satunya jalan untuk kembali ke gerbang masuk, maka saya harus sedikit menanjak. Ah, harusnya sih jangan ngeluh, biasanya juga naik gunung. Hehehe.

Biar perjalanan pulangnya bukan cuma sekedar jalan kaki, enaknya ambil jalur di sebelah kanan jalur pulang. Balik arah dari Goa Belanda, akan ada penunjuk arah cabang tiga, yang akan mengantarkan kita ke destinasi lain di dalam Taman Hutan Raya Djuanda. Dan saya pun memilih untuk ke arah Barat, mengambil jalur mendatar untuk sampai ke Goa Jepang.

kiri: ke Goa Jepang


Trekking ringan menuju Goa Jepang ini tidak begitu membosankan. Jalanan aspal licin sisa hujan tidak begitu ramai. Maklum, memang jalannya kecil dan bukan untuk motor. Orang saja jarang. Mungkin karena tidak begitu banyak orang yang berminat untuk melancong ke sisa-sisa zaman penjajahan. Kalaupun ada, ya pasti orangnya seperti saya juga. :))

Di kiri jalan, hanya tebing berbatu saja yang terlihat. Sepertinya, tebing ini masih sisa-sisa bangunan pusat radio komunikasi Jepang yang terbentang luas. Sedangkan, di kanan jalan, saya melihat beberapa pohon penghasil kayu yang bisa dibilang masih cukup muda umurnya. Mungkin untuk memperbaiki ekosistem di kawasan Tahura, pohon-pohon ini ditanamkan ke tanah Tahura. Trekking pun jadi tidak terasa bosan, seperti kembali ke alam. Kembali ke hutan. Maklum lah, saya sudah lama tidak main ke gunung, hutan, dan rimba raya. Jadinya, berjalan di tengah suasana yang segar dengan pemandangan hijau, sejenak membuat saya lupa akan peliknya kehidupan saya ketika di Jakarta. Bekerja di antara belantara beton yang tidak ada indah-indahnya.

tentang mahoni Uganda...

Dari Goa Belanda, perjalanan dengan jalan kaki memakan waktu kurang lebih sepuluh menit. Setelah melewati beberapa jenis pohon penghasil kayu itu, di depan saya sudah terlihat bangunan benteng yang tertutupi semak belukar. Bangunan yang sudah sempurna bersembunyi itu memang tak terlihat seperti benteng kalau dilihat dari arah utara.

Goa Jepang di Tahura adalah salah satu dari puluhan goa buatan Jepang yang tersebar di seluruh Indonesia, yang umumnya dibuat pada tahun 1942 - 1945. Ketika masa pendudukan Jepang, Kota Bandung merupakan marksa salah satu dari tiga Kantor Besar (bunsho) di Pulau Jawa. Bandung juga menjadi tempat pemusatan terbesar tawanan perang mereka, baik tentara Koninklijke Nederlands Indische Leger--atau yang lebih dikenal dengan sebutan KNIL (Tentara Hindia-Belanda) dan satuan sekutunya, maupun warga sipil.

ilustrasi tentara Jepang...

Tanggal 10 Maret 1942 dengan resmi angkatan Perang Hindia Belanda berikut pemerintah sipilnya menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Kerajaan Jepang dengan upacara sederhana di Balai Kota Bandung. Setelah upacara selesai, Panglima Perang Hindia Belanda Letnan Jendral Ter Poorten dan Gubernur Jendral Tjarda Van Stakenborgh tanpa basa-basi atau ba-bi-bu lagi ditawan di Mansyuria sampai perang dunia II selesai. Andaikata pemerintah Indonesia yang ketahuan korupsi langsung dijebloskan saja seperti ini tanpa ba-bi-bu, saya optimis bahwa tampuk pemerintahan Indonesia akan bersih seketika. Hahaha. (Masa iya sih, perlu mendatangkan penjajah Jepang dulu, baru bisa mikir?)

Pada masa itu, selain memanfaatkan goa buatan Belanda sebagai tempat menawan tahanan, Jepang juga menambahkan sejumlah goa di kawasan ini. Goa buatan Jepang digunakan untuk keperluan penyimpanan amunisi, logistik, dan komunikasi radio pada masa perang. Begitu instalasi militer Hindia Belanda dikuasai seluruhnya maka tentara Jepang membangun jaringan Goa tambahan untuk kepentingan pertahanan di Pakar, dimana letaknya tidak jauh dari Goa Belanda. Konon pembangunan goa ini dilakukan oleh para tenaga kerja secara paksa yang pada saat itu disebut “romusa” atau “nala karta”. Goa tambahan yang terdapat di daerah perbukitan Pakar ini tepatnya memang berada dalam wilayah Tahura. Goa ini mempunyai 4 pintu dan 2 saluran udara. Dilihat dari lokasi dan bentuknya goa ini diperkirakan berkaitan dengan kegiatan dan fungsi strategis kemiliteran. Lorong-lorong dan ruang-ruang yang terdapat pada goa ini dapat dipergunakan sebagai markas, maupun tempat penyimpanan peralatan dan logistik. Selama pendudukan Jepang di Indonesia, daerah Pakar yang sekarang menjadi Tahura dipergunakan untuk kepentingan militer dan tertutup untuk masyarakat.

ki-ka atas: goa jepang, jalan berbatu
ki-ka bawah: ventilasi, pintu masuk IV

Goa tambahan yang dibangun pada masa pendudukan Jepang dinamakan Goa Jepang. Goa Jepang saat ini dapat dimasuki dengan aman dan dijadikan sebagai tempat wisata yang penuh pesona karena alam sekitarnya yang sangat indah dan memiliki nilai sejarah.

Kira-kira begitulah keadaan goa Jepang yang ada di kawasan Tahura. Berada di antara rimbunnya pepohonan dan kawasan eksotis di sebelah selatan patahan Lembang, goa Jepang memang jadi tempat strategis bagi penjajah Jepang untuk membangun kekuatan militer. Mirisnya, tak banyak orang yang tahu, tak banyak orang yang mau peduli. Bahkan, banyak anak muda Bandung yang tak tahu. Yah, mau bagaimana lagi? Sudah lumrah rasanya, orang kota lupa akan sejarah.

Padahal, Soekarno selalu tegaskan... "JASMERAH", jangan pernah sekali-sekali melupakan sejarah...

Salam! :)

Dua Tahun Merantau dan Memulai Proyek #HeartOfJakarta

$
0
0
Jakarta oh Jakarta
Terimalah suaraku dalam kebisinganmu
Kencang teriakku semakin menghilang

Jakarta oh Jakarta
Kau tampar siapa saja saudaraku yang lemah
Manjakan mereka yang hidup dalam kemewahan

Jakarta oh Jakarta
Angkuhmu buahkan tanya
Bisu dalam kekontrasannya

(Iwan Fals - Kontrasmu Bisu)

Baru dua tahun rupanya, saya di Jakarta. Rasanya sudah lama sekali. Mungkin, karena sudah banyak yang saya lewati di Jakarta ini. Melihat Kopaja digulingkan orang kala demo. Melihat banjir, melihat senyum di gubuk pinggir kali, melihat orang-orang yang mengais puntung rokok di bawah jembatan, melihat sakit, melihat mati.

Dari semua yang saya lihat, rasanya seperti sudah bertahun-tahun saya meninggalkan rumah. Padahal, ya baru dua tahun ini saya di Jakarta. Bekerja, menumpang makan, menumpang tidur, bahkan menumpang lihat-lihat kota. Ya apalagi yang bisa dilakukan oleh perantau seperti saya? Mengubah kota? Rasanya tak mungkin. Tapi, bisa jadi mungkin sih, kalau konsisten menyebarkan jantung Jakarta. Bagi saya, yang akhir-akhir ini sudah mulai melebur di jantung Jakarta, ada banyak hal yang tertutupi dari Jakarta. Di samping glamornya kehidupan Jakarta, banyak hal yang tak diketahui orang banyak. Mungkin, orang banyak tahu, tapi tak banyak peduli. Kira-kira begitu tepatnya.

Maka, dari sini saya memulai sebuah project untuk blog saya ini, agar setiap saya melihat sesuatu tentang Jakarta, saya dapat menuliskannya di sini. Sebab, bukankah perjalanan yang paling sulit itu adalah perjalanan mencari rumah singgah di tempat yang kita singgahi? Buat saya, Jakarta masih tetap menjadi tempat baru. Maka dari itu, saya coba cari persinggahan-persinggahan yang mungkin akan membuat saya nyaman untuk sejenak, barang di Jakarta. 

Jadi, mulai saat ini, saya akan terus memperbaharui #HeartOfJakarta, project tulisan, foto, mixtape lagu tentang Jakarta, dan lain sebagainya. Selesainya? Ya entah... Wong, saya di Jakarta juga entah sampai kapan kok.

Intinya, saya sedang (ingin memaksa) jatuh cinta dengan Jakarta, dari sisi yang berbeda. Apalagi yang bisa didedikasikan seorang perantau pada kota rantauannya? Atau pada kota kepulangannya? Ya ini... Mungkin cuma tulisan-tulisan yang kelak menyimpan sisa-sisa tentang Jakarta ini... :)

Salam!


Arus dan Denyut: Sebuah Mix-tape Untuk #HeartOfJakarta

$
0
0
Kalau kita benci Jakarta, kenapa masih berusaha untuk tunduk dalam kepadatan arus lalu lintas dan hiruk-pikuknya? Kenapa masih mau dikangkangi oleh kota yang tak ada hijau-hijaunya? Sebenarnya, apa yang kita cari di Jakarta? Sebenarnya, apa yang membuat Jakarta--si pelacur tua--terus berdenyut? Bahkan, mungkin detak jantungnya semakin kuat. Padahal, dari denyut itu, kita tak pernah menemukan titik pusat denyutan. Kita tak pernah menemukan posisi jantung yang terus berdenyut, terus memompa darah ke seluruh nadi kota Jakarta. Bukan pemerintahan, bukan orang-orang yang duduk di balik kursi menteri, bukan pula para pelaku bisnis raksasa yang bermain di balik pelarian grafik-grafik saham. Sesungguhnya, apa yang saya tangkap akhir-akhir ini adalah, bukan mereka yang besar dan berada di atas, yang memompa darah untuk memaksa Jakarta berdenyut, melainkan mereka yang kecil-kecil, seperti gotong royong para semut.

Mungkin begitu analoginya. Saya juga tak tahu. Sebab, hidup di sini malah membuat saya lebih banyak berkontemplasi. Kadang lucu, tapi ya begitulah adanya. Di sela-sela hidup yang semakin menguras air mata dan keringat, rupanya Jakarta memberikan kesan yang lain. Memberi experience yang berbeda. Masih tak terdefinisi oleh saya, tetapi kurang lebih seperti itulah! :D

Maka dari itu, saya membuat sebuah mixtape. Musik-musik yang saya kompilasikan, untuk sekedar diunduh atau diabaikan juga tak apa. Musik-musik yang mungkin bisa merepresentasikan Jakarta dengan macam-macam pompa denyutnya. 

artwork mixtape, dibuat ngarang aja gitu... :P

Arus dan Denyut. Inilah mixtape sederhana, memuat beberapa lagu sederhana tentang Jakarta. Mengekor di dalam arus dan denyut Jakarta, 10 lagu ini saya susun untuk teman-teman semua. :)

1. Iwan Fals - Lagu Dua (Jakarta)
Lagu ini mungkin semacam representasi atas kondisi Jakarta dan orang-orang di Jakarta. Bagaimana mereka harus membeli air dari PAM, sebab air bersih tak tersedia begitu saja, tidak mengalir seperti air yang didapat orang-orang kaki gunung. Dan di Jakarta, membeli air PAM mungkin harus berpeluh dulu, banting tulang. Katanya, Indonesia ini tanah air, tapi kok tanah dan airnya mahal di Jakarta? Memang, Jakarta cuma enak buat cari duit! Kalau sudah punya duit, pulang saja! Hehehe. :D

2. Amazing In Bed - Jakarta Lovely City
"Jakarta lovely city. Poverty… Opportunity. Jakarta lovely city. Thousands of plans and millions of man..." 

Ya. Jakarta. Antara kesempatan dan kemiskinan. Jakarta yang dicintai orang-orang. Jakarta yang memiliki beribu rencana, dari beribu manusia. Nikmatilah... :)

3. Ramondo Gascaro - Oh Jakarta
Lagu ini adalah salah satu lagu favorit saya. Menggambarkan tentang sosialita Jakarta. Mereka, orang-orang yang tertawa dengan botol sampanye di tangannya, padahal dalam hati mungkin saja menangis. Mereka tertawa di malam pesta, padahal dalam hati mengutuk macet, mengutuk pengendara motor dan kendaraan umum yang serampangan. Padahal, sudah tahu macet, masih mengutuk juga. Oh Jakarta! :D

4. Benyamin Sueb - Kompor Meleduk
Ini yang paling legendaris. Menggambarkan banjir Jakarta, yang selalu terjadi setiap lima tahun sekali. Banjir kiriman dari Bogor, kota hujan. Aliran sungai Ciliwung yang terbagi di Pulo Geulis itu akan bermuara ke laut utara. Namun, sebelum melalui laut utara, aliran air hujan itu akan melewati Jakarta dulu. Dan seperti yang sudah-sudah, karena tersendat sampah di Jakarta, maka hujan pun jadi genangan yang membuat orang-orang di daerah rawan banjir akan wara-wiri keserimpet. Pet! Hehehe. Tapi, kata Pak Jokowi, sedang berusaha dibenahi. Maka, berdoa sajalah untuk kelangsungan program penanggulangan banjir ini. Beruntung, banjir kirimannya lima tahun sekali. :P

5. Iwan Fals - Kontrasmu Bisu
Di lagu ini, saya mengiyakan isi dari lagunya. Tinggi gedung membuat iri gubuk-gubuk pinggir kali. Kota ini pincang. Saya sendiri melihat perbedaan. Di balik Lotte Shopping Avenue, Jalan Prof. Dr. Satrio, saya jajan pecel ayam. Tidak terlihat lho, di belakang Lotte itu ada warung pecel ayam, sebab masuk ke gangnya saja sudah saling membelakangi. Agak kumuh memang, karena rumah tinggal yang terpaksa digusur itu kini mulai membangun diri mereka kembali. Meski mendapat sisa-sisa sampah dan limbah dari Lotte Shopping Avenue, rumah tinggal berikut isinya itu tetap bertahan. Saya jadi ingat sajak Wiji Thukul tentang Bunga dan Tembok. Kelak, akan tumbuh di tembok-tembok angkuh itu, akar-akar pohon yang baru. Sampai pada waktunya nanti, akar-akar itulah yang akan merobohkan para tembok.

6. Iwan Fals - Sore Tugu Pancoran
Anak-anak kecil yang berkelahi dengan waktu. Mungkin ada yang benar-benar melakukannya, ada pula yang melakukan itu karena suatu lembaga ilegal yang memperjualbelikan anak untuk diserahkan ke jalanan, menjadi raja jalanan untuk mencari uang si penjual yang bersangkutan. Miris memang. Meski begitu, ada yang benar-benar turun ke jalanan untuk mencari sesuap nasi, atau menambah-nambah uang SPP, alih-alih membantu orang tua yang hanya bekerja serabutan sebagai tukang bengkel, pemulung, joki three-in-one, dan lain sebagainya. Anak-anak inilah yang patut saya beri penghargaan. Kalau benar ada penghargaan itu, maka piala dan hadiah patut dikalungkan pada anak-anak yang bisa membagi waktu antara berada di jalanan dengan kepentingan pendidikan.

7. Slank - Jakarta Pagi Ini
Saya hampir tak pernah bisa melihat sinar mentari di Jakarta. Pagi-pagi buta, berangkat kerja agar tak terkena macet. Bekerja menguras otak di dalam ruangan ber-AC, dan pulang di malam buta setelah populasi kendaraan di jalanan tak bottle neck lagi. Hahaha. Jadilah, tak ada sinar mentari. Lagu ini menggambarkan pesimisme terhadap Jakarta saat menyambut pagi. Sendiri di dalam keramaian, sambil memandangi hiruk-pikuk pagi hari kota Jakarta. Tetap sepi, meski orang-orang berjalan lalu-lalang di trotoar.

8. Bangkutaman - Ode Buat Kota
Lagu yang ini mungkin lebih bernuansa bahagia. Lebih optimis dari lagu-lagu sebelumnya yang mengkritik kondisi sosial Jakarta dengan berbagai cara dan emosi musiknya. Di lagu ini, Bangkutaman membawa kita pada sebuah ode, sebuah syair indah untuk Jakarta. Dialamatkan kepada suara bising di tiap jalan, langkah kaki yang berlalu-lalang, sirine raja jalanan, dan suara sumbang yang terus berdentang. Dan lagu ini tetap riang, meski menceritakan bagaimana kita besar di Jakarta dengan sungai yang kian menghitam. Kita tetap riang, meski keriangan itu didapatkan dari bawah kolong jembatan. Lalu, Bangkutaman pun menyanyikan lagu ini untuk kami, para perantau yang selalu homesick. Ingin pulang tapi terjebak macet, dan pada akhirnya kesepian di tengah malam.

9. White Shoes and The Couples Company - Kisah Dari Selatan Jakarta
Saya sebenarnya tidak kuasa mengartikan isi lagu ini. Namun, karena hanya di Jakarta Selatanlah semua keriangan itu bermula, saya kira lagu ini cocok. Hehehehe. Suasana yang 'agak' nyaman itu, menurut saya ya Jakarta Selatan. Mungkin malah, saya bisa menyebut kalau Jakarta Selatan itu nggak Jakarta banget kok! Semua orang dari penjuru kota yang mencapai Jakarta, mungkin akan bertemu di satu pintu, Jakarta Selatan. Bisa di Tanjung Barat, di Lebak Bulus, di sana, di situ. Karena dekat dengan perbatasan kota-kota lain, seperti Depok, Bogor, Tangerang, maka Jakarta Selatan itu sudah sangat multi-etnis. Makanya, di sini wajah Jakarta tak begitu terlihat. Kita bisa melihat orang ini dan itu, nongkrong bareng. Di sudut manapun.

10. Farid Hardja - Jakarta
Nah, lagu bergaya rockabilly ini memang tidak sebombastis Karmila. Tapi, lagu ini menggambarkan muda-mudi Jakarta yang gemar kongkow di kelab malam. Mencari keriangan dengan cara lain. Mencari keriangan dengan nongkrong di mana saja, bersama teman-teman serupa, dengan gaya celana yang warnanya luntur, jahitan timbul. Lagu yang menggambarkan muda-mudi Jakarta, bunga-bunga Jakarta yang kelak akan jadi penyambung tembok angkuh, atau penyebar benih bunga yang mungkin akan merobohkan tembok-tembok itu, seperti pada sajak Wiji Thukul.

Ya begitulah, sedikit denyut-denyut Jakarta yang dapat kita dengar dan juga baca dari sebuah lagu. Untuk mengunduhnya, sila kunjungi tautan ini.

Salam!



Turnamen Foto Perjalanan Ronde 30 – BATAS

$
0
0
Selamat datang di blog saya teman-teman! :D

Setelah mengikuti ronde 29 di Turnamen Foto Perjalanan bertema Gunung dengan tuan rumah Mbak Elisabeth Murni, rupanya foto dua sandingan gunung Sindoro dan Sumbing dari gunung Prau mendapatkan apresiasi dari penggagas untuk ronde 29 ini. Karena itulah, Turnamen Foto Perjalanan ke-30 ini dilemparkan kepada saya.

Senang dan haru pastinya, karena saya ingat momen ketika saya mengambil foto tersebut. Berlomba dengan puluhan orang lainnya untuk mendapatkan posisi yang paling pas untuk menempatkan kamera saya, supaya fragmen pagi yang didapat menjadi begitu sentimentil. Dan rupanya, karena alasan-alasan seperti itulah foto saya dimenangkan oleh Mbak Sash--begitu nama panggilan penggagas ronde 29 ini. Terima kasih Mbak Sash! :D

Dan apa tema kali ini?

Batas Daerah: Wonosobo - Kendal di lembahan Gunung Prau

Batuan Andesit Yang Vertikal itu pembatas, bahwa bagian tengah yang
membentuk ruang itu adalah tempat semadi, maka tidak boleh diinjak. :)

Papan pemberitahuan sebagai 'batas', agar para pendaki tidak memetik edelweiss. :)

Hmmm. BATAS. Ya! :D Saya memberikan tema BATAS untuk Turnamen Foto Perjalanan Ronde 30 ini. Jadi, mengapa batas?

Batas adalah pembatas. Sebuah batas yang nyata dan terlihat. Batas menjadi representasi sebuah tempat, ketika kita tak diizinkan atau dibatasi untuk melangkah. Saya rasa, setiap pejalan harus memaknai batas ini menjadi demikian serius, sebab ada saja mereka yang tak menghiraukan batas-batas sebuah tempat, sehingga kadang dapat mengancam eksistensi sebuah tempat wisata. Misalnya, merusak pagar atau pembatas yang menjadi penunjuk arah. Atau... Memanjat pagar, mencorat-coret pagar dan batas-batas.

Ya, batas dan pagar sebagai satu-satunya pembatas nyata yang harus dilihat oleh para pejalan, jika bukan karena seorang pejalan memiliki batasan dalam dirinya sendiri. Sebab, bisa saja di dalam pembatas itu terdapat sebuah ekosistem yang dilindungi kan? Atau... Bisa saja di dalam pembatas tersebut ada makhluk hidup yang dilindungi, hanya bisa dilihat, tak bisa diganggu? Bisa saja... Karena tak ada pembatas, maka belakangan kita lihat pembantaian beberapa satwa langka dan liar yang tak berdosa. Seperti pembunuhan seekor gajah yang sedang makan, hanya karena di daerah tersebut tak ada pagar atau pembatas yang 'nyata'. 

Menurut saya, batas itu perlu, baik dalam bentuk apapun. Mau pagar batas dari beton, besi, kayu, pohon, atau bahkan batas yang hadir dari diri kita sendiri. Sehingga, tak perlu lagi ada pejalan tak bertanggungjawab yang berpikir bahwa, "Ah gak ada pembatas ini, manjat aja!" atau mungkin... "Ah, gak ada batas sama penjaga ini, berarti boleh dong tembak itu singa!"

Nah, kira-kira seperti itulah alasan saya memilih tema untuk Turnamen Foto Perjalanan Ronde 30. Jadi, selamat bereksperimen dengan BATAS yaaa teman-teman!

Aturan main Turnamen Foto Perjalanan :

1. Turnamen foto perjalanan ronde 30 berlangsung mulai: 11 November 2013 – 25 November 2013, jam 23.59 WIB.
2. Foto harus hasil karya sendiri.
3. Peserta lomba TFP bebas mengupload foto dimana saja, asalkan milik/akun sendiri. Contoh: Web, Twitpict, Blog, dll
4. Submit foto pada kolom comment artikel ini dengan format berikut :
- Nama/nama blog/nama Twitter
- Link blog
- Judul/Keterangan foto
- Link foto (maksimal ukuran 600 pixel)
5. Foto tidak boleh mengandung unsur SARA atau menghina pihak lain.
6. Semakin cepat upload, semakin besar juga menjadi yang terposting diatas.
7. Pengumuman pemenang: 2-3 hari setelah batas akhir turnamen pada ronde tersebut.

Turnamen Foto Perjalanan untuk Traveler Indonesia, Mengapa mengikuti Turnamen Foto Perjalanan?

1. Ajang sharing foto. Bersama, para travel blogger Indonesia membuat album-album perjalanan yang indah. Yang tersebar dalam ronde-ronde turnamen ini. Untuk dinikmati para pencinta perjalanan lainnya.
2. Kesempatan jadi pemenang. Pemenang tiap ronde menjadi tuan rumah ronde berikutnya. Plus, blog dan temamu (dengan link ybs) akan tercantum dalam daftar turnamen yang dimuat di setiap ronde yang mendatang. Not a bad publication.

Siapa saja yang bisa ikutan?

1. (Travel) blogger – Tak terbatas pada travel blogger profesional, blogger random yang suka perjalanan juga boleh ikut.
2. Setiap blog hanya boleh mengirimkan 1 foto. Misal DuaRansel yang terdiri dari Ryan dan Dina (2 orang) hanya boleh mengirim 1 foto total.
3. Pemenang berkewajiban menyelenggarakan ronde berikutnya di (travel) blog pribadinya, dalam kurun 1 minggu. Dengan demikian, roda turnamen tetap berputar.
4. Panduan bagi tuan rumah baru akan diinformasikan pada pengumuman pemenang. Jika pemenang tidak sanggup menjadi tuan rumah baru, pemenang lain akan ditunjuk.

Nggak punya blog tapi ingin ikutan?

1. Oke deh, ga apa-apa, kirim sini fotomu. Tapi partisipasimu hanya sebatas penyumbang foto saja. Kamu nggak bisa menang karena kamu nggak bisa jadi tuan rumah ronde berikutnya.
2. Eh tapi, kenapa nggak bikin travel blog baru aja sekalian? WordPress, Tumblr, dan Blogspot gampang kok, pakainya.

Hak dan kewajiban tuan rumah:

1. Menyelenggarakan ronde Turnamen Foto Perjalanan di blog-nya
2. Memilih tema
3. Melalui social media, mengajak para blogger lain untuk berpartisipasi
4. Meng-upload foto-foto yang masuk
5. Memilih pemenang (boleh dengan alasan apapun)
6. Menginformasikan pemenang baru apa yang perlu mereka lakukan (panduan akan disediakan)

Ronde Turnamen Foto Perjalanan:

  1. Laut – DuaRansel
  2. Kuliner – A Border that breaks!
  3. Potret – Wira Nurmansyah
  4. Senja – Giri Prasetyo
  5. Pasar – Dwi Putri Ratnasari
  6. Kota – Mainmakan
  7. Hello, Human! (Manusia) – Windy Ariestanty
  8. Colour Up Your Life – Jalan2liburan
  9. Anak-Anak – Farli Sukanto
  10. Dia dan Binatang – Made Tozan Mimba
  11. Culture & Heritage – Noni Khairani
  12. Fotografer – Danan Wahyu Sumirat
  13. Malam – Noerazhka
  14. Transportasi – Titik
  15. Pasangan – Dansapar
  16. Pelarian/Escapism – Febry Fawzi
  17. Ocean Creatures – Danar Tri Atmojo
  18. Hutan – Regy Kurniawan
  19. Moment – Bem
  20. Festival/Tarian – Yoesrianto Tahir
  21. Jalanan – PergiDulu
  22. Matahari – Niken Andriani
  23. Burung – The Traveling Precils
  24. Sepeda – Mindoel
  25. Freedom – Pratiwi Hamdhana AM
  26. Skyfall – Muhammad Julindra
  27. Jembatan – Backpackology
  28. Tuhan – Efenerr
  29. Gunung – Elisabeth Murni
  30. Batas - Ayu Welirang
  31. Kamu? Ya... Mungkin kamu selanjutnya! :D
Jangan lupa BATAS akhir pengiriman foto tanggal 25 November 2013 yaa teman! :D

UPDATE FOTO

@dieend18 | Blog


~ Batas Tak Terlihat ~
Ada batas tak terlihat di antara kita. Meski tak terlihat, tetap saja tak boleh dilanggar. 
Biarkan batas itu tetap ada. Sebagai pengingat, bahwa kau dan aku tak mungkin bersatu.
******

@dananwahyu | Blog


~ Batas Bikini ~
Jika berkunjung ke Iboih, pulau Weh jangan heran melihat tanda ini. Inilah batas wisatawan boleh 
mengenakan bikini di kampung turis. Di luar wilayah ini siapapun harus menghormati norma masyarakat Aceh
sesuai syariah Islam.



******


~ Harap Maklum ~
Batas memancing di Segaran ( danau buatan ) - Sriwedari - kota Solo yang harap dimaklumi...
******


~ Karang Selatan ~
Daratan Jawa telah memilihnya sebagai batas yang jelas kepada samudera.
Tempat gulung gemulung ombak menghempaskan diri, sementara dedaun hijau termangu di tepiannya.
Dialah, Karang Selatan.
******


~ Negeri di Atas Awan dari Puncak Gunung Slamet ~
Seringkali kita mendengar Dieng sebagai negeri di atas awan, tetapi di mana batasnya?
Nah, dari puncak Slamet akan terlihat jelas batas itu. Batas rakyat jelata dengan kamun
nirwana di dongeng-dongeng.
******


~ Batas Tanah dengan Air ~
Bumi ini terbagi antara daratan dan perairan, daratan terluas disebut benua dan perairan terluas
disebut samudera. Sedangkan daratan terkecil adalah pulau dan perairan terkecil adalah laut.
Pulau Pandang ini pulau yang cukup eksotis yang sejauh mata memandang berbatasan dengan air laut yang
berdeburan menghempas pantai disekelilingnya.
******


~ Gerbang Batas ~
Seperti halnya beberapa objek wisata di Thailand, tersedia gerbang khusus yang bisa dilalui oleh wisatawan.
Ini adalah gerbang utama Ananta Samakhom Throne Hall (พระที่นั่งอนันตสมาคม), sebuah bangunan megah
bergaya Eropa yang dibangun oleh King Rama V. Walaupun aku tidak tahu apa arti tulisan itu, namun dengan
adanya gerbang kokoh dan pagar besi tambahan makna yang tersirat sangat jelas bahwa tidak sembarangan orang bisa melewati gerbang batas ini.
******


Garis batas itu sebenarnya tidak ada. Kita menciptakan 'batas' karena otak tidak bisa
menjangkau semua isi dunia. Terbatas. 
******


~ Sepanjang Pantai, Sepanjang Itu Pula Ombaknya Berbuih ~
Di sini, orang menyebutnya sebagai pantai. Segurat garis yang dipisahkan oleh buih yang kerap datang
lalu menghilang lalu datang lagi emnjadi batas. Lalu, apa yang dikenang dari selembar pantai jika bukan ombak
dan senja? Keduanya merangkai garis dimensi dalam ruang romansa di saat senja sedang ingin bersetubuh
dengan cakrawala. Bahwa pantai selalu bercerita tentang kejar dan pelarian ombak, dan juga tentang angin senja.
Bahwa disana buih telah menyatakan dirinya sebagai batas yang tak terbatas, karena mata selalu mengingatmu
sebagai bagian dari pangkal menuju senja.
******





Mereduksi Macet di Tol Dalam Kota Jakarta dengan Sistem ITS Yang Menyeluruh

$
0
0

Sepertinya, kemacetan sudah lumrah terjadi di Jakarta. Namun, apa jadinya kalau di dalam tol saja masih menemui kemacetan? Bukankah yang namanya jalan tol itu seharusnya bebas hambatan? Ya, teorinya memang begitu, tapi dalam praktiknya, agak sulit dicanangkan di Jakarta.

Sebagian besar tol di Jakarta mungkin sudah menggunakan sistem pembayaran tol yang elektronik. Pengguna jalan tol tidak harus mengeluarkan uang yang akan lebih lama dalam proses pengembaliannya, sehingga menjadikan jalan terhambat, nyaris keluar dari gerbang tol, seperti yang saya sering lihat di bahu jalan Pondok Pinang, menuju Pondok Indah. Adanya percampuran antara tol untuk kendaraan pribadi dan kendaraan umum seperti Kopaja, memungkinkan kondisi tol yang jadi lebih semrawut. Oleh karena itu, sistem ITS atau Intelligence Transportation Systemharus dipasangkan secara menyeluruh. 

Jika memang harus dipasang secara menyeluruh, apa saja bagian dalam ITS yang terdiri dari skala internasional? 

Nah, berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai beberapa contoh sistem ITS yang sedang dikembangkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum, Badan Penelitian dan Pengembangan Puslitbang Jalan dan Jembatan.
  • Traffic management center (TMC)
  • Traffic data collection (speed, volume)
  • Service of traffic information (internet, broadcast, VMS, etc)
  • Real time traffic signal controller (APILL)

Sebelum menuju ke implementasi, tentunya perlu diadakan berbagai riset mengenai kondisi jalan dan status jalan. Baru kemudian disandingkan dengan dokumen ilmiah pada praktik sistem transportasi 'pintar' yang sudah dipasangkan di beberapa negara berkembang, seperti tetangga kita, Malaysia dan Singapura.

Melihat kondisi jalan di Jakarta, rasanya bukan tidak mungkin untuk memasangkan traffic management center atau TMC pada bahu-bahu jalan di Jakarta. Dengan sistem informasi dan pengelolaan yang memadai, TMC ini akan menjadi basis data untuk kondisi jalan di Jakarta. Sebagai permulaan, ambil titik yang beban jalannya berat. Misalnya, pada jam-jam tertentu, tol menuju Lebak Bulus berikut gerbang keluarnya ternyata selalu macet pada jam tujuh pagi sampai jam sembilan pagi, untuk kemudian macet kembali di jam-jam orang pulang kantor. Nah, dari sini bisa diambil sample kecil untuk melakukan implementasi ITS yang baik, mulai dari penghitungan volume kendaraan pada jam-jam tertentu, penghitungan kecepatan kendaraan, penghitungan keluar-masuk kendaraan pada gerbang-gerbang tertentu, sehingga data tersebut dapat dikumpulkan dalam satu basis data sentral di dalam TMC atau Traffic Management Center.

Apa manfaat dari pengumpulan basis data berikut?

Manfaat yang didapat tentu saja tidak akan terasa tiba-tiba, tapi akan terasa setelah implementasi berjalan beberapa waktu lamanya. Dari sana, evaluasi terhadap data harus giat dilakukan. Misalnya, setelah mendapatkan data-data mengenai kondisi tol di daerah yang menuju Lebak Bulus dari berbagai titik selama tiga bulan, maka bisa dikalkulasi atau dihitung berapa kendaraan yang mengarah ke daerah-daerah tertentu, seperti Tangerang Selatan. Nah, bagaimana mengkalkulasinya? Tentu saja lewat gerbang tol. Gerbang tol adalah komponen utama dalam sebuah jalan tol, di mana petugas sudah seharusnya mencatat dan menghitung kendaraan. Di sini sudah seharusnya dipasangkan sistem terintegrasi dengan sistem utama, yaitu basis data yang ada di dalam Traffic Mangement Center. Melalui sistem tiket terintegrasi, akan tercatat dari mana kendaraan tersebut masuk tol, dan keluar di tol mana. Jumlah atau trending kendaraan yang tercatat tersebut akan masuk ke dalam basis data, sehingga pihak yang melakukan evaluasi terhadap sistem baru ini akan lebih mudah membaca data, tanpa harus mengeceknya secara manual dari gerbang tol ke gerbang tol lainnya. Bukankah IPTEK dan Sistem Informasi yang kini makin berkembang akan lebih memudahkan hal tersebut?

Nah, dari data tersebut, kita sudah bisa mendapatkan penghitungan akurat tentang jam-jam sibuk dan jam-jam di mana traffic akan sangat padat. Dari sana, buat satu sistem lagi, yaitu sistem penyebaran informasi, yang berguna bukan hanya untuk pihak yang mengembangkan sistem tersebut, tetapi juga untuk pengguna jalan tol, atau para pengendara kendaraan. Sistem ini sudah seharusnya bisa dipasang secara mobile, mudah dibawa kemana-mana, sehingga pengguna jalan tol akan lebih mudah melihatnya di manapun mereka berada. Dari sistem ini, pihak pengembang sistem ITS sudah memberikan data traffic dalam bentuk yang user-friendly, atau mudah bagi pengguna kendaraan. Hal ini seharusnya sudah terintegrasi dengan sistem GPS, karena akan lebih mudah digabungkan dengan peta kota Jakarta berikut tolnya. Nantinya, pengguna jalan tol dapat melihat, lokasi ia berada dan tol terdekat, berikut tingkat kepadatannya. Sehingga, sebelum ia mencapai kepadatan itu, pengguna dapat mengalihkan kendaraannya ke jalur lain yang memungkinkan.

Jadi, sistem ITS yang menyeluruh itu sebenarnya ada empat elemen utama saja, ialah; sistem pengumpulan data, sistem manajemen penyimpanan basis data (TMC), sistem pengolahan data, dan sistem informasi atau penyebaran data.

Mungkin memang terlihat tidak mudah, tapi kalau ini berhasil, bukankah kondisi kemacetan di Jakarta lebih memungkinkan untuk dikurangi?

******

Referensi:



Artikel ini diikutkan dalam sayembara penulisan blog oleh Balitbang PU, dengan tema "IPTEK, Jalan Keluar Permasalahan Bidang Pekerjaan Umum".
Viewing all 246 articles
Browse latest View live