Sebenarnya, waktu itu belum gajian dan saya seharusnya ada di kampus untuk mengikuti perkuliahan. Tapi, seorang teman kuliah mengkonfirmasi kalau hari Sabtu, 31 Agustus, kegiatan perkuliahan ditiadakan dan digeser ke Sabtu yang berikutnya. Wah, ingin kemana ya? Bingung juga. Yah maklum lah, pekerja. Kalau gajian belum keluar kan ribet. Hehehe. Tapi tapi tapi... Gajian bukanlah penghalang kaki yang gatal untuk pergi menghilang! Ya, kaki gatal jadi pedoman saya selama ini. Kalau sudah nggak betah, itu artinya saya harus pergi, entah ke gunung, pantai, pasar kaget, museum atau ke mana saja. Dan kali ini, pilihan jatuh ke salah satu gunung yang berada di dataran tinggi Dieng, tepat berada di tiga kabupaten sekaligus karena letaknya yang berada di tengah-tengah perbatasan antara Kabupaten Kendal, Wonosobo, dan Batang. Ya kondisinya seperti
gunung Muria yang juga ada di perbatasan para kabupaten di utara Jawa Tengah.
Kali ini, saya berangkat bersama ke dua puluh delapan orang lainnya. Agak lupa sih jumlahnya berapa. Yang pasti, sekitar itulah. Jum'at malam, 30 Agustus, saya dan Abang mulai bersiap (
nggak usah tanya abang yang mana ya!). Pulang kerja, langsung menuju kost untuk mengambil ransel berikut perabotan
lenong yang sudah saya
packing. Hehehe. Langsung ke depan Menara Jamsostek untuk naik Kopaja 66 trayek Manggarai - Blok M via Sudirman. Nanti, rencananya saya akan turun di Gelora Bung Karno, untuk kemudian berjalan kaki sampai ke depan Hotel Mulia. Di sanalah bus pariwisata berjumlah 32
seat sudah terparkir. Saya kira, saya yang terakhir datang. Rupanya, masih ada satu orang yang ditunggu, yaitu Mbak Tiaaaa. Hehehe. Nah, setelah datang, barulah bus benar-benar bertolak dari seberang Hotel Mulia, untuk kemudian ikut berjejalan di jalanan Sudirman yang macet, masuk tol Lingkar Dalam dan bermacet-macet ria sampai nanti keluar tol Cikampek.
Nah, singkatnya (berhubung saya tidur sepanjang perjalanan), hari Sabtu 31 Agustus, bus sampai di Wonosobo terlalu siang. Entah karena supirnya yang penakut atau memang sangat hati-hati, pada saat memasuki Garung, bus sudah mulai tidak stabil. Beberapa kali bus pariwisata kami disalip oleh angkutan-angkutan
elf yang menguasai daerah tersebut. Sampai akhirnya, di suatu tanjakan menuju dataran tinggi Dieng, supir bus kami sudah angkat tangan. Bendera putih diterbangkan, dan satu per satu dari kami turun dari bus beserta ransel-ransel kami yang super berat (mau piknik soalnya), dan kami pun memindahkannya ke dua
elf yang disewa sampai dataran tinggi Dieng.
Sampai di lokasi wisata, beberapa orang mencari kamar mandi untuk bersih-bersih, beberapa makan, dan sisanya duduk-duduk santai tidak melakukan apa-apa. Hehe. Saya sendiri hanya
packing ulang untuk mengecek perlengkapan dan membagi beban bersama dengan Abang. Nah, sambil menunggu Abang selesai makan, saya jalan-jalan keliling, melihat-lihat siapa tahu ada yang menarik. Hehehe.
![]() |
packing ulang dulu yaaaa |
Sekitar pukul setengah dua siang, kami mulai berkumpul untuk naik. Cuaca cukup cerah berawan, sehingga tidak begitu panas ketika naik. Menurut perkiraan dan menurut orang yang sudah pernah naik, katanya untuk mencapai lokasi
camp hanya akan memakan waktu tiga jam. Jadi, kami memutuskan naik siang dengan asumsi akan sampai lokasi
camp sebelum petang datang dan membuat saya tidak konsen berjalan. Hehehe. Maklum lah, saya agak malas kalau naik malam, sebab saya malas untuk melihat kaki saya sendiri karena terlalu takut melihat sekitar. Oke, abaikan yang ini karena saya hanya berlebihan saja. :p
Pemandangan yang disuguhkan sepanjang jalan menuju
campsite memang menakjubkan. Meski gunung ini ada di titik elevasi 2565 mdpl saja, namun karena letaknya yang berada di dataran tinggi membuatnya jadi lebih tinggi dari titik elevasinya sendiri. Kabupaten Wonosobo dengan hiasan Telaga Warna bisa kita lihat di sepanjang perjalanan, belum lagi ketika berhenti di tiap pos. Di pos-pos yang sudah disediakan pihak gunung Prau, kita dapat melihat ke arah Sindoro-Sumbing yang menjadi siluet cantik ketika sore. Awan-awan putih seperti bulu domba terlihat menghiasi langit Wonosobo hari itu. Saya jadi tidak sabar mencapai
campsite. Mencuri dengar, katanya lokasi
campsite terdiri dari undakan sabana yang luas, seperti bukit
teletubbies dan dari sana kita bisa melihat pemandangan yang lebih kaya.
![]() |
awan bulu domba dan perbukitan |
![]() |
view Telaga Warna dan sekitar |
![]() |
tugu perbatasan Wonosobo - Batang | sayang ada vandalisme :( |
Saya berjalan di kloter pertama, agak terpisah dari Abang yang menjadi
sweeper pada hari itu. Saya sampai di titik terakhir yang akan membawa kita berjalan santai sampai ke
campsite, yaitu sebuah lokasi terbuka dengan
tower atau BTS. Di sini, angin cukup kencang, sehingga membuat saya bergidik. Dan satu per satu rombongan lain pun datang. Waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul setengah lima lewat, sehingga semua harus bergerak cepat agar sampai di
campsite sebelum petang. Setelah berfoto dengan awan-awan yang manis di bawah kaki, kami pun bertolak lagi untuk berjalan santai di jalur landai menuju bukit
teletubbies.
![]() |
salah satu papan di dinding BTS yang terpagar |
![]() |
batas daerah Wonosobo - Kendal |
![]() |
sempetin foto BTS, padahal udah menggigil |
Sekitar satu jam, mulut masih ternganga saja. Jalan menuju bukit
teletubbies pun disuguhi pemandangan magis.
Awan-awan belum mau beranjak namun langit merah muda bersemu jingga sudah ikut meramaikan sore. Saya ingin menangis, ingin teriak, ingin melakukan apa ya, sampai bingung sendiri. Keindahan Tuhan memang sukar diungkap sebatas kata. Karena, kalau jadi kata ya hanya seperti tulisan ini saja. Hehehe. Hanya mata yang bisa menangkap keindahan, merekamnya, dan hanya alat khusus pembaca pikiran saja yang bisa mengeluarkan imaji itu, tidak dengan foto secanggih apapun karena hasilnya tetap beda. Tapi, bagaimanapun, saya ingin membaginya lewat tulisan ini. Jadi, kalau ternyata berminat, silakan teman-teman berangkat ke sana juga ya! Hehe.
![]() |
awan lari-lari :p |
![]() |
berjalan di atas senja |
Nah, beberapa menit setelah petang, akhirnya suara-suara pun terdengar. Ah, rombongan kami terlambat datang rupanya. Lokasi
campsite sudah penuh dengan hiruk-pikuk manusia. Saya agak kecewa juga sih, karena niatan saya untuk menyepi-meditasi harus diabaikan karena suara-suara itu. Tapi tak apa.
Toh, esensi berjalan kan bukan hanya untuk memenuhi ego diri sendiri, tapi untuk meleburnya bersama ego lain. Jadi, saya duduk, menunggu aba-aba lokasi mana yang bisa digunakan untuk membangun tenda, dan setelah mandat tiba, saya dan Abang mulai membangun tenda kami. Angin kencang tak menghalangi tangan menggigil saya yang tetap semangat menancapkan pasak tenda ke tanah. Maklum, semangat karena ingin cepat-cepat menghangatkan diri. Hahaha.
Sudah memasang tenda, saya berganti pakaian dengan yang kering dan mulai eksperimen! Apa lagi kalau bukan memasak! Hehehe. Kali ini, seperti biasa saya akan masak omelet dengan roti panggang. Wah, rupanya masakan saya dan Abang laku juga. Buka warung enak kali ya? :P
Tak banyak yang bisa saya ceritakan pada malam hari, karena masing-masing kami masuk tenda dan tertidur. Kondisi cuaca agak kurang baik. Cerah memang, tapi angin sangat kencang. Hanya suara gitar dan nada-nada beberapa orang saja yang masih terdengar. Kulit mereka mungkin kulit badak, sehingga mereka kuat menyanyi di tengah angin kencang seperti itu. Kalau saya sih, ah mending selimutan di tenda.
Pagi harinya, Minggu 01 September, saya mendapati pemandangan romantis lainnya. Ah, saya suka sekali berada di ketinggian. Sebab, dari sinilah saya bisa melihat awan terbang di bawah kaki. Seperti lagu Vina Panduwinata, awal September ini dilewati dengan ceria. Orang-orang terlihat senang, gembira, sejenak melupakan rutinitas hidup yang membosankan. Semuanya seolah bingung, bagaimana cara terbaik untuk mengabadikan momen tersebut dan membaginya dengan orang lain. Berbekal kamera seadanya, saya pun mencoba untuk mengambil momen-momen penting yang akan dibagikan pada tulisan kali ini.
![]() |
langit pagi, Sindoro-Sumbing (kanan), Merbabu - Merapi (kiri) | disapa gunung :D |
![]() |
Haiiiii matahariiii! :D |
![]() |
let's jump! :D |
Siklus matahari yang muncul pagi hari selalu ditunggu. Semua bersiap untuk menunggu kelahiran putra pagi ini. Dan setelah itu semua berakhir, matahari seperti biasa saja, berada di atas kepala. Panas, menyengat, namun tanpa saya duga, kondisi gunung Prau yang sedikit pohon menyisakan beberapa siluet pohon di beberapa titik dan itu membuat semuanya jadi lebih romantis. Saya berkeliling untuk mengambil foto, dengan catatan harus kembali untuk masak, beres-beres tenda juga, karena rombongan akan turun dari Desa Patak Banteng dengan target turun pukul sepuluh.
![]() |
bonus... numpang prewed sebelum turun. :p |
Puas mengambil foto, saya masak untuk sarapan dan beres-beres untuk turun. Sekitar pukul sepuluh pagi, saya benar-benar turun dengan yang lain. Jalan turun ini cukup curam, sehingga jalur agak macet karena antrian manusia yang turun dengan hati-hati. Saya menyempatkan diri untuk memotret lagi. Singkatnya, sampai di perkebunan warga sekitar pukul dua belas siang, dan rombongan saya langsung menuju rumah salah satu kerabat untuk bersih-bersih dan menuju jalan pulang.
Perjalanan kali ini menyisakan kesan mendalam bagi saya. Mengenal orang-orang baru yang belum pernah saya tahu sebelumnya dan berbagi keindahan bersama mereka. Rasanya, tak ada lagi romantisme pagi seperti yang ada pada waktu itu. Entahlah, mungkin saya akan menunggu perjalanan berikutnya yang lebih berkesan. Mungkin...
Salam.
[Ayu]